Suksesnya film uang panai meraih penghargaan di Indonesia Box Office Award 2017 merupakan satu titik terang perkembangan Industri film lokal di Indonesia terkhusus di Makassar. Film uang panai berhasil meraih “penghargaan khusus film produksi daerah terlaris tahun 2017”. Melihat pencapaian itu saya menyadari tak selamanya film-film Nasional yang selalu menjadi rujukan untuk tontonan menarik. Namun film lokal pun punya magnet yang kuat untuk menarik minat penggemar perfilman Indonesia.
Layaknya rekam jejak hingga proyeksi masa depan, dengan film kita dapat mengabarkan pesan-pesan yang akan dipetik hingga memperkaya khasanah pengetahuan kita. Walau dengan tema sederhana, jika ide itu dapat dibalut dengan menarik maka akan menjadi magnet yang kuat. Ide-ide sederhana itulah yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari kemudian dapat menyentuh nurani para penonton. Tak hanya itu melalui medium film pesan-pesan dapat di sampaikan kepada banyak orang.
Era keterbukan informasi menandai berlangsungnya gaya baru perkembangan film di Indonesia. Para sineas bisa belajar dari mana saja, bagaimana meracik dan mengemas berbagai tema film. Walau tak begitu dekat dengan arus utama budaya perfilman Nasional setidaknya para sineas di daerah lokal bisa meretas jarak dengan memanfaatkan keterbukaan informasi. Angka 562.000 penonton untuk sekelas film lokal bukan lah hal yang mudah di raih. Artinya para sineas di daerah lokal mampu membuktikan bahwa kreatifitas mereka bisa di terima oleh orang banyak.
Di beberapa daerah lokal seperti Jogja berawal dari komunitas, melakoni panggung pinggir jalan, hingga pesta teater berbagai komunitas menjadi cikal bakal tumbuh kembangnya perfilman Indonesia. Berawal dari komunitas juga Film uang panai ini rata-rata menggunakan peran-peran lokal. Walau aktor lokal tapi rasanya seperti aktor Nasional. Entah mengapa sosok Tumming-Abu yang banyak menyita perhatin. Namun saya melihatnya lebih dari sudut yang berbeda, perannya yang humble dan gaya nya yang kocak ternnyata mudah di cerna. Gagasan yang di sampaikan dalam setiap dialognya lebih cepat tersampaikan.
Jika sebuah buku sebagai medium teks maka film lah sebagai medium visualnya, namun pada dasarnya sama untuk menyampaikan ide (gagasan) yang bersandarkan pada sebuah realitas. Dengan film gagasan itu menjadi lebih nyata dan bergerak dari satu hati ke hati yang lain. Dan film-film itulah yang membuat saya tersadarkan bahwa membumikan gagasan itu penting. Sungguh tatkala pentingnya membahasakan sesuatu dengan humble kunci menjadi salah satu kunci menyampaikan sebuah gagasan.
Namun tak jarang ada pula beberapa film yang hanya bersandar pada sebuah imaji. Entah mungkin karena kurangnya riset terhadap tema-tema film yang dekat masyarakat ataukah tema-tema itu mengikuti mekanisme pasar? Di era 90-an munculnya televisi membawa pengaruh cukup besar terhadap Industri Film. Banyaknya para sineas film yang beralih masuk ke dunia pertelevisian menyebabkan industri film menjadi goyah.
Di dunia pertelevisian melalui sinetron menjadi banyak di minati oleh para penonton dengan sistem kejar tayang, episodenya yang jauh lebih panjang serta teknis yang tidak terlalu rumit. Hingga kemudian menjadi satu warna baru di masa itu.
Indonesia memang kaya akan budaya bangsa. Dari Sabang hingga Merauke di tenun dengan seutas benang yang berbeda kemudian di satukan dengan sehelai kain. Itulah kain kebangsaan. Film uang panai menjadi satu potret bagaimana kita menarik benang yang kian jauh tertinggalkan oleh waktu. Lewat medium film itulah saya sadar bahwa banyak bisa di filmkan, memupuk khasanah budaya, pendidikan, hingga memotret keterbatasan di ujung negara. Menghargai gagasan dan kreatifitas anak bangsa kemudian bertukar gagasan barangkali akan memperkaya perfilm-an nasional. Semoga...
Makassar, 1 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H