Mohon tunggu...
Fisio Yuliana
Fisio Yuliana Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Praktisi Fisioterapi

Perkuat literasi dengan membaca! Sebuah Halaman yang membagikan kualitas kesehatan mental, fisik, gerak tubuh, dan hubungan manusia. Bacalah 1 artikel setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Kita Tidak Boleh Membuat Orang Lain Marah?

3 Oktober 2024   16:00 Diperbarui: 3 Oktober 2024   16:19 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka juga merasa marah karena Ibu terus mengomel dan mengesalkan. Demi tidak terpancing emosi lebih dalam, mereka memilih pergi begitu saja. Apakah mereka akan tergerak untuk ikut membantu membereskan rumah? Mungkin saja pada awalnya akan, tetapi omelan panjang yamg menyakitkan hati membuat mereka tidak tergerak untuk membantu, lebih baik mereka pergi untuk menenangkan pikiran dan menjauhkan diri dari si ibu atau istri yang marah-marah.

Saat saya masih tinggal dengan orang tua pun saya sering mendapatkan omelan dari ibu. Entah apapun diomeli oleh Ibu mulai dari bangun kesiangan, lupa menaruh kembali barang yang diambil, tidak langsung mencuci piring setelah makan, dan sebagainya. Seringnya diomelin membuat saya sangat kebal terhadap omelan orang-orang di sekitar saya karena saya sudah berdaptasi dengan banyak omelan dari Ibu. Tetapi walaupun saya diomelin, sebagai anak saya pun menuruti kehendak Ibu untuk mencuci piring setelah makan, meletakkan kembali barang yang saya ambil, dan berlatih bangun pagi. 

Rupanya omelan Ibu merupakan bekal bagi tindakan baik bagaimana harus bersikap, bukan lari dari tanggung jawab, melainkan kita diajarkan untuk peduli terhadap apapun di sekitar kita. Baik itu kerapian, kebersihan, kedisiplinan, dan kepedulian. Tetapi, banyak anak atau suami yang menjadi trauma dan terluka batinnya karena terlampau sering diomeli ibu atau istri. Sebetulnya, hal ini kembali kepada kondisi kejiwaan dan persepsi masing-masing orang.

Ketika Ibu marah, kita tidak dapat mengendalikan situasi tersebut. Kemarahan Ibu disebabkan oleh kelalaian kita yang tidak mau berinisiatif membantu meringankan pekerjaan rumah tangga. Baik pria maupun wanita tidak boleh membedakan diri dalam urusan rumah. Pria dan wanita harus setara dan adil dalam urusan beres-beres rumah agar tetap nyaman ditinggali. 

Wajar saja bila Ibu mengomel, tetapi bagi pria yang tidak terbiasa beres-beres rumah contohnya si ayah tadi, ia sejak kecil hingga sebelum menikah tidak pernah diberi tanggung jawab oleh orang tuanya untuk membereskan rumah. Maka perilaku si ayah akan sulit untuk diubah. Sementara si anak laki-laki yang sejatinya mengikuti sosok si ayah pun tidak begitu tergerak dengan kemauan si Ibu. Ia melihat ayahnya saja tidak membantu, kenapa dia harus membantu Ibu? Kita kan laki-laki,pantanglah kita pegang sapu. 

Saat kita menikahi seseorang berarti kita sudah siap dengan kebaikan dan keburukannya. Kehidupan rumah tangga yang kita jalani bukan untuk kebahagiaan, namun untuk memberikan kebaikan kepada pasangan dan anak. Sebagai istri atau ibu ataupun sebagai suami atau ayah, kita harus berperan dengan bijak dan penuh tanggung jawab satu sama lain, serta selalu memberikan kebaikan. Demikian halnya sebagai orang tua, memberikan kebaikan bagi anak adalah hal yang utama.

Sebagai contoh, kita menasihati anak agar ia dapat hidup dengan baik, memberikan pendidikan formal agar kelak dapat menjadi bekal baginya di masa depan untuk hidup mandiri, serta menerapkan aturan pada anak untuk kedisiplinannya. Segala hal yang kita lakukan untuk kebaikan anak dan pasangan. Rumah tangga tersebut dapat rukun, damai, dan harmonis tetapi konflik akan selalu ada, ini dapat terjadi di luar kendali kita. Satu hal yang dapat kita lakukan yaitu bersikap tenang dan jauhkan amarah dalam berkomunikasi.

Sebagai tindak lanjut dari cerita seorang istri atau ibu di atas yang mengomel hingga anak dan suaminya pergi, hal ini merupakan sikap seorang Ibu yang tidak mampu menahan diri untuk tenang dalam menghadapi situasi. Suami sang Ibu juga memang bukan tipikal pria yang terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga sedangkan anak yang mudah tersinggung lebih mengikuti sikap ayah. Oleh karena itu, sebagai seseorang yang mudah marah, alangkah lebih baik mengalahkan kemarahan tersebut dengan mencoba belajar bersikap tenang.

Rumah yang berantakan tidak menjadi persoalan bila ditanggapi dengan santai. Ketika tubuh sudah terlanjur lelah setelah bekerja, alangkah baiknya rilekskan tubuh dan pikiran kemudian baru ajak anak dan pasangan untuk berbenah. Gunakan kata-kata yang bijak untuk memberikan pengertian serta menanamkan kesadaran kepada anak dan suami. Dengan demikian, anak dan suami tidak akan merasa terluka karena terlalu sering mendapatkan omelan dari ibu atau istri. 

Hal ini berlaku pula bagi ayah atau suami. Bersikap bijaksana dan arif lebih baik daripada hanya mengandalkan emosi dalam situasi apapun. Amarah tidak dapat menyelesaikan segala permasalahan. Amarah hanya membakar dan merusak hubungan. Banyak perceraian pada rumah tangga seumur jagung dan rumah tangga yang sudah seperempat abad dikarenakan tidak mampu menguasai emosi.

Ketika kita marah kepada orang lain, maka orang tersebut pun akan terluka perasaannya. Ketika seseorang terluka, kita tidak dapat mengendalikan segala hal yang terjadi padanya setelah kita marah kepadanya. Segala kemungkinan buruk dapat terjadi, orang tersebut dapat sakit hati hingga menaruh dendam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun