Pukul 13.00 WIB, sang raja siang menggarang di langit kota yang berpolusi. Suhu kemarau membuat kebanyakan orang enggan keluar, kecuali yang harus melakukan aktivitas penting atau pun mengais rezeki. Kebetulan pada hari itu Wulan tak ada kelas, jadi ia tak perlu repot-repot menantang ultra violet menuju kampus, seperti kawan-kawan kosannya.
Setelah membayar semangkuk bakso keliling Mas Urip yang cukup mengganjal perut, Wulan kembali menghempaskan pantatnya di kursi rotan, di beranda rumah kos. Ia menunggu Pak Mojo, si penjahit keliling. Beberapa potong baju dan celana panjangnya perlu dipermak dan diganti resletingnya.
Tak beberapa lama kemudian, Pak Mojo muncul sambil mengayuh si Otoy, sepeda butut yang dimodifikasi dengan tambahan tempat mesin jahit. Entah muncul dari mana istilah tersebut, tapi warga di situ sudah terbiasa menyebut kendaraan khas pencari makan milik Pak Mojo dengan panggilan itu.
[caption id="attachment_153128" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi : www.miayam.bloggaul.com"][/caption]
Wulan tersenyum sumringah. Disambut oleh pelanggan cantiknya, Pak Mojo tampak gembira. Tapi, begitulah Pak Mojo. Laki-laki berusia kepala empat itu selalu ramah pada siapa saja. Hasil jahitannya sangat rapi dan harga jasanya murah meriah. Ditambah lagi dengan kemurahan hatinya yang rela sering diutangi oleh anak-anak kosan. Maka tak heran, Pak Mojo pun menjadi penjahit keliling favorit penghuni kompleks rumah kos tersebut, baik tua mau pun muda. Karena kehadirannya, anak-anak kuliahan tak perlu repot lagi ke tempat tukang jahit rumahan. Cukup memanggilnya saja, maka Pak Mojo pun segera menoleh dan menghampiri mereka.
Peluh telah membasahi tubuh kerempeng berkulit gosong itu. Sengal nafas serta kaki kurus nan kerasnya sebagai saksi derita hidup yang rela mengayuh berkilo-kilo meter setiap hari. Terenyuh Wulan melihatnya. Namun pada hari itu, Wulan menangkap ada yang berbeda dari Pak Mojo. Entah apa? Meski laki-laki itu tetap menebarkan senyum seperti biasa, raut sederhana Pak Mojo tampak tak begitu ceria. Tapi semua prasangka itu disimpan Wulan dalam hati. Ia pun mengajak Pak Mojo memasuki pelataran parkir rumah kosnya yang tertutup kanopi. Lumayan, matahari jadi tak terlalu menyengat lagi.
"Bapak Mau minum apa?"
"Gak usah repot-repot, Mbak. Bapak habis minum teh botol tadi di depan sana."
"Tapi..."
"Bener, Mbak, gak pa-pa kok, saya udah benar-benar minum tadi," ucap Pak Mojo dengan senyum tulus, berusaha meyakinkan Wulan kembali. "Mari Mbak, biar bapak liat yang mana-mana aja yang mau dijahit?"
Wulan pun mengangsurkan bungkusan berisi kain-kain tersebut pada Pak Mojo.