Sebagai mahasiswa prodi kependidikan yang telah duduk di semester tujuh, saat ini saya sedang mengikuti Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di sebuah SMK swasta di kabupaten Kendal. Setelah melewati masa observasi, tiba saatnya saya untuk mengajar para siswa secara penuh, tidak lagi hanya mengobservasi cara mengajar guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut. Jika terdapat sebuah iklan yang mengatakan "kesan pertama begitu menggoda", maka begitu pula dengan kesan pertama saya mengajar para siswa yang mayoritas laki-laki ini. Pekikan lantang mereka begitu saya tiba di ambang pintu kelas menggoda hati saya untuk deg sejenak. Bagaimana tidak, mereka menyambut saya dengan pekikan "Bahasa Indonesia? Bosan, Bu...!".
Sebagai seorang guru praktikan, curahan hati para siswa tersebut cukup menohok saya, bahkan sebelum saya sempat menjalankan proses apersepsi kepada mereka. Dengan nada bercanda, saya mencoba berinteraksi dengan mereka. "Mengapa bosan? Apa jangan-jangan kalian sudah bosan tinggal di Indonesia?", lantas mulai terdengar teriakan sahut-menyahut menjawab pertanyaan saya. Setelah berhasil menjalin komunikasi dengan para siswa, saya dapat menyimpulkan bahwa ada dua alasan pokok penyebab kebosanan para siswa tersebut. Pertama, karena model mengajar guru bahasa Indonesia yang masih konvensional. Menurut siswa, selama ini pelajaran bahasa Indonesia hanya diisi dengan mencatat dan mengerjakan soal. Para siswa SMK ini sebenarnya menginginkan model pembelajaran yang lebih "menantang" adrenalin mereka.
Penyebab kedua datang dari diri siswa sendiri yang menganggap remeh pelajaran bahasa Indonesia. Entah ini hanya subjektivitas saya semata atau memang di sekolah yang lain mengalami hal yang sama, menurut saya para siswa SMK ini terlalu menyepelekan pelajaran bahasa Indonesia yang hanya ada dua jam pertemuan setiap minggunya. Jika memerhatikan siklus sebab-akibat, tentu terdapat korelasi antara kedua alasan tersebut. Apabila selama ini pembelajaran berlangsung monoton, bagaimana mungkin siswa akan menganggap hal tersebut menjadi hal yang penting? Pasti di benak para siswa sudah ada pemikiran bahwa pertemuan selanjutnya mereka hanya akan disuruh mendengarkan dan mencatat, tanpa ada tindak lanjut kecuali ulangan tertulis, untuk apa mereka harus bersusah payah memerhatikan sang guru mengajar? Bukankah setelah lulus nanti, buku-buku catatan mereka hanya akan berakhir di tukang loak?
Menilik ke teori Koentjaraningrat yang memecah konsep kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal, bahasa termasuk ke dalam salah satu unsur tersebut. Masih menurut Koentjaraningrat, ketujuh unsur kebudayaan universal tersebut menjadi milik diri manusia dengan cara belajar. Lalu, bagaimana bisa para pemuda memiliki bahasa Indonesia selaku bahasa nasional bangsanya sendiri jika mereka sudah bosan belajar bahasa Indonesia? Haruskan bahasa Indonesia terbuang dari kebudayaan negaranya sendiri?
Saya kembali teringat dengan salah satu pesan dosen, "belajar bahasa Indonesia itu belajar berbahasa, bukan belajar tentang bahasa". Model pengajaran konvensional yang hanya menggunakan metode ceramah dan mencatat hanya mengajarkan tentang bahasa, tidak memacu siswa untuk belajar berbahasa. Sebagai contoh kasus, semenjak bangku SMP, siswa sudah dikenalkan dengan penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan, akan tetapi mengapa sampai sekarang para siswa masih latah menggunakan bahasa gaul dalam berbagai situasi formal? Mengapa para siswa masih saja berkata, "Ibu, saya mau praktek di laboratorium,"? Bukankah seharusnya menggunakan lema praktik? Belajar berbahasa adalah berusaha membiasakan para siswa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai konteksnya. Apabila para siswa sudah paham akan jenis-jenis surat resmi, mengapa masih menggunakan lema ijin dalam surat izin sakit yang mereka tujukan ke pihak sekolah? Bukankah jika mengacu ke EYD, seharusnya menggunakan lema izin? Hal tersebut masih saja terjadi karena memang masih minim pula pembiasaan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sebagai calon guru bahasa Indonesia, meluruskan konsep belajar berbahasa menjadi tanggungjawab yang tidak boleh disepelekan. Karena bagi guru bahasa Indonesia, bukan sematan pahlawan tanpa tanda jasa saja yang ada di pundak, tetapi sematan tanda pengawal budaya bangsa sekaligus juru kunci persatuan Indonesia juga ada di pundaknya. Setelah tiga kali mengajar di kelas, saya menemukan konsep bahwa seindah-indahnya konsep pembelajaran bahasa Indonesia yang telah dirumuskan dalam RPP, tidak akan bermakna apa-apa jika guru tidak mengajar dengan merangkul hati para siswa. Deretan kalimat indah di RPP hanya akan berakhir di tumpukan kertas daur ulang jika guru tidak mampu memfasilitasi siswa untuk belajar berbahasa, tidak mampu membiasakan para siswa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai situasi dan kondisinya, dan jangan sampai guru bahasa Indonesia tidak berarti apa-apa untuk bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H