Sebagai manusia, seringkali kita mudah untuk marah. Kondisi apapun yang tidak sesuai dengan keinginan membuat kita marah. Bahkan berinteraksi dengan salah satu anggota keluarga baik itu pasangan, anak, orang tua, kakek, nenek, saudara, serta teman dan rekan kerja jika terdapat hal yang tidak sesuai yang memicu perdebatan sehingga menimbulkan kemarahan yang meledak-ledak.Â
Ketika seseorang marah, maka dirinya tidak mampu mengendalikan diri. Emosi negatif mengontrol dan menguasai dirinya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih. Maka saat seseorang marah, ia akan mengeluarkan kata-kata kasar bahkan penuh hujatan dan cacian. Selain itu, orang dalam kondisi marah dapat bertindak kasar dengan mengusir, mencampakan, dan yang terburuk melakukan kekerasan fisik.Â
Seseorang yang dikuasai emosi dalam kemarahan akan membuat kesalahan besar dalam menentukan suatu keputusan krusial. Orang lain dapat menjadi korban kemarahan seseorang. Perasaan orang itu akan terluka dan menimbulkan trauma mendalam yang membutuhkan waktu untuk diobati.Â
Orang dalam kondisi marah tidak dapat diajak berbicara dengan tenang. Jika seseorang berusaha untuk masuk ke dalam emosinya, maka ia akan lebih emosional. Oleh karena itu, orang dalam kemarahan sebaiknya tidak diajak berbicara atau berdebat. Bahkan jangan pernah memberikan nasihat kepada orang yang sedang marah.
Seperti yang sudah banyak diberitakan di media masa, bahwa seseorang dalam puncak kemarahan melakukan tindakan brutal seperti membunuh orang terdekatnya tanpa ampun. Mereka tersulut oleh ujaran dari orang sekitarnya yang menyulut api emosi dalam dirinya sehingga orang tersebut tidak dapat mengontrol perilakunya. Kemarahan menutupi pikiran rasionalnya, dimana ia melampiaskan kemarahan itu dalam tindakan brutal atau menyimpang.Â
Kemarahan yang di luar kendali merupakan gangguan emosi yang membutuhkan pengobatan kejiwaan. Marah yang tidak dapat dikontrol dapat menjadi awal dari sebuah bencana besar dalam kehidupan. Orang dengan gangguan emosi mungkin mengalami trauma masa lalu atau luka batin yang didapatkan dari pola asuh pada masa kanak-kanaknya. Selain itu, gangguan emosi ini juga dapat terjadi karena warisan genetik.
Sifat mudah marah biasanya lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Rasa marah yang dialami wanita dalam bentuk omelan-omelan halus hingga kasar yang berdampak pada orang-orang di sekitarnya. Seorang istri atau ibu merupakan sosok yang paling banyak melampiaskan kekesalannya dalam bermacam ragam komentar atau ujaran negatif.Â
Biasanya istri atau ibu mudah tersulut kemarahan oleh keadaan di sekitarnya, misal seorang istri yang bekerja, saat pulang ke rumah ia melihat cucian baju dan piring yang menumpuk, serta ruang tamu dan kamar tidur yang berantakan. Maka ia akan mengomel sambil beres-beres dan melampiaskan omelannya kepada anak dan suaminya. Anaknya akan diomelin karna tidak segera membereskan rumah setelah pulang sekolah dan si suami hanya duduk saja tidak ikut membantunya membereskan rumah setelah pulang kerja.Â
Anak dan suami yang memang sering diomeli oleh si ibu atau istri akan merasa jengkel. Biasanya mereka akan pergi begitu saja meninggalkan si ibu yang mengomel terus sambil membereskan rumah. Ketika Anda melihat contoh ini apakah hal ini merupakan situasi yang related dalam kehidupan Anda sebagai suami atau sebagai anak? Tentu saja seorang istri atau ibu yang mengomel tidak akan membuat orang-orang di sekitarnya baik-baik saja.Â
Mereka juga merasa marah karena Ibu terus mengomel dan mengesalkan. Demi tidak terpancing emosi lebih dalam, mereka memilih pergi begitu saja. Apakah mereka akan tergerak untuk ikut membantu membereskan rumah? Mungkin saja pada awalnya akan, tetapi omelan panjang yamg menyakitkan hati membuat mereka tidak tergerak untuk membantu, lebih baik mereka pergi untuk menenangkan pikiran dan menjauhkan diri dari si ibu atau istri yang marah-marah.
Saat saya masih tinggal dengan orang tua pun saya sering mendapatkan omelan dari ibu. Entah apapun diomeli oleh Ibu mulai dari bangun kesiangan, lupa menaruh kembali barang yang diambil, tidak langsung mencuci piring setelah makan, dan sebagainya. Seringnya diomelin membuat saya sangat kebal terhadap omelan orang-orang di sekitar saya karena saya sudah berdaptasi dengan banyak omelan dari Ibu. Tetapi walaupun saya diomelin, sebagai anak saya pun menuruti kehendak Ibu untuk mencuci piring setelah makan, meletakkan kembali barang yang saya ambil, dan berlatih bangun pagi.Â
Rupanya omelan Ibu merupakan bekal bagi tindakan baik bagaimana harus bersikap, bukan lari dari tanggung jawab, melainkan kita diajarkan untuk peduli terhadap apapun di sekitar kita. Baik itu kerapian, kebersihan, kedisiplinan, dan kepedulian. Tetapi, banyak anak atau suami yang menjadi trauma dan terluka batinnya karena terlampau sering diomeli ibu atau istri. Sebetulnya, hal ini kembali kepada kondisi kejiwaan dan persepsi masing-masing orang.
Ketika Ibu marah, kita tidak dapat mengendalikan situasi tersebut. Kemarahan Ibu disebabkan oleh kelalaian kita yang tidak mau berinisiatif membantu meringankan pekerjaan rumah tangga. Baik pria maupun wanita tidak boleh membedakan diri dalam urusan rumah. Pria dan wanita harus setara dan adil dalam urusan beres-beres rumah agar tetap nyaman ditinggali.Â
Wajar saja bila Ibu mengomel, tetapi bagi pria yang tidak terbiasa beres-beres rumah contohnya si ayah tadi, ia sejak kecil hingga sebelum menikah tidak pernah diberi tanggung jawab oleh orang tuanya untuk membereskan rumah. Maka perilaku si ayah akan sulit untuk diubah. Sementara si anak laki-laki yang sejatinya mengikuti sosok si ayah pun tidak begitu tergerak dengan kemauan si Ibu. Ia melihat ayahnya saja tidak membantu, kenapa dia harus membantu Ibu? Kita kan laki-laki,pantanglah kita pegang sapu.Â
Saat kita menikahi seseorang berarti kita sudah siap dengan kebaikan dan keburukannya. Kehidupan rumah tangga yang kita jalani bukan untuk kebahagiaan, namun untuk memberikan kebaikan kepada pasangan dan anak. Sebagai istri atau ibu ataupun sebagai suami atau ayah, kita harus berperan dengan bijak dan penuh tanggung jawab satu sama lain, serta selalu memberikan kebaikan. Demikian halnya sebagai orang tua, memberikan kebaikan bagi anak adalah hal yang utama.
Sebagai contoh, kita menasihati anak agar ia dapat hidup dengan baik, memberikan pendidikan formal agar kelak dapat menjadi bekal baginya di masa depan untuk hidup mandiri, serta menerapkan aturan pada anak untuk kedisiplinannya. Segala hal yang kita lakukan untuk kebaikan anak dan pasangan. Rumah tangga tersebut dapat rukun, damai, dan harmonis tetapi konflik akan selalu ada, ini dapat terjadi di luar kendali kita. Satu hal yang dapat kita lakukan yaitu bersikap tenang dan jauhkan amarah dalam berkomunikasi.
Sebagai tindak lanjut dari cerita seorang istri atau ibu di atas yang mengomel hingga anak dan suaminya pergi, hal ini merupakan sikap seorang Ibu yang tidak mampu menahan diri untuk tenang dalam menghadapi situasi. Suami sang Ibu juga memang bukan tipikal pria yang terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga sedangkan anak yang mudah tersinggung lebih mengikuti sikap ayah. Oleh karena itu, sebagai seseorang yang mudah marah, alangkah lebih baik mengalahkan kemarahan tersebut dengan mencoba belajar bersikap tenang.
Rumah yang berantakan tidak menjadi persoalan bila ditanggapi dengan santai. Ketika tubuh sudah terlanjur lelah setelah bekerja, alangkah baiknya rilekskan tubuh dan pikiran kemudian baru ajak anak dan pasangan untuk berbenah. Gunakan kata-kata yang bijak untuk memberikan pengertian serta menanamkan kesadaran kepada anak dan suami. Dengan demikian, anak dan suami tidak akan merasa terluka karena terlalu sering mendapatkan omelan dari ibu atau istri.Â
Hal ini berlaku pula bagi ayah atau suami. Bersikap bijaksana dan arif lebih baik daripada hanya mengandalkan emosi dalam situasi apapun. Amarah tidak dapat menyelesaikan segala permasalahan. Amarah hanya membakar dan merusak hubungan. Banyak perceraian pada rumah tangga seumur jagung dan rumah tangga yang sudah seperempat abad dikarenakan tidak mampu menguasai emosi.
Ketika kita marah kepada orang lain, maka orang tersebut pun akan terluka perasaannya. Ketika seseorang terluka, kita tidak dapat mengendalikan segala hal yang terjadi padanya setelah kita marah kepadanya. Segala kemungkinan buruk dapat terjadi, orang tersebut dapat sakit hati hingga menaruh dendam.
Orang yang merasa tersakiti, pikirannya menjadi tertutup. Ia pun diliputi kemarahan mendalam yang dipendam dalam waktu lama. Bila ia dipicu kembali oleh orang yang menyakitinya, maka ia akan bertindak di luar kendalinya. Orang tersebut sadar atau tidak sadar melakukan kekerasan hingga pembunuhan. Orang yang menyimpan dendam demikian pula dapat melakukan tindakan di luar nalar.Â
Oleh karena itu, kita tidak boleh marah kepada orang lain baik itu kepada anggota keluarga, teman, tetangga, rekan kerja, atau orang tidak dikenal. Hadapi situasi apapun dengan hati yang lapang dan atur pernapasan untuk menenangkan emosi. Bersikap diam lebih baik daripada marah. Jika merasa marah, cukup diam saja. Kita tidak perlu mengeluarkan kemarahan karena kata-kata yang keluar cenderung kasar yang akan menyakiti orang lain.
Bersikap tidak marah bukanlah hal yang mudah. Sebagai manusia yang lemah kita cenderung mudah terdistraksi oleh sikap orang lain dan keadaan di sekitar kita yang tidak sesuai dengan keinginan kita sendiri.Â
Segala sesuatu yang berada di luar kendali kita tidak dapat kita kendalikan termasuk perasaan orang lain terhadap kita. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain sebaiknya pelihara kata-kata yang baik dengan berujar yang pantas. Hindari segala bentuk konflik. Jangan merasa mudah terpancing emosi bila orang lain marah. Bersikaplah tenang dalam segala situasi. Jadikan diri sebagai individu yang selalu memberikan kebaikan kepada sesama.Â
Kemarahan hanya dapat memperburuk segala hal terutama hubungan antar keluarga dan sesama. Tidak perlu kita tanggapi orang yang sedang marah kepada kita. Justru bersikap diam jauh lebih bijaksana. Biarkan seseorang marah sampai habis dan tenang, kemudian kita dapat meminta maaf kepadanya. Mungkin saja amarahnya tercetus karena kelalaian kita.Â
Bila marah untuk kebaikan itu tidak masalah, seperti Ibu yang agak cerewet dengan anak atau suaminya. Namun alangkah lebih baiknya sebagai Ibu dapat menguasai diri. Memberikan nasihat atau teguran kepada anal masih relevan untuk dilakukan dengan cara yang bijaksana daripada marau-marah tanpa kendali yang akan melukai anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H