Apa itu Akad Musyarakah?
   Musyarakah, berasal dari kata Arab syirkah, adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih yang secara bersama-sama menghimpun modal atau tenaga untuk menjalankan usaha dengan kesepakatan berbagi keuntungan dan menanggung risiko sesuai proporsi yang disepakati. Dalam konteks syariah, musyarakah dilakukan melalui akad, yaitu perjanjian yang sah secara syariat melalui proses ijab-qabul. Dalam perbankan syariah, musyarakah digunakan sebagai mekanisme pembiayaan berbasis kolaborasi, di mana setiap pihak berkontribusi dana atau tenaga, dan hasil usaha, baik keuntungan maupun kerugian, ditanggung bersama secara adil sesuai prinsip syariah.
PermasalahanÂ
  Permasalahan dalam konsep Profit and Loss Sharing terletak pada kesulitan pihak bank dalam memantau laporan keuangan mudharib secara rinci, sehingga sulit memastikan kejujuran pelaporan terkait keuntungan atau kerugian usaha. Kurangnya kesadaran mudharib untuk melaporkan keuntungan secara jujur menjadi kendala utama dalam pembagian hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati. Selain itu, tidak adanya definisi yang jelas tentang biaya sebagai pengurang keuntungan membuka peluang bagi mudharib beritikad tidak baik untuk memasukkan komponen biaya yang tidak wajar, sehingga profit yang harus dibagi dapat terlihat negatif atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini menyebabkan kerugian operasional bagi bank syariah, terutama dalam memenuhi kewajiban memberikan keuntungan kepada nasabah yang menyimpan dana dalam bentuk tabungan atau deposito.
Dasar fatwa ulama
    Fatwa DSN -- MUI (Dewan Syariah Nasional -- Majelis Ulama Indonesia)
- Fatwa No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Musyarakah
- Fatwa No. 55/DSN-MUI/V/2007 tentang Rekening Koran Syariah Musyarakah
- Fatwa No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah
- Â Fatwa No. 105/DSN-MUI/X/2016 tentang penjamin pengembalian modal pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Wakalah Bil Istitsmar
- Fatwa No. 133/DSN-MUI/X/2019 tentang Al-Musyarakah Al-Muntahiyah Bi al-Tamlik
Standar Akuntansi syariah dan analisis
   Standar Akuntansi Keuangan 106: Akuntansi Musyarakah (PSAK 106) pertama kali dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) pada 27 Juni 2007. PSAK ini menggantikan ketentuan terkait penyajian laporan keuangan syariah dalam PSAK 59: Akuntansi Perbankan Syariah yang dikeluarkan pada 1 Mei 2002.
Berdasarkan surat Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI No. 0823-B/DPN/IAI/XI/2013 maka seluruh produk akuntansi syariah yang sebelumnya dikeluarkan oleh DSAK IAI dialihkan kewenangannya kepada Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) IAI
PSAK 106 ini mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi musyarakah, tetapi tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah (sukuk) yang menggunakan akad musyarakah. PSAK 106 juga memberikan ketentuan pengakuan akuntansi untuk mitra aktif dan mitra pasif, pada saat akad, selama akad, dan saat akhir akad.
Untuk pertanggungjawaban pengelolaan usaha musyarakah dan sebagai dasar penentuan bagi hasil, maka mitra aktif atau pihak yang mengelola usaha musyarakah harus membuat catatan akuntansi yang terpisah untuk usaha musyarakah tersebut.