Tubuh ramping itu melesat gesit, di antara lebat pohon tanah Jawa yang subur, dalam belukar sunyi menyibak rahasia. Gagah perkasa dalam soliternya, menjadi simbol kuat dan elok perhutanan Jawa Dwipa.Â
Loreng hitam menghias pekat oranye kulitnya, mempertegas statusnya sebagai pemangsa puncak. Dahulu kala, eksistensinya jadi corak indah di alam yang megah, jadi setitik warna dari ragam rupa yang menyuasanai Nusantara.Â
Dahulu kala, eksistensinya punya ruang kebanggaan tersendiri bagi tanah Jawa, sebagai kekuatan alam tiada banding yang mengembara bebas, menapaki tiap-tiap daerah kuasanya tanpa gentar.Â
Pasang mata mana yang tak terpikat oleh pahat garang rupanya? Kemampuan berburunya bisa saja ditandingkan dengan Lintang Waluku, yang di Negeri Barat sana dikenal sebagai Sang Pemburu.Â
Tajam indranya jadi keuntungan, waspadanya meningkat berkali lipat. Senantiasa menanti momentum, meramal sekecil-kecilnya ruang baginya untuk menerkam, mencabik, memangsa.
Panthera Tigris sondaica. Kemampuan bertahan hidupnya tak perlu diberi ragu. Jiwa penyendiri sepertinya selalu berhasil menemukan celah, entah apa yang diproses dalam benaknya.Â
Sayang seribu sayang, sepoi malam tiba bersama dingin yang berbeda. Pada hari berita itu beredar, mulut ke mulut, telinga ke telinga. Perihal kejinya manusia, merenggut hak hidup kebanggaan tanah Jawa bersama segala jejaknya yang perlahan terkikis waktu.Â
Duka merambat merasuk dalam angkasa, menggerogoti hati insan-insan pengagum serba-serbi rupanya, membiarkan lantunan indah hutan nusantara kehilangan melodi dominannya. Duka memenuhi relung hati yang sepi, menggali sedalam-dalamnya kenangan yang tersisa tentang pemburu soliter yang kian pudar kenangannya.Â
Leluhur bangsa yang gagah perkasa, meninggalkan nusantara dalam nestapa. Menyisakan lara yang tak kunjung bertemu penawarnya.Â
Lantas siapa yang berhak disalahkan? Pada siapa tanggung jawab akan kesedihan itu akan ditumpangkan?