Desember 2021, sebuah peristiwa dahsyat mengguncang negeri Filipina. Angin topan ganas dengan kecepatan mencapai 124 mph atau sekitar 200 kilometer per jam menghantam sebagian wilayah di negara itu. Nama yang disandangnya, Odette, terdengar begitu indah. Sungguh kontras dengan kehancuran yang ditinggalkannya, menyisakan bekas luka dan nestapa di hati orang banyak. Tidak kurang dari 375 nyawa hilang dalam peristiwa ini.
Salah seorang sahabat saya turut serta dalam peristiwa tersebut. Ia merupakan penduduk asli Filipina yang bermukim di Cebu, sebuah kota yang terletak di region Bisayak Tengah. Di saat yang bersamaan, kami yang berada di Indonesia merasakan kesulitan besar dalam proses distribusi bantuan secara tunai. Keterbatasan akses dan kendala logistik memerangkap kami dalam kebingungan sembari memutar otak. Jangankan untuk mengirimkan bantuan fisik, sekedar bertukar kabar saja sulitnya minta ampun.
Di tengah kondisi yang terdesak, sebuah ide dilemparkan ke forum. Bagaimana jika dilakukan penggalangan dana dalam bentuk aset kripto (cryptocurrency)? Nantinya dana tersebut ditansfer via exchange ke alamat wallet sahabat kami yang sedang tertimpa musibah. Mungkin sebagian dari pembaca akan mengernyitkan dahi. Kan, transfer duit nggak harus via crypto exchange, alias masih banyak opsi layanan pengiriman uang lainnya.
Betul, mentransfer cryptocurrency bukan merupakan satu-satunya jawaban untuk memindahkan aset---dalam konteks ini, charity---dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun keterbatasan waktu menyebabkan saya dan rekan-rekan mau tidak mau harus memilih opsi yang seefektif dan seefisien mungkin. Kenapa bukan layanan pengiriman uang yang lain? Jelas, kami tidak mau ambil resiko menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik yang belum terdaftar di Kominfo---sementara exchange crypto yang jasanya kami pakai saat itu sudah legal dan terdaftar di Bappepti---atau buang-buang waktu menunggu beberapa hari kerja sampai dana masuk ke rekening tujuan. Tidak mungkin. Teman-teman saya sedang dirundung lapar, dingin, dan gelap di sana.
Interkonektivitas Transaksi Lintas Batas, Gengsi atau Urgensi?
Pengalaman di atas menjadi iktibar bahwa modernitas membuat kita enggan lepas dari sistem pertukaran yang secara kontinu mempengaruhi kiri kanan aspek kehidupan. Konon sejak jaman nenek buyut sampai kalau butuh apa-apa tinggal gopud, manusia tak lepas dari yang namanya upah-mengupah, sewa-menyewa dan beli-membeli. Hal tersebut relevan dengan hukum peralihan kepemilikan dari satu individu ke individu lain dengan kompensasi yang pasti, baik dalam bentuk uang maupun non-uang dalam prinsip yang mengatur mekanisme Natural Certainty Contracts (Hidayat: 2011). Meski NCC tidak berlaku dalam kasus charity sebagaimana yang saya ceritakan di atas, namun kita tak bisa serta-merta melupakan hubungan saudara kita yang ada di belahan bumi yang lain. Oleh karenanya, keberadaan sistem pertukaran yang interkonektivitas pun menjadi urgensi di era ini.
Urgensi tersebut dibuktikan dengan hadirnya sejumlah infrastruktur cross border transaction yang tentu sudah tak asing lagi di mata dan telinga kita. Sebagian besar dari kita tentu penah menggunakan QRIS, standar kode QR yang kerap digunakan untuk pembayaran elektronik. Diluncurkan Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia nyaris empat tahun silam, QRIS sendiri merupakan manifestasi transaksi lintas batas yang tak hanya memudahkan transaksi masyarakat negeri ini, namun juga warga negara asing yang berlabuh ke Indonesia. Dari toko kelontong sampai warung pecel, semuanya pakai QRIS.
Saking booming-nya perkara ini, pernah suatu waktu muncul perdebatan terhadap cara pengucapan QRIS yang benar--- kyuris, kiris, atau kris? Hal tersebut sempat menjadi kelakar di jagat maya, sampai-sampai Perry Warjiyo---Gubernur Bank Indonesia---sendiri, dikutip dari pramborsfm.com ikut angkat bicara terkait perkara ini. "Ya tinggal scan aja 'kris', bukan 'kyuris' loh. Ingat! Kris bukan kyuris," ringkasnya.
Hegemoni penggunaan transaksi nontunai tampaknya diiringi dengan konsesus bersama dari masyarakat yang keberadaannya tak hanya di Indonesia, namun di beberapa negara ASEAN lainnya. Tetangga kita Thailand, misalnya, bank sentral dan fintech yang ada di itu berkolaborasi menciptakan sebuah sistem pembayaran yang diberi nama PromptPay. Sama seperti QRIS, skema pembayaran PromptPay berdasarkan pada QR kode yang telah terstandarisasi. Dilansir dari aseanbriefing.com, dalam rangka mewujudkan kelancaran sistem pembayaran lintas batas, Thailand dikabarkan telah menggaet negara tetangga, Malaysia melalui keterhubungan antara PromptPay dan DuitNow.
Di Indonesia sendiri, cross border transaction yang diinisiasi Bank Indonesia dikuatkan PADG No.21/18/2019, berisikan implementasi standar nasional kode QR untuk pembayaran. Hal tersebut menjadi semacam lampu hijau sekaligus angin segar akan kemajuan sistem pembayaran di masa mendatang. Tidak mengherankan, sebab merujuk pada data terakhir dari Bank Indonesia, pada Maret 2023, jumlah transaksi uang elektronik yang beredar di penjuru negeri ini mencapai 143,7 triliun rupiah. Sebanyak 25.7% dari keseluruhan nilai tersebut merupakan transaksi belanja dan 17.68% berupa transfer antar uang elektronik.