Gawai atau yang sering kita sebut sebgai gadget sekarang ini sudah bukan lagi menjadi barang mewah. Hampir setiap lapisan masyarakat mulai dari orang tua sampai anak-anak saat ini sudah memiliki gawai.
Pada awalnya alat ini hanya digunakan untuk berkomunikasi, namun dengan berjalannya waktu gawai bertransformasi dari awalnya bernama handphone yang hanya dapat digunakan untuk telepon dan mengirim pesan sampai menjadi smartphone yang sudah dilengkapi dengan internet sehingga dapat mengakses berbagai informasi, permainan online, bahkan sampai layanan berbelanja secara online.
Pada abad 21 ini pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran sedang gencar dilakukan. Tak jarang banyak sekolah yang memperbolehkan siswanya untuk membawa gawai di sekolah dengan tujuan agar peserta didik dapat mengakses informasi dan sumber belajar tambahan yang dapat mendukung berjalannya proses pembelajaran.
Gawai sendiri dapat memberikan akses tak terbatas kepada peserta didik ke sumber belajar yang beragam. Internet adalah perpustakaan global yang memungkinkan peserta didik untuk menelusuri informasi, studi kasus, penelitian ilmiah, dan sumber belajar lainnya yang relevan dengan materi pelajaran. Ini membuka jendela baru untuk pembelajaran mandiri dan penelitian yang lebih dalam, memungkinkan siswa untuk menggali lebih jauh topik-topik yang menarik bagi mereka.
Meskipun penggunaan gawai dalam pendidikan memiliki potensi untuk meningkatkan proses belajar mengajar, namun dalam praktiknya terutama pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) diperbolehkannya peserta didik untuk membawa gawai di sekolah juga menjadi momok besar yang mengarah pada aspek negatif.
Pada salah satu SMP di Kota Batu, peserta didik diperbolehkan untuk membawa gawai di sekolah. Dengan diperbolehkannya peserta didik membawa gawai di sekolah, menyebabkan peserta didik sering mengalami distraksi pada saat proses belajar mengajar di kelas. Sehingga gawai yang seharusnya menjadi alat bantu belajar seringkali malah mengalihkan perhatian siswa dari materi pelajaran.
Dalam proses belajar mengajar sekitar 30% peserta didik di kelas yang lebih asyik bermain permainan online seperti Free Fire dibanding fokus mengikuti pembelajaran. Sedangkan sekitar 40% lainnya sering kali mengakses media sosial seperti TikTok, Instagram, dan WhatsApp di sela-dela proses belajar mengajar.
Fenomena tersebut menyebabkan banyak peserta didik yang mengabaikan instruksi guru di kelas dan lebih asik dengan dunia mereka sendiri. Hal ini tidak hanya berdampak pada individu yang bersangkutan tetapi juga dapat mengganggu keseluruhan dinamika kelas, sehingga membuat proses belajar mengajar di kelas menajdi kurang efektif.
Fenomena ini tentu tidak boleh diabaiakan begitu saja oleh guru maupun instansi sekolah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut sekolah juga harus membuat peraturan mengenai penggunaan gawai disekolah, agar pemanfaatannya dapat dimaksimalkan dan membawa lebih banyak dampak positif daripada dampak negatif.
Peraturan yang dapat diterapkan seperti pembatasan penggunaan gawai di kelas. Membatasi waktu penggunaan gawai di kelas dapat mengurangi distraksi. Guru dapat menetapkan aturan khusus kapan peserta didik boleh dan tidak boleh menggunakan gawai, misalnya peserta didik hanya boleh mengakses gawai ketika mendapatkan tugas yang mengharuskan peserta didik untuk mengakses sumber belajar dari internet. Kemudian membuat waktu bebas gawai di sekolah misalnya, waktu makan siang dan istirahat bisa ditetapkan sebagai waktu bebas gawai, hal tersebut dapat mendorong peserta didik untuk berkomunikasi secara langsung dengan teman-temannya.
Setelah dibuat peraturan, sekolah juga harus menetapkan sanksi yang tegas. Misalnya, jika ada peserta didik yang menggunakan gawai di luar waktu yang telah diperbolehkan gawai akan disita selama satu minggu.
Peraturan tersebut tentu juga harus dikomunikasikan terhadap orang tua. Keterlibatan orang tua, tentu dapat lebih memaksimalkan kinerja dari peraturan yang telah dibuat.
Selain membuat peraturan guru juga harus dapat mengintegrasikan gawai ke dalam pembelajaran dengan cara yang strategis dan terstruktur. Misalnya, menggunakan aplikasi edukatif atau platform pembelajaran online yang dapat meningkatkan partisipasi peserta didik dan memperdalam pemahaman materi. Sehingga guru mengalihkan minat peserta didik yang awalnya menggunakan gawai hanya untuk mengakses permainan dan media sosial menjadi mengakses gawai untuk belajar. Sehingga dengan diperbolehkannya peserta didik membawa gawai di sekolah benar-benar dapat dirasakan manfaatnya.
Meskipun gawai memiliki potensi untuk mendukung pembelajaran, kebijakan yang memperbolehkan peserta didik membawa gawai ke sekolah di jenjang SMP harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Penting bagi sekolah untuk menimbang manfaat dan kerugian, mengimplementasikan kebijakan yang ketat tentang penggunaan gawai, dan memberikan edukasi kepada peserta didik mengenai penggunaan teknologi yang bertanggung jawab. Dengan strategi yang tepat, dampak negatif gawai dalam pembelajaran dapat diminimalisir. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan kolaboratif antara guru, peserta didik, dan orang tua, dengan begitu sekolah dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan produktif bagi peserta didik di jenjang SMP di era digital ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H