Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta (FISIPUAJY) bekerja sama dengan Helen Keller International (HKI) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengadakan kegiatan "Kunjungan Belajar Virtual Tujuh Perguruan Tinggi di Provinsi Jawa Barat dan Sulawesi Selatan ke UAJY". Â Kunjungan virtual ini terlaksana pada hari Selasa, 14 Juli 2020 pukul 9.00-12.00 WIB.
Narasumber dari acara ini adalah Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi-Kemendikbud; Dr. Subagya, M.Si., Tim Pengembang Pendidikan Inklusif di Perguruan Tinggi; FX. Bambang Kusumo P., S.Sos., M.A., Dekan FISIP UAJY; dan Dafi Muchlisin, mahasiswa penyandang disabilitas di Prodi Sosiologi FISIP UAJY. Moderator oleh Hasriadi Masalam, Ph.D., Dewan Pembina Perdik Sulawesi Selatan.Â
Acara ini difasilitasi dengan Ragil dan Randy sebagai Juru Bahasa Isyarat untuk peserta penyandang disabilitas tuli. Kadang Juru Bahasa Isyarat diambil alih oleh Dafi bila diperlukan.
Emilia Kristiyanti, Inclusive Education Program Manager, Helen Keller International, menyampaikan bahwa sejak tahun 2003 sampai dengan saat ini HKI dan Kemendikbud mengembangkan sistem pendidikan inklusif di Indonesia. Pada awal bulan Januari 2016 sampai dengan Desember 2017, HKI, UNICEF dan Direktorat Pembinaan Layanan Khusus (PPLK) -- Kemendikbud mengembangkan program pendidikan inklusif guna meningkatkan akses peserta didik berkebutuhan khusus (termasuk penyandang disabilitas).
Emilia menambahkan, "Dibutuhkan komitmen semua pihak untuk dapat merealisasikan cita -- cita mulia yang diamanatkan dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 31 dan ditegaskan melalui pengesahan UU No.8 Tahun 2016 tentang Hak Penyandang Disabilitas."
Perguruan Tinggi (PT) diharapkan mendukung penyandang disabilitas yang sudah menyelesaikan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah  dengan membuka akses pendidikan dan juga mempersiapkan lingkungan inklusif yang ramah dan akomodatif bagi mereka.
Selain dibutuhkan akses, para penyandang disabilitas juga membutuhkan tenaga pendidik yang berwawasan inklusif dan memiliki kemampuan melakukan layanan pembelajaran yang akomodatif sesuai kebutuhan mahasiswa-mahasiswai yang beragam. PT juga perlu menyiapkan sarana dan lingkungan yang medukung kehadiran penyandang disabilitas sehingga setiap orang di kampus dapat berpartisipasi penuh dalam layanan yang tersedia. Nantinya, penerapan standar layanan inklusif bisa membuat kualitas pendidikansemakin merata dan berkualitas.
Tujuan dari kunjungan virtual ini adalah untuk belajar dari pengalaman UAJY Â dalam menciptakan lingkungan belajar inklusif pada pendidikan tinggi dan untuk mendorong peserta dalam menciptakan program pendidikan inklusif dan disabilitas pada universitas mereka.Â
Dalam sambutannya, Bambang menjelaskan, "Kita perlu mengubah mindset mengenai disabilitas, ini menjadi kunci dalam pendidikan inklusif. Kita semua bisa disebut difabel yakni memiliki kebutuhan khusus/berbeda, misalnya saja bila saya lepas kaca mata, saya sudah kesulitan untuk melihat."
Bambang menegaskan, "Maka ketika kebutuhan khusus kita itu difasilitasi, kita sudah dapat setara."
FISIP UAJY Â sudah mengembangkan kebijakan dan layanan perkuliahan yang inklusif kepada mahasiswa/i nya. Sharing dimulai dengan paparan kebijakan UAJY terhadap mahasiswa-mahasiswi disabilitas. Kemudian dilanjutkan testimoni dari Dafi, penyandang disabilitas tuli dari Prodi Sosiologi, FISIP UAJY. Untuk memberi gambaran layanan, video layanan perkuliahan dan sarana-prasarana untuk penyandang disabilitas di UAJY ditayangkan.
Nizam menyampaikan, "Kemendikbud memfasilitasi berbagai kegiatan untuk anak didik dengan disabilitas, termasuk telah membuat panduan layanan kelas daring untuk pengajaran dan mahasiswa di Perguruan Tinggi untuk persiapan pelaksanaan perkuliahan tahun ini."
Subagya menambahkan, "Kunci pendidikan inklusif adalah akomodasi dan adaptasi. Yang penting mengubah mindset, bahwa anak belajar tanpa batas."
Sebagai sharing dalam testimoninya, Dafi menyatakan, "Pentingnya aksesibilitas disabilitas untuk mendorong mewujudkan universitas inklusif."
"Yang soal langkah-langkah mewujudkan kampus inklusif, menurut saya lebih penting cari koneksi organisasi difabel yg mahasiswa pernah gabung, agar bisa menyesuaikan kebutuhan aksesnya," tambah Dafi.
Emilia berharap, "Dengan mengikuti kunjungan virtual ini, peserta kegiatan dapat mengidentifikasi tantangan, menemukan solusi dan meyusun strategi yang tepat untuk mengembangan layanan perkuliahan yang inklusif di kampusnya, serta peserta dapat mulai memikirkan untuk menyelenggarakanprogram pendidikan inklusif dan disabilitas pada universitas mereka."
Penulis: Vita Astuti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H