Percaya atau tidak, dalam bentuk sederhana kemajuan teknologi dapat dihasilkan dengan pengembangan metode lama ataupun penemuan metode baru. Kini di tengah-tengah kondisi perubahan fisik wajah kota-kota besar di Indonesia belum tentu sepenuhnya menunjukan tingkat kemajuan dan perkembangan suatu kota.Â
Tak jarang banyak di temukan ketimpangan sosial yang selalu melanda hingga permasalahan penataan ruang-ruang kota. Penataan ruang-ruang kota yang tidak jeli terkadang menimbulkan masalah infrastruktur menjadi tidak tertata rapi serta tidak terawat.
Jika bagi orang pedesaan, menikmati kemegahan dan keindahan kota adalah satu hal yang mengagumkan. Gedung-gedung yang menjulang tinggi, bangunan mewah, semerbak kelap-kelip lampu kota di malam hari kemudian menghiasi sejauh mata memandang. Namun kehidupan di kota-kota besar tak hanya sebatas ruang kedua bola mata.
Infrastruktur di daerah perkotaan harus di akui sudah jauh lebih baik. Namun kerap kali di landa masalah semisal banjir yang sewaktu-waktu dapat merambat hingga melumpuhkan akses di dalam kota. Hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia persoalan banjir tak henti-hentinya selalu menjadi perbincangan yang hangat.Â
Mulai dari tataran pemerintahan, akademisi, hingga kalangan masyarakat menengah ke bawah. Semisal di kota Makassar, banjir selalu menjadi ancaman yang nyata. Banjir selalu menjadi agenda tahunan, bahkan bila musim penghujan tiba masyarakat kerap kali dihantui oleh ancaman ini.
Berdasarkan data yang dirilis oleh BPBD setempat, banjir terbesar di kota Makassar pernah terjadi di tahun 1967 dan tahun 1976. Pernah juga terjadi pada tahun 2013 dimana sebagian besar wilayah kota terendam. Jalan-jalan protokol terendam hingga mengakibatkan kemacetan yang parah.Â
Wilayah kecamatan Manggala menjadi titik yang paling parah. Ratusan warga diungsikan ke Masjid Attoyyibah tak jauh dari lokasi banjir. Sistem drainase yang cukup buruk menjadi alasan kenapa hingga kini kerap kali banjir menghantui masyarakat.
Di beberapa titik kecamatan koneksi antara drainase primer dan sekunder sudah di kerjakan oleh pemerintah. Jika dilihat sudah terkonesi namun penyumbatan kerap kali terjadi. Penyumbatan kemudian memicu volume air naik hingga menimbulkan genangan. Upaya normalisasi saluran-saluran yang ada menjadi langkah awal merendam banjir yang akan sewaktu-waktu mengancam.
Untuk mengatasi penyumbatan akibat sedimentasi maka pengerukkan di lakukan. Inovasi metode harus menjadi niatan yang kuat. Semenjak tahun 2015 hingga 2016 dengan melibatkan masyarakat, Pemerintah tak henti-hentinya melakukan gerakan pengerukkan saluran drainase. Jika DKI punya pasukan Orange, maka Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar punya Satuan tugas (Satgas) drainase. Pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah setempat masih menggunakan jasa pihak ketiga (kontraktor) namun banjir masih saja kerap kali terjadi.
Satgas drainase yang digunakan kini sudah mencapai jumlah 480 orang dan rencananya untuk tahun anggaran 2017 akan di tambah sebanyak 100 orang. Mereka terbagi dalam 5 rayon diantaranya satgas khusus malam hari, satgas anti genangan (Antig) yang bekerja apabila ada guyuran hujan serta satgas reguler yang bekerja dari pagi hingga sore hari.
Untuk membayar tenaga dari satgas, Dinas Pekerjaan Umum kota Makassar melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) menganggarkan 16 miliar pertahun atau lebih murah 22 miliar dari anggaran yang digunakan sebelumnya sebesar 38 miliar yang di kerjakan oleh pihak ketiga (Kontaktor). Di sisi lain menjadi satu keuntungan tersendiri apabila menggunakan jasa Satgas, karena Satgas dapat bekerja setiap harinya bila di bandingkan oleh Kontraktor yang mengerjakan persatu kali kegiatan. Tak heran jika kota Serang mengapresiasi inovasi yang dilakukan oleh Pemkot Makassar di sela-sela kunjungan Study Bandingnya pada tanggal 6 - 9 Maret 2017.