“Huuuuh, telor ceplok lagi…” Sambil bersungut-sungut mama menepis piring sarapan pagi yang kusodorkan padanya. “Gak ada yang lain apa?”
Aku terpaku sejenak. Tak langsung kujawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang muncul bukan baru sekali ini saja, tapi sudah seringkali. Kutumpuk kesabaran menghadapi sikap mama yang tak mau kompromi. Maka, kutarik sedikit sudut bibirku, hingga terhias sebuah senyuman untuk mama. Lakon yang harus kulakukan setiap hari. Tak peduli, entah sedang dalam kondisi macam apa suasana hatiku saat itu.
“Makan ya, Ma?” Sambil mengaduk nasi di piring itu, aku berusaha memujuknya. Kutahan beribu rasa yang berkecamuk di benakku. Hanya supaya mama mau mengunyah beberapa sendok nasi dan lauk terakhir yang kami punya di dapur hari itu.
Mama kembali menggeleng. Merengut. “Dasar anak bodoh! Mana mungkin aku makan telor ceplok ini! Aku pengen makan steak! Aku pengen makan shushi! Ah, kalau aja papamu masih ada, pasti dia gak akan ngebiarin mama makan makanan kayak gini!”
[caption id="attachment_192995" align="alignleft" width="191" caption="Ilustrasi : www.shutterstock.com "][/caption]
Aku menelan ludah kering. Mama mulai kumat lagi. Kutatap gurat-gurat di wajah mama. Meski polos tanpa make up, tanpa perawatan meni-pedi, spa ini-itu lagi, sisa kecantikan diusianya yang hampir setengah baya belumlah memudar. Namun penampilan dan gesture-nya yang dulu menjadi acuan bagi teman-teman arisannya, kini hanya tinggal kenangan.
Sejak papa tersangkut dalam suatu kasus di sebuah instansi setahun yang lalu, semua berubah 180 derajat. Tak tersisa lagi fasilitas, rumah gedung, mobil yang berderet di garasi, perhiasan, perusahaan konstruksi, butik mama dan segalanya. Semua asset telah digunakan untuk membayar hutang perusahaan dan disita oleh pengadilan. Bahkan, belum sempat vonis pengadilan jatuh padanya, mendadak papa harus meninggalkan kami semua. Beliau terserang stroke. Kami benar-benar terpukul! Tuhan telah membalikkan takdir keluargaku ke titik terendah.
Aku menghela nafas panjang. Ingin kutumpahkan segala sesak di hati. Apalagi ketika menyadari mama tak mampu dibawa bertukar pikiran lagi. Wanita yang sangat kucintai itu sudah beberapa bulan ini mengalami depresi berat. Sering memandang dengan tatapan kosong dan seolah tak ada gairah hidup lagi. Sesekali ia menangis sendiri, sesekali ia tertawa dan bernyanyi-nyanyi layaknya anak TK. Aku sempat membawanya ke psikiater. Namun, karena terbentur biaya, terpaksa terapi mama vakum lagi.
“Andini…. Kok kamu nangis?” Teguran halus mama membuyarkan lamunanku.
Apa benar aku menangis? Cepat-cepat kuseka mataku dengan punggung tangan. Ternyata tanpa aku sadari, airmataku sudah meleleh sejak tadi.
Wajah pias mama memandangku dengan lugu. “Gara-gara mama gak mau makan ya? Mama bandel ya, Din? Maapin mama ya…. Sekarang mama mau makan deh…”
“Bener? Mama mau makan? Dini suapin ya Ma?”
Mama mengangguk cepat. Persis seorang anak TK yang jatuh iba melihat sahabatnya yang sedang bersedih. Tuhan… berikan aku kekuatan menghadapi semua ini. Dengan gemuruh yang tertahan di dada, kusuapi mama pelan-pelan.
“Riki udah pergi sekolah, Din?” tanya mama sambil mengunyah-ngunyah. Dicomotnya sepotong putih telur dari piring yang yang kupegang. Terselip rasa bahagia saat melihat napsu makan mama mulai membaik. Padahal kemarin-kemarin, wajahnya semakin tirus karena enggan menyentuh nasi.
“Sudah, Ma. Riki rajin sekolah kok…” jawabku sekenanya. Memang hanya itu jawaban yang bisa kuucapkan.
Sejak kejadian yang menimpa keluarga kami, Riki berubah menjadi lebih pendiam. Aku sudah semakin jarang berkomunikasi dengan adikku satu-satunya itu. Apalagi semenjak harus bekerja sebagai SPG kosmetik di sebuah mall, aku jadi sering pulang malam. Jelas aku kian sulit mengontrolnya. Terakhir yang kutahu, adikku itu nyambi bekerja di sebuah bengkel motor setiap pulang sekolah. Miris hatiku menyadari bahwa Riki pun harus ikut membanting tulang demi kehidupan keluarga kami.
Setelah selesai menyuapi mama makan, aku pun bersiap-siap untuk pergi bekerja. Kuserahkan ‘pengasuhan’ mama untuk sementara waktu pada keluarga Bi Mumun, tetangga sebelah rumah kontrakan kami. Sambil menunggui warung kecilnya, Bi Mumun tak keberatan sama sekali jika aku menitipkan mama padanya. Bahkan tak jarang kami berhutang sembako di warungnya. Sering aku menyadari, betapa masih beruntungnya kami. Meski segala gunjingan dan cemoohan menimpa keluargaku, namun Tuhan masih mempertemukan kami dengan manusia-manusia berhati mulia seperti Bi Mumun dan keluarganya.
***
Aku terbelalak. Sejenak kukerjap-kerjapkan mata. Sempat berharap bila mataku salah memandang. Tapi semua nyata! Bukan fatamorgana. Laki-laki itu melangkah santai sembari memeluk bahu seorang gadis cantik di sisinya. Ya Tuhan… itu Donny!
Jantungku berdegup kencang. Bibirku gemetaran. Tubuhku mendadak serasa tanpa tulang. Aku ingin sekali tak mempercayai apa yang kulihat barusan. Kekasih sekaligus teman sekampusku yang sempat menghilang beberapa bulan yang lalu muncul kembali. Bahkan hanya berjarak beberapa meter di depanku. Namun kelihatannya dia sedang asyik memilih-milihkan baju untuk gadis cantik itu. Hingga tak menyadari kalau mataku terus mengawasinya mengelilingi sebagian lantai dua mall tersebut.
Ada yang menohok di relung hatiku. Rasa perih yang tak terperi datang bertubi-tubi. Aku merasa dikhianati! Sejak keluargaku tertimpa cobaan ini, lama-kelamaan Donny jadi jarang menunjukkan batang hidungnya. Ia hampir tak pernah lagi berkunjung ke rumahku. Di kampus pun begitu. Nomor ponselnya pun sudah tak aktif lagi. Kabar terakhir dari teman kuliahku yang satu kosan dengannya, Donny sedang pulang mengunjungi orang tuanya di pulau seberang. Akhirnya hanya sebuah salam yang bisa kutitipkan untuk Donny melalui temanku itu, sebelum aku benar-benar mengambil cuti dari kampus.
Deraan hidup kini memang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga. Papa yang telah tiada, mama yang depresi berat dan Riki yang beberapa bulan lagi akan menghadapi ujian kelulusan SMA, memaksaku harus mengubur dalam-dalam kepedihan hati dan kegamanganku menghadapi hidup. Meski begitu, aku bukanlah robot yang tanpa keluh dan rasa. Aku hanyalah gadis biasa yang belum genap 20 tahun. Aku juga membutuhkan seseorang tempatku bersandar dan mencurahkan segala isi hatiku. Tapi ternyata… seseorang yang kubutuhkan itu bukanlah Donny! Dan… hatiku begitu sakit ketika harus menyadari hal tersebut….
“Mbak.. mbak… saya pengen lihat lipstik yang merah marun…” Sebuah suara lembut menyapaku. Seorang pelanggan yang sedang menggandeng anaknya sudah berdiri di hadapanku. Meski sedikit gelagapan, refleks aku mengembangkan senyum jua. Senyum yang memang wajib ditebarkan oleh seorang Sales Promotion Girl seperti aku.
Wanita yang usianya kira-kira awal kepala tiga itu balas tersenyum. Ia seperti memaklumi sikapku yang cukup kikuk tadi. Cepat-cepat kupenuhi permintaannya. Beberapa jenis pemulas bibir warna merah marun dari merk kosmetik yang kupromosikan, kutawarkan padanya. Meski berusaha tetap profesional, gerak mataku tak bisa kutahan untuk melihat sosok Donny. Namun tempatnya berdiri tadi sudah kosong. Hanya wajah-wajah asing yang tampak berlalu lalang di mall tersebut. Seketika itu juga hatiku langsung berdesir. Donny sudah pergi….
***
Kupercepat langkahku. Dengan nafas memburu, kumasuki ruangan itu dengan wajah memucat. Entah bagaimana perasaan hatiku pagi ini. Tak terbaca, tak teraba. Yang pasti tanganku begitu dingin dan gemetar sejak tadi. Kecemasan benar-benar sedang menghantuiku! Berharap sebuah berita yang kuterima dari Bi Mumun subuh tadi tak benar-benar terjadi…
Ketika berpapasan dengan seorang pria berseragam, aku langsung menyapanya. Setelah bercakap-cakap sebentar, pria itu mengantarku ke sebuah tempat yang cukup asing buatku. Dari kejauhan, tampak beberapa orang sedang duduk di lantai sebuah ruangan sempit yang lembab nan padat. Meski samar dan berbatas jeruji besi, namun aku segera mengenali wajah seorang ABG di sana. Detik itu juga, lututku benar-benar terasa lemas. Namun kukuatkan hati untuk segera menemuinya….
***
“Maafin aku, Kak….”
Hanya sebaris kalimat itu yang menyambut kedatanganku. Cowok berusia 17 tahun itu menunduk di hadapanku. Kurasa wajahnya sepucat wajahku. Aku kembali menelan ludah. Sejenak aku kehilangan kata-kata. Hanya mampu menatap saudara sedarahku yang kini harus menerima sebuah konsekuensi dari perbuatan nekadnya semalam.
“Riki… jawab pertanyaan kakak, Dek….” Ucapanku seperti tercekat sebentar oleh isak tangis yang berusaha kutahan. “Benar kamu yang melakukannya…?”
Anak itu terdiam sesaat. Sebenarnya tanpa berucap pun, penampilan Riki sudah menjawab pertanyaanku. Wajah dan rambutnya tampak kusut masai. Bahkan tubuhnya yang kurus tinggi pun telah berbalut pakaian bertuliskan ‘TAHANAN’.
“Benar, Kak…” ujar Riki dengan lugas.
Oh, Tuhan…. Tubuhku kian melemas mendengarnya. Entah mengapa aku merasa tak siap bila pengakuan itu terlontar juga dari bibir adikku. Namun tak ada raut penyesalan di wajahnya. Malah dengan tegasnya, Riki melanjutkan kalimatnya. “Riki hanya ingin membela harga diri keluarga kita, Kak…”
“Riki!”
“Almarhum papa difitnah, Kak! Difitnah oleh orangtua Kak Donny! Mereka yang membuat skenario untuk mengkambinghitamkan papa. Agar keluarga kita jatuh, terpuruk! Kak Donny sengaja memacari kakak juga agar bisa lebih leluasa mengetahui perkembangan perusahaan papa. Semua ini karena persaingan bisnis. Mereka licik, Kak! Mereka ular berkepala dua!” Matanya memerah dan berkaca-kaca. Menatapku dengan tajam.
“Tau apa kamu, Dek?!!” bentakku. Suaraku terdengar bergetar. Aku sudah hampir tak sanggup menahan sesak di dada. Hampir tak percaya menghadapi kenyataan kalau selama ini aku hanya dijadikan boneka oleh Donny.
“Aku tau semuanya, Kak… Aku gak bodoh…!!! Maaf, kalau baru sekarang aku memberitahukan pada kakak. Kakak gak perlu tau gimana caranya aku tau semua ini… Tapi suatu saat akan terbukti, Kak, bahwa papa gak bersalah!”
“Tapi bukan dengan cara seperti ini, Dek! Bukan dengan cara membunuh Donny!!!!”
“Aku masih ingat kata-kata papa dulu, Kak. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah tujuan. Dan tujuanku adalah untuk mengungkapkan kebenaran. Aku hanya ingin membuktikan kalau papa gak bersalah! Sedikit demi sedikit kukumpulkan bukti-bukti itu. Kak Donny merasa kecolongan dan marah besar. Tadi malam, sepulang aku dari bengkel, dia membuntutiku dan siap membunuhku. Tapi justru dialah yang terbunuh. Sungguh, aku hanya ingin membela diri, Kak!”
Aku termangu. Lidahku begitu kelu. Aku tak sanggup lagi menahan kepedihan di hati. Tangisku pun membuncah saat itu juga. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan… Oh, Tuhan… mengapa keluargaku menjadi seperti ini? Aku benar-benar sudah tak peduli lagi, apakah semua ini hanyalah sebuah konspirasi atau hanya kebetulan semata....? Salah atau benar…? Kejujuran ataupun tipu muslihat…? Kepercayaan ataukah pengkhianatan…? Seandainya aku bisa memutar waktu, aku tak ingin papaku mati! Aku tak ingin mamaku sakit jiwa! Aku tak ingin adikku masuk penjara! Adakah pilihan untuk menghindari semua ini, Tuhan?
“Titip salam untuk mama, Kak… Aku sayang banget ama Mama… Maafin semua kesalahanku…” Sungguh! Hanya itu kata-kata terakhir yang mampu kutangkap dari Riki. Sebelum dia dibawa pergi oleh petugas berseragam itu. Sebelum semuanya hanya berakhir gelap bagiku….
*****
*Catatan :
- Cerpen ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan alur kisah dan nama tokoh, hal tersebut adalah ketaksengajaan semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H