Mohon tunggu...
Nina F. Razad
Nina F. Razad Mohon Tunggu... Editor/Jurnalis -

Lahir di Jakarta, besar di Bandung dan jatuh cinta pada Kota Daeng, Makassar. Jebolan ESP Unpad yang "nyasar" menjadi Jurnalis Investigasi & Hukrim untuk Harian Jakarta. Kini bertugas sebagai Editor Website P2KKP (d/h PNPM Mandiri Perkotaan). Tergabung dlm komunitas Rose Heart Writers (RHW), melahirkan buku Kumpulan Cerita Hukum (Cerkum) Good Lawyer (2009) dan Good Lawyer S.2 (2010).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Deklarasi Malioboro, Titik Balik Kebangkitan Pers Indonesia?

10 Juli 2014   03:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:49 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersyukur. Begitu reaksi saya saat tadi pagi membuka Blackberry Messenger (BBM). Pasalnya, di BBM tersebut ada tautan satu berita dari yayang  saya. Ini tautannya: http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/08/deklarasi-malioboro-insan-pers-minta-maaf-ke-rakyat-karena-ikut-terpolarisasi-pilpres Alhamdulillah. Akhirnya! Ya. Akhirnya, ada juga pihak pers yang berani menyatakan diri telah keliru–walau mungkin bukan mereka sendiri yang melakukannya. Namun, karena terdorong kebersamaan, mereka duluan meminta maaf–mewakili kawan-kawan media lain yang sudah menyadarinya. Begitulah, rasa persaudaraan dalam dunia media itu (setidaknya dahulu, hehe..), mirip dengan rasa persaudaraan dalam dunia militer, sangat tinggi. (Nyaris) tak pernah ada perbuatan saling menghina antara satu media dengan media lain. Padahal sama-sama mencoba “menjual” oplah atau rating. Jikapun ada persaingan menjaring fans, mereka tidak melakukannya dengan cara menjatuhkan media lain. Seperti saya bilang dalam postingan sebelumnya (baca di blog saya, karena saya tak sempat mempublikasikannya di Kompasiana: Hei Media, Jangan Kau Melacur!):

Jadi jelas bahwa insan media (seharusnya) menyadari bahwa bekerja di media adalah bekerja di bisnis kepercayaan. Integritas (nama baik) dan martabat adalah taruhannya. Dan biasanya bisnis kepercayaan ini TIDAK berbanding lurus dengan profit.

Nah, para pelaku media ini paham betul, cara “menjatuhkan” itu tidak akan menuai simpati pembaca, makanya mereka menghindari ini. Mereka membiarkan semua penilaian ada di tangan pembaca. Semakin faktual, semakin aktual, semakin reliable dan terpercaya beritanya, akan semakin banyak pula pembacanya. Begitulah. Sayang, di tahun 2014 ini, banyak yang menilai (termasuk saya, yang mantan orang media di Jakarta ini) bahwa media massa semakin melenceng dari pakemnya. Bukannya jadi media pencerdas bangsa, malah jadi pengecoh bangsa, dengan menerbitkan berita-berita tidak berimbang. Padahal mereka tahu yang sebenarnya. Namun, entah karena pesanan atau karena mengidolakan salah satu Capres, mereka hanya mem-blow up positifnya sang Capres idola dan menutup rapat-rapat negatifnya. Okelah, sebenarnya hal seperti itu boleh dilakukan, DALAM BATAS TERTENTU. Karena jika terus-terusan memberitakan hal positif satu Capres (idolanya) saja tanpa memberitakan hal positif dari Capres lain (non-idolanya), atau malah sengaja memberitakan hal negatif dari Capres lain (non-idolanya), itu namanya penyesatan publik! Ini yang harus dikoreksi. Harus dikembalikan ke tupoksi utamanya: mencerdaskan bangsa. Syukurlah Pers Yogyakarta sudah mengawalinya! Anda tahu, kenapa saya bersyukur Pers Yogyakarta mengawalinya? Karena Kota dan Provinsi Yogyakarta adalah salah satu wilayah yang paling disegani dan dihormati oleh pers se-Indonesia. Wilayah lainnya yang dipercaya sebagai “suara lantang” dan dihormati se-Indonesia adalah Jakarta (tentu saja), Surabaya, Semarang, Denpasar, Makassar, Kendari, Pontianak, Samarinda, Lampung, Banda Aceh, Maluku, dan Pekanbaru. Correct me if I’m wrong. Maaf, bukan berarti wilayah lain tidak dihormati–tentu saja semua pers di Indonesia sama-sama dihormati, tapi mesti diakui bahwa wilayah di atas itu paling strategis dan bisa menimbulkan efek paling besar terhadap “opini bangsa”. By the way, tempo hari saya membaca koran Papua Pos, dan tahukah kawan, bahasa jurnalistik mereka sudah baik sekali. Prediksi saya, pers Papua juga akan segera jadi salah satu pers wilayah yang paling disegani. Kembali ke soal Deklarasi Malioboro, saya positive thinking bahwa ini bisa jadi adalah titik balik kebangkitan Pers Indonesia. Untuk itu saya sih berharap pernyataan “back to neutral” akan segera dideklarasikan pula oleh semua pers se-Indonesia! Aamiin.. Semangat, kawan-kawan! Jangan ikuti jejak media asing, karena benar-benar mereka bukan tolok ukur terbaik di dunia.Saya malah ingin meng-encourage, kawan-kawan Pers Indonesia-lah yang kelak bisa menjadi contoh terbaik dan tolok ukur pers se-dunia! Kita bisa!! Lebih lanjut ini dia berita yang saya dapatkan soal Deklarasi Malioboro, Yogyakarta, 7 Juli 2014:

Great job, guys! *tulisan ini juga saya publikasikan di blog pribadi di hari yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun