Laut menjadi rumah bagi seluruh elemen kehidupan di bumi, mulai dari biota tak kasat mata, hewan lucu yang kerap menghiasi layar televisi, hewan buas pemangsa sesama, bahkan rumah bagi manusia. Ya, tanpa sadar manusia memiliki rumah lain selain--bangunan kotak berbeton--yang ditinggali selama ini. Laut bukan hanya sekedar air asin dengan jumlah banyak yang menghubungkan antar pulau bahkan antar benua, melainkan sebuah rumah tempat bagi biota tinggal, dan tempat yang wajib dijaga kelestariannya bagi manusia.
     Kementerian Dalam Negeri (Mei, 2010) mencatat luas daratan Indonesia adalah 1.910.931,32 km2. Sedangkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau yang biasa dikenal dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (1982) mencatat luas laut Indonesia mencapai 3.544.743,9 km2, yang terdiri dari laut teritorial seluas 284.210,90 km2, luas Zona Ekonomi Ekslusif sebesar 2.981.211,00 km2, dan luas Laut 12 Mil sebesar 279.322,00 km2. Badan Informasi Geospasial (BIG) juga menginformasikan, total panjang garis pantai Indonesia adalah 99.093 kilometer. Angka tersebut cukup menampar kita bahwa tersimpan berjuta potensi yang bisa diperoleh dari sektor kelautan, jutaan biota yang harus dijaga, dan ribuan juta makhluk hidup yang harus diselami identitasnya. Hal ini menjelaskan betapa kayanya laut Indonesia, dan betapa miskinnya pengelolaan lautnya.
     Living Planet Index Kelautan mencatat adanya penurunan populasi mamalia, burung, reptil dan juga ikan sebanyak 49% sejak tahun 1970 hingga 2012. Hal ini menandakan potensi penyokong kehidupan kelautan mengalami penurunan yang sangat banyak, setengah populasi telah lenyap. Bagi Indonesia yang memiliki lebih dari 13.000 pulau dan penduduknya yang bergantung sebagian besar pada sektor kelautan, pasti ikut terancam.
     Menurunnya ekosistem laut ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh banyak faktor, namun dari seluruh faktor penyebab tersebut sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, adalah ulah tangan kotor manusia. Penangkapan ikan dengan cara yang salah serta over fishing yang dilakukan menyumbang peran terbesar. Kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan seperti menggunakan pukat harimau, bahan peledak, baha beracun, dan menggunakan alat tangkap trawl sangat bertentangan dengan kode etik penangkapan.
     Meski ada banyak inisiatif konservasi, namun sayangnya sebagian besar ekosistem laut Indonesia yang luas ini berada dalam ancaman. Data terbaru dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI mengungkap bahwa hanya 5,3% terumbu karang Indonesia yang tergolong sangat baik, sementara 30,45% berada dalam kondisi buruk. Indonesia juga telah kehilangan sebagian besar mangrovenya. Dari tahun 1982 hingga 2000, Indonesia telah kehilangan lebih dari setengah hutan mangrove, dari 4,2 juta menyusut menjadi 2 juta hektar.
     Pada saat produksi perikanan Indonesia meningkat, Indonesia juga mengalami ancaman penurunan perikanan akibat krisis ganda degradasi ekosistem kelautan serta penangkapan ikan berlebih (over fishing). Dibanding dengan 27 negara produsen ikan lain, perikanan Indonesia paling rentan hancur produktivitasnya berdasarkan indikator manajemen terumbu karang, situasi perikanan dan ketahanan pangan.
     Beberapa wilayah tangkap perikanan di Indonesia sudah menghadapi gejala eksploitasi over fishing untuk beberapa kelompok komoditas penting, seperti pelagis besar, pelagis kecil, udang, dan ikan demersal. Dengan kata lain, Indonesia kini berada di ambang kelangkaan perikanan.
     Ironisnya, nelayan kecillah yang merasakan dampak dari ancaman kelangkaan perikanan tersebut. Betapa tidak, mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk komponen BBM (bahan bakar minyak), karena lokasi penangkapan ikan (fishing ground) yang semakin menjauh. Kelangkaan ini juga terlihat dari makin mengecilnya ukuran ikan, turunnya jumlah tangkapan, dan hilangnya beberapa spesies yang dulunya merupakan tangkapan utama. Lebih parah lagi, perikanan Indonesia juga mengalami ancaman masalah klasik penangkapan ikan ilegal, peralatan ilegal, dan pencurian ikan oleh kapal-kapal asing yang menggunakan kapal penangkap ikan lebih besar.
     Kesadaran akan ancaman ini membuahkan sebuah konsep wilayah konservasi kelautan yang secara umum disebut Kawasan Konservasi Perairan (KKP), yang telah diterapkan secara global di dunia dengan istilah umum, yaitu Marine Protected Area (MPA). PP nomor 60 tahun 2007, menyebutkan bahwa KKP adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
     Indonesia telah memiliki luasan kawasan KKP yang berjumlah 17,98 juta Hektar. KKP tersebar diseluruh Indonesia (165 KKP) dan diatur dalam perencanaan zonasi pesisir dan kepulauan setiap propinsi. Sebagai solusi dalam pengelolaan Sumber Daya Laut (SDL), dengan adanya KKP penerapan peraturan untuk menjaga kesehatan ekosistem, yang akan mendatangkan banyak manfaat, seperti peningkatan produksi ikan, karena adanya perlindungan di daerah penting (daerah pengasuhan dan peneluran), juga meningkatkan potensi wisata. Namun hasil yang didapatkan tidak serta merta langsung diterima, karena harus melalui beberapa tahapan seperti proses pemulihan, penegakkan hukum dan ketaatan yang baik terhadap aturan KKP.
     Secara umum kewenangan KKP berada pada dua kementerian, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan yang meliputi 4 jenis kawasan (Kawasan Konservasi Perairan, Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kawasan Konservasi Maritim dan Sempadan Pantai), sedangkan KKP yang berada dibawah kewenangan Kementerian Lingkunagn Hidup dan Kehutanan memiliki 4 jenis (Taman Nasional Laut, Taman Wisata Alam Laut, Cagar Alam Laut dan Suaka Margasatwa Laut).
     Simbiosis mutualis, sepertinya menjadi gambaran tepat dari usaha konservasi ini, karena bukan hanya alam dan ekosistem tumbuhan ataupun hewan saja yang bisa diuntungkan dari sini, manusia yang merupakan faktor penting dalam hal ini juga mendapatkan timbal balik yang baik, seperti terciptanya peluang ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat pesisir dengan terbukanya lapangan pekerjaan di sektor perikanan, pariwisata dan transportasi, bahkan dengan penataan kawasan konservasi yang baik dapat meredam konflik pemanfaatan sumber daya laut, canggih bukan?