Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lima Belas Menit Saja...

27 Juni 2010   13:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:15 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Otakku butek! Rasaku eneg! Lidahku sepet! Kamu pikir enak apa berhadapan denganmu sekarang? Itu semua bukan karena aku jijik! Tapi... karena aku kangen kamu setengah mati! [caption id="attachment_178909" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi : www.shutterstock.com"][/caption] Musik kafe yang mellow memberondong telingaku. Aku benci suasana ini, karena sejalan dengan suasana hati. Aku sedang berakting menjadi orang munafik semunafik-munafiknya umat! Tolong jangan ganggu aku. Karena aku sedang berkonsentrasi, membaca jampi-jampi, bercokol dalam hati agar tak tergambar sikap norak yang bikin malu hati. Pasti! Aku sekarang selebriti! Suerrr deh! Mau disambar petir juga, sekarang aku sang diva tingkat nasional… gak cuma jebolan RT! Gengsi dooonk kalo harus ngeluarin taji… yang asik kan yang dingin, sok cool, acuh-acuh butuh… padahal memang butuuuh bangeeeeet!!! Laki-laki itu tersenyum sumringah di depanku. Entah pake pasta gigi apa dia? Tapi yang pasti senyumnya memikat hati, memikat jantung, memikat pembuluh darah ke jantung, sampai-sampai pesonanya hampir bikin aku anemia mendadak. “Makasih kamu mau nyempetin waktu ketemu aku… Kamu sekarang makin cantik, Vi. Cantik banget!!!” Glek! Asli, gue sewot….! Emang dulu gue gak cakep ya? Nyesel loe kan? Hmmm… “Hanya lima belas menit…. mungkin ini karma yang harus kuterima karena dulu gak punya banyak waktu untukmu….” Ya, dulu… hanya sedikit waktu untukku, tapi kamu punya sepanjang waktu untuk dayang-dayang di sekelilingmu!! Aku hanya cecunguk yang menantimu seperti pungguk merindukan bulan… “Ini bukan karma atau apapun juga, Dimas. Ini cuma urusan takdir. Aku dan kamu dipertemukan kembali beberapa menit ini juga karena takdir. Kalo aja kemarin schedule-ku ke kota ini dibatalkan, mungkin kita gak akan bisa ketemu…” Kucoba sedikit berempati walaupun perasaanku campur aduk seperti es campur di hadapanku. Merah, kuning, hijau, pink, putih, kuning…. Huuaaaaaaa….. gak terjabarkan pokoknya! Intinya, ada bahagia karena bertemu cinta pertama, tapi benci karena berliput perih. “Vi, aku cuma pengen minta maaf. Aku pernah mencampakkanmu demi Karina. Tapi setelah itu justru Karina yang mencampakkan aku! Bertahun-tahun aku coba cari pengganti kamu, tapi gak ada yang sama seperti kamu. Sabar, ngertiin aku, gak matre…. Sekarang baru aku nyadar, Vi… kamu tu segalanya….” Tuinggg!! Tangan Dimas menangkupi jemariku di atas meja. Tiba-tiba saja es campur yang kusuap ke mulut langsung tak berasa. Sebentar saja rasanya aku sedang terbang ke awang-awang, tapi dengan setengah mati pula kucoba kembali menginjak bumi. Dilema pun melanda….. “Aku tahu mungkin aku tak tau diri, tapi aku harus katakan ini…. Aku masih cinta kamu, Vi…. Entah kenapa, aku merasa kamu masih menyimpan rasa yang sama…. Mau gak kita mulai lagi dari awal?” Gila! Kenapa aku mati kutu begini? Aku cinta kamu, Dimas…. Cintaaaaaaaaaaaaaa banget sampe detik ini. Gak ada yang mampu menggantikan posisimu di hatiku, Dim. Gak ada….. Sejurus kemudian, tanganku membuat keputusan pasti. Kuusap tangan Dimas dengan sepenuh hati. Kugenggam lalu kuciumi punggung tangannya dengan penuh kelembutan. Dimas terlihat tersenyum bahagia.Apalagi ketika sebelah telapak tangannya kuletakkan di dadaku sebentar. “Bisa kau rasakan detak jantungku, Dim?” Dimas mengangguk tak mengerti. Dahinya yang berkerut sebenarnya menambah lukisan ketampanannya di usia yang mapan dan pantas digila-gilai. Lalu kuletakkan tangannya kembali di atas meja. “Apa jantungku berdegup kencang?” Dimas dirundung kebingungan. Matanya menatapku tajam. Mencari kepastian apa yang ada di otakku. Tampaknya ia menyadari, kini aku tak lagi bermain hati tapi bermain rasio. Namun bibirnya terkatup, seolah tak sanggup berucap apapun lagi. “Aku juga cinta kamu, Dim….” ucapku pelan. Terperanjat. Mata Dimas membola. Ada binar bahagia terpancar di dalamnya. Tapi sayang… itu hanya sejenak sebelum akhirnya kutumpas binar itu dengan sembilu kata. “Tapi… itu dulu…. Sebelum kamu sendiri yang membunuh cintaku….,” imbuhku tanpa ragu lagi.”… jadi… jangan salahkan aku jika degup ini tak lagi sekencang dulu, 5 tahun lalu. Ketika masih berada di sampingmu…” “Avi….. aku tau kamu bohong….!!!” seru Dimas seperti tak kuasa menerima ‘kekalahannya’. Wajahnya memerah padam. Mungkin predikat Don Juan yang selama ini disandangnya serasa diinjak-injak olehku. “Tolong pikirkan kembali ….” Aku langsung berdiri, tak berusaha menanggapi. Kutatap wajah penuh geramnya sebelum beranjak. Sambil melirik jam tangan mewah nan elegan yang melingkar di tanganku, aku melemparkan senyum terindah padanya. Mungkin untuk terakhir kalinya. “Lima belas menit … pas. Maaf, pesawatku sudah menunggu. Good bye, Dimas…..” Dengan sekali kedipan mata, aku meninggalkan laki-laki yang hanya mampu melongo menatap punggungku itu. Aku pun melenggang meninggalkan kafe dengan penuh kemenangan. Tak peduli betapa padatnya para pencari berita akan mengerubungiku di luar sana. Karena beberapa bodyguard sudah siaga menungguku di depan pintu keluar. Menuntunku menuju sebuah jaguar hitam yang akan mengantarku ke bandara. Sejurus kemudian, bibirku mungkin masih sanggup menebarkan senyum ‘profesional’ pada siapa saja di hadapanku. Namun, sungguh...! Aku tak mengerti mengapa perasaanku menghuru-hara sedetik itu juga. Padahal, seharusnya aku bahagia karena dendam itu telah terbalaskan. Dendam sejak 5 tahun lalu, ketika aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Namun sekuat tenaga, aku membulatkan hati. Menatap ke depan, tanpa menoleh lagi…. Maaf, Dimas, semua harus berakhir… Aku harus secepatnya kembali! Harus pingitan sampai minggu depan. Karena pemilik label rekaman ternama itu takkan mau menunggu terlalu lama untuk menikahiku…..God Bless you, Hon…. *** #Kisah ini hanya fiksi belaka, hanya sebuah coretan iseng di tengah kebuntuan ide... :(

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun