Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rindu: Dua Minggu Mencari Cinta #15

7 Agustus 2010   12:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:14 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_218729" align="alignleft" width="238" caption="Ilustrasi oleh Azam Raharjo : 'Colour Sketch of a Redhead'"][/caption]

Rindu terperangah. Di manik matanya membayang sesosok jangkung yang telah berdiri di bingkai pintu. Mendadak degup jantung Rindu menghentak keras. Wajahnya memucat bagai tersengat listrik. Dikucek-kuceknya mata indahnya, seakan tak percaya atas apa yang tersaji di depan matanya.

“Pagi, Rindu…”

Tak kuasa menatap senyuman yang menghiasi wajah tampan nan kian tirus itu, Rindu cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Ada sembilu mengiris kalbu, namun entah mengapa senyum itu terasa menjadi penawar keperihan yang telah dirasakannya berhari-hari. Senyum yang diam-diam masih sangat dirindukannya.

“Sa…Satria….?”desis gadis itu. Setengah mati ia mencoba menetralisir suasana hatinya.

“Maaf… kalau pagi-pagi aku sudah datang kemari….” Satria sedikit menggaruk keningnya. Ada raut salah tingkah yang ditangkap Rindu. Namun pesonanya belum mampu melunturkan keegoan hati Rindu.

“Ini sudah pukul sepuluh. Gak terlalu pagi kurasa… Malah sudah hampir kesiangan…” jawab Rindu lugas. Bahkan telinganya sendiri hampir tak percaya dengan kata-kata yang barusan terlontar dari bibirnya. Dingin dan sedikit bergetar, malah cenderung sinis. Mungkin berusaha menahan ribuan rasa yang hinggap dan menghujam tanpa ampun. “Silahkan masuk…”

Dengan wajah kaku, Rindu mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu Puri Nendra yang lumayan luas. Satria pun mengekorinya dengan tenang. Namun suasana hangat bungalow tersebut belum mampu mencairkan kebekuan antara kedua sejoli yang seharusnya sudah bersiap-siap menuju hari H pernikahan mereka. Mereka bagai dua orang asing yang tak tahu harus berbicara apa dan memulai dari mana. Seolah-olah perjalanan cinta yang sudah terjalin tiga tahun lamanya, tak membuahkan keakraban apapun sejak surat perpisahan itu Satria layangkan pada Rindu, seminggu yang lalu. Tak beberapa lama kemudian, Mbok Wati, pembantu di bungalow Om Welly menyajikan minuman dan penganan ringan. Dengan sedikit basa-basi, Rindu mempersilahkan Satria mencicipi setelah si mbok pergi.

“Kamu lebih kurusan, Rin…” ucap Satria sambil meletakkan kembali secangkir teh yang diseruputnya barusan di atas tatakan. Geraknya begitu tenang dan tanpa rasa berdosa. Bahkan pria itu segera melanjutkan kalimatnya, sebelum Rindu sempat mengatakan apapun.“…dan kamu… makin cantik… Swear!”

Plas! Wajah Rindu memerah semu. Damn! Rinduuuuuuuuuu…. Plissss deeeehhh… ini bukan saatnya loe kege-eran… Cepat selesaikan masalah ini….!!! pekik hati Rindu memaki-maki sendiri.

“Syukurlah kalau kamu baca pesanku semalam….” ucap Rindu perlahan. Ia sengaja tak menanggapi ucapan Satria tadi. Ia berusaha menguatkan hati untuk menanyakan sebuah pertanyaan yang membelenggu hati dan pikirannya berhari-hari. “Straight to the point, kenapa kamu memutuskan untuk meninggalkan aku? Aku hanya ingin tahu, apa sebenarnya salahku?”

“Apa aku perlu jawab semuanya?”

“Hah?!!” Mata Rindu membulat. Ia tak percaya dengan reaksi Satria yang menanyakan kembali pertanyaannya, seolah-olah barusan dirinya hanya bertanya, ‘Satu tambah satu itu berapa?’. Brengsek! Rindu mengepal jemarinya, berusaha menekan amarah. Tenang, Rindu… tenaaaaang…

“Ya, kamu tahu kan? Semua persiapan pernikahan sudah dilakukan. Wedding organizer, gedung, baju pengantin, foto pre-wed, bahkan undangan pun telah tersebar. Tapi kamu justru memutuskan untuk meninggalkan aku tanpa penjelasan apapun… Kamu letakkan harga diriku dan keluargaku hanya pada secarik kertas surat perpisahan… Pengecut!!! Di mana Satria yang memintaku dulu dengan cara terhormat pada ayah dan ibuku? Kamu pikir aku apa? Aku sampah, hah???” Rindu benar-benar tak sanggup menahan lagi emosinya. Matanya berkaca-kaca dan wajahnya memerah padam.

“Rin… sumpah! Semarah ini pun kamu masih tetap cantik…!” seru Satria seolah tak mempedulikan amarah Rindu.

Plak! Secepat kilat sebuah tamparan keras membekas di pipi kiri Satria. Sejenak Rindu sendiri tak percaya tangannya refleks melakukannya. Satria langsung menangkap tangan Rindu dan mengecup jemarinya. Rindu terkesiap. Bisa-bisanya Satria melakukan hal tersebut, setelah sebuah tamparan ia layangkan ke pipi pria itu.

“Tampar saja lagi, Rin. Tamparlah aku sesuka hatimu. Agar kamu lega. Aku memang pantas mendapatkannya…. Aku telah merusak impianmu… aku telah mengoyak hatimu… Seandainya ini semua mampu menebus segala sakit hatimu… Aku ikhlas…,” ungkap Satria lembut. Ditatapnya bening mata Rindu yang sejujurnya sangat dirindukannya. Sekali lagi dikecupnya jemari Rindu dengan sepenuh hati, sepenuh jiwanya.

Seketika itu juga ribuan rasa bergejolak di dada Rindu. Kemarahannya tadi seolah menguap, luruh… berganti sebuah rasa tak terbaca, yang menghimpit sesak di jiwa. Serta merta tubuhnya menghambur dalam pelukan Satria. Ia tak bisa membohongi kalau dalam dekapan pria itu masih tersisa kehangatan yang dulu membuatnya memutuskan untuk menerima pinangan Satria. Tenang, syahdu… seolah menyertai tangis Rindu yang membuncah di dada Satria. Satria pun mendekap erat tubuh Rindu. Diusapnya rambut indah Rindu dengan perlahan.

“Maafkan aku untuk semua ini, Rin. Justru karena aku mencintaimu, aku harus pergi darimu. Jangan tanyakan alasannya, karena kamu gak akan menemukannya dariku. Kelak bila saatnya tiba, kamu akan tahu semuanya…..” Suara Satria begitu lirih. Seperti ada hal yang setengah mati diredamnya.

“Kenapa..? Apa karena ada wanita lain?”

“Karena kamu pantas mendapatkan sesorangyang jauh lebih baik dari aku…”

“Jawab aku! Jawab aku yang sejujurnya!” Rindu merenggangkan pelukannya. Ditatapnya tajam mata Satria. “Aku tak perlu alasan klise… Aku bukan anak bau kencur yang bisa kamu bohongi! Jangan katakan ini untuk kebahagiaanku! Aku muak dengan seribu alasan… Aku muak!!!”

Satria menunduk. Dihelanya nafas panjang sebelum dipandangnya kembali wajah cantik yang telah basah oleh air mata yang terus mengalir.

“Aku harus pergi, Rin… Mungkin ini untuk terakhir kalinya kita bertemu. Hapus aku dari hatimu, dan berikan sepenuhnya untuk seseorang yang benar-benar tulus mencintaimu. Aku akan mendoakan yang terbaik untukmu…. Jaga dirimu baik-baik ya…” Satria kembali mengusap-usap rambut Rindu sebelum akhirnya ia berbalik meninggalkan gadis itu. “Selamat tinggal…”

Rindu terpaku. Tubuhnya mendadak tak punya daya. Bius suasana membuatnya tak mampu lagi mengejar Satria yang telah melangkah keluar pintu bungalow. Hingga sosok laki-laki itu menghilang dari pandangannya pun, Rindu hanya terpekur sampai tak mampu lagi menopang tubuhnya. Gadis itu jatuh bersimpuh di tempatnya berdiri. Tiba-tiba saja ia merasa menjadi orang yang paling tak pantas dicintai di dunia ini…

***

Dua laki-laki itu duduk berhadapan di satu meja. Mereka memang baru bertemu beberapa menit yang lalu, sehingga suasana kafe yang hangat belum mampu menyentuh kebekuan di antara mereka. Sejenak kedua laki-laki itu larut dalam pikiran masing-masing. Hingga akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara.

“Makasih loe mau datang kemari, Panji. Gue dapet nomor hape loe dari Jalu, kakak loe. Oya, kenalkan… gue Satria...” Pria itu mengulurkan tangannya. Namun sayang, tak ada balasan. Jabatan tangan pun tak terjadi, tetapi tak ada raut kecewa di wajah pria tersebut.

“Gak perlu basa-basi lagi. Gue udah tau dari Jalu, kalau loe adalah calon suami Rindu yang ninggalin dia, dua minggu sebelum pernikahan kalian… Gue gak nyangka kalo loe masih berani nunjukin batang hidung loe di sini….”

“Ya, silahkan loe sebut gue pengecut, Panji. Gue memang pantas mendapatkannya…” ucap Satria dengan raut penuh penyesalan. “Waktu itu gue kalut. Gue pengen lari dari kenyataan… Hingga gue memutuskan untuk meninggalkan Rindu....”

“Jangan berputar-putar! Apa maksud loe, hah?? Kalo aja loe bukan sahabat Jalu, gue gak kasih ampun lagi atas perbuatan loe terhadap Rindu!!!”

Satria tertawa pelan. Ia tak terpancing sama sekali dengan luapan emosi Panji.

“Hei, tenang, Bro! Sebelumnya kita memang belum pernah saling kenal kan? Dan gue gak nyangka ternyata dunia ini begitu sempit. Dulu Jalu gak banyak bercerita tentang keluarganya di Jakarta dan bahkan Rindu gak sedikit pun memberikan celah padaku untuk mengetahui siapa laki-laki masa lalu yang sampai detik ini masih sangat dicintainya. Namun, ditengah kekalutan gue, gue ketemu lagi dengan Jalu setelah sekian tahun gak pernah bertemu. Saat itu gue menceritakan semuanya dan akhirnya semua terungkap….”

Panji melengos. Jemari kokohnya sudah mengepal. “Trus loe mau apa? Gue gak ngerti dengan permintaan loe agar gue datang kemari…”

“Gue minta loe datang kemari karena loe dan gue adalah laki-laki yang mencintai perempuan yang sama. Rindu.” Mata Satria kini beradu pandang dengan tatapan tajam Panji yang siap menerkam. “Tapi…. Gue gak mungkin meneruskan rencana pernikahan ini…”

“Kenapa? Loe gak tau betapa hancurnya hati Rindu setelah loe ninggalin dia? Walaupun dia gak bercerita banyak, tapi Susan udah menceritakan semuanya. Dalam dua minggu ini dia berusaha mencari pengganti loe! Mengorbankan egonya demi nyelamatin wajah keluarganya. Apa loe gak berpikir itu?” Nada suara Panji semakin meninggi. Ia benar-benar tak peduli lagi meski beberapa pengunjung kafe sesekali menoleh ke arah meja mereka.

Satria menghela nafas panjang sebelum sebuah amplop putih seukuran A3 ia keluarkan dari balik jaketnya. Tanpa berkata-kata disodorkannya amplop tersebut ke hadapan Panji.

“Bukalah…” tukas Satria pelan.

Dengan wajah menegang dan penuh tanda tanya, Panji mengikuti permintaan Satria. Sebuah foto Rongent terpampang jelas di depan mata Panji. Sesaat lelaki itu mengerutkan keningnya. “Apa ini?”

“Itu tubuh gue. Medical report terakhir sebelum gue memutuskan untuk meninggalkan Rindu…”

“Apa?”

“Kanker paru-paru stadium akhir…. Vonis dokter, usia gue gak lebih dari dua bulan lagi. Itulah alasan terkuat kenapa gue harus ngelepas Rindu..”

Bagai tersambar petir, sontak Panji terkesiap. Tiba-tiba sejuta rasa sesal menyeruak di dadanya. Nuraninya kini yang bicara, karena mendadak lidahnya terasa kelu. Ia merasa berdosa karena telah lebih dulu berprasangka.

“Gue udah berjuang melawan penyakit ini, demi Rindu. Tapi tampaknya gue harus ikhlas melepasnya agar ia bisa hidup berbahagia dengan orang lain yang mampu membahagiakannya, bukan dengan gue yang justru akan membuat hidupnya penuh airmata.”

“Apa Rindu belum tau soal ini?”

“Tadi siang gue pengen ngasih tau tentang semua ini. Tapi… loe juga tau kan gimana besarnya kesetiaan seorang Rindu? Gue yakin seandainya dia tau hal ini, pasti Rindu tetap bersikeras untuk meneruskan pernikahan itu dengan gue. Gue gak mau ia menikahi gue dengan rasa iba, padahal jauh di lubuk hatinya, Rindu masih mencintai cinta pertamanya. Yaitu Loe, Panji…”

Panji mengatup matanya sejenak. Ada dilema yang meraja di jiwa. Di satu sisi ada semburat bahagia karena terungkapnya lembaran hati Rindu yang juga masih utuh untuknya. Namun di sisi lain, ia harus menerima kenyataan kalau ternyata juga ada seseorang yang sungguh-sungguh mencintai Rindu meski di sisa usianya.

“Berjanjilah pada gue, Panji…. Loe akan selalu ngejaga Rindu selamanya. Menikahlah dengannya, karena sebenarnya yang Rindu butuhkan adalah loe, bukan gue… Dan jangan beritahu apapun tentang kondisi gue, sampai kelak dia sendiri yang akan mengetahuinya. Demi kebahagiaan Rindu, tolong penuhi janji ini… Janji sesama laki-laki…” Satria kembali mengulurkan tangannya. Refleks Panji pun menyambutnya dengan sebuah jabatan erat.

“Gue janji….” sahut Panji lugas. Satria pun tampak tersenyum lega sambil melayangkan tinju pelan ke bahu kiri Panji dengan penuh keakraban.

Angin malam nan sejuk yang membelai atmosfer Ubud pun kini seolah berdesir hangat menembus relung hati kedua laki-laki itu. Mereka masih berdiri tegak menatap langit kelam bertaburan bintang-gemintang, namun tetap saja terbius oleh pesona sebuah bintang yang sama…. RINDU.

*****

Tongkat estafet selanjutnya saya serahkan kepada Vira Classic .... Ayoooo Viraaaa... tangkappp!!!  :D

Urutan sementara Cerita Keroyokan Rindu: Dua Minggu Mencari Cinta.

G -> Endah Raharjo -> Sari Novita -> Rahmi Hafizah -> Winda Krisnadefa -> Deasy ->Indah Wd -> Ria Tumimomor-> Mommy -> Ranti Tirta-> Mariska Lubis-> Bahagia Arbi -> Sri Budiarti -> Meliana Indie -> Lia Agustina -> Vira Classic-> Kine Risty-> Princess e Diary Miss Rochma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun