Mohon tunggu...
Firno Ardino
Firno Ardino Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tinggal di Indonesia Pernah belajar di Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP), Makassar. Blog: www.delapan-penjuru.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Kegetiran Hingga Lirih Tragedi Bom Bali 1

7 Mei 2017   01:59 Diperbarui: 7 Mei 2017   02:34 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua lelaki itu berjalan ke arah yang berbeda. Lelaki pertama mengarah dengan rompi yang di kenakan di badannya. Setelah itu terdengarlah dentuman. Duarrr... Sedang lelaki kedua mengemudikan mobil menuju lokasi yang ditujunya. Tak berselang lama terdengar ledakan yang sangat dahsyat. Duarrr... Nampak asap hitam membumbung tinggi di sertai nyala api yang tak biasa. Berselang sekitar 10 menit terdengar suara ledakkan dari kejauhan. Duarrr... Ledakan ketiga pun mengguncang, yang diledakkan dengan menggunakan controller handphone (hp).

Malam itu,  dikala hampir semua orang larut menuju pagi dan rasa lelah yang terasa menghampiri, terkejut ketika merasakan getaran yang sangat luar biasa. Getarannya terasa hingga 12 kilometer dan suara dentumanpun terdengar hingga puluhan kilometer. Peristiwa itu di sebut sebagai Bom Bali 1 dengan 3 bom yang meledak dengan waktu yang tak berselang lama dan dengan tempat yang hampir tak begitu jauh.

Kelap-kelip lampu malam itu berubah,  seketika suasana kota menjadi gelap gulita. Yang terlihat hanya nyala api yang membumbung tinggi. Orang-orang kemudian berlarian kesana-kemari nampak raut wajah yang kian cemas. Terdengar suara mobil ambulans, petugas pun mulai berdatangan mendekati lokasi kejadian itu. Peristiwa itu menjadi peristiwa bom terbesar di Indonesia. 

Bagi mereka yang tak menjadi korban bom itu, nampak akan seperti biasa.  Ada ledakan setelah itu semua berlalu begitu saja. Namun bagi para keluarga korban bom, akan membawa dampak psikologis yang begitu membekas. Kisah ini saya tulis ketika bertemu dengan salah seorang lelaki yang bekerja sebagai guide dan pernah berada fase itu. Dampak dari ledakan itu merembes hingga mengguncangkan perekonomian mereka.

Pertemuan dengan guide itu sesaat setelah berkeliling kawasan Bedugul. Di sebuah sebuah warung kopi, kami berbincang mengenai pariwisata. Ia sudah cukup lama hidup dan bergantung pada sektor pariwisata dan berkenalan dengan banyak orang yang berprofesi seperti dirinya. Fakta pun menunjukkan 90% lebih masyarakat di daerah ini bergantung pada sektor pariwisata. Mendengar cerita yang ia utarakan ketika di bus mengenai bom Bali 1. Tanpa sengaja saya menyinggung kembali apa yang ia ceritakan. Tak saya duga ternyata perbincangan itu kemudian berubah seketika. Senyum cerah setiap paginya, berubah menjadi datar, pandangannya kosong kedepan. Ia terus bercerita akan kisah itu.

Saat itu saya lalu terdiam dan hanya bisa mendengar. Ia terus berbicara menceritakan kisah itu. Saya merasa bersalah perbincangan ini harus ku hentikan. Tak lama setelah itu ia tertunduk. Selama beberapa hari saya berusaha mendapatkan cerita itu darinya. Namun ia tak sepenuhnya bercerita kisah itu. Ia terbawa oleh satu emosi yang kian dalam, kian menusuknya hingga merasa kembali pada malam itu di hari sabtu 12 Oktober 2002.

Setelah bercerita cukup lama. Ia kemudian menitipkan pertanyaan, "Apakah dengan beragama harus menelan korban nyawa manusia? Kenapa harus ada kekerasan dalam beragama?" Pertanyaan ini kemudian menusuk-nusuk saya. Saya lalu terdiam. Ternyata di balik kemegahan dan kekayaan budaya di daerah ini. Ada sebuah trauma mendalam yang terpendam. Luka lama itu hadir kemudian menikam tajam, meraba masa lalu dan hadir di masa kini.

Jumat sore hari kala itu ia sedang menanti seorang tamu yang hendak akan diantarkannya di daerah Kuta Bali. Namun karena sesuatu hal ia tertunda dan tak sempat menemani. Malam harinya sabtu 12 Oktober 2002, bom itu pun meledak. Ia sempat melakukan evakuasi jenazah bersama petugas. "Kok para pelaku itu setega itu" ucapnya. Pasca kejadian naas itu, banyak pekerja yang harus kehilangan pekerjaannya dan ia salah satu diantaranya. Lebih dari ratusan perusahaan agen travel harus memangkas biaya, hingga memutuskan hubungan kerja. Ada ribuan pekerja yang harus kehilangan mata pencaharian. Ia merasakan hal itu. 

Kini kurang lebih 15 tahun peristiwa itu berlalu. Tetapi peristiwa itu masih terus membekas di benaknya. Masa lalu itu kini tertinggalkan oleh waktu. Kita mungkin bisa berdamai dengan masa lalu tetapi ingatan itu terus membekas walau waktu terus bergulir. Mereka menyimpan rapi kenangan itu menjadi pelajaran berharga. Dengan harapan, "kita ingin hidup berdampingan tanpa harus ada kekerasan" kata lelaki itu. Pandangan lelaki itu memandang jauh lalu terdiam sejenak. Pada titik ini saya merasakan bahwa yang ada hanya sebuah kegetiran yang terpelihara, di balik tragedi berdarah itu.

bali-blast-2005-590e1c51569773666114c6e9.jpg
bali-blast-2005-590e1c51569773666114c6e9.jpg
Pertemuan dengan lelaki itu menjadi satu pengalaman tersendiri buat saya. Menyaksikan peristiwa itu lebih dekat dan merasakan suasana kota malam itu. Saya kemudian membayangkan menyaksikan nyala api yang membumbung tinggi, asap bertebaran, dan orang-orang yang berlarian menyelamatkan jenazah para korban ledakkan. Kini di persimpangan jalan Legian Denpasar, nampak sebuah monumen peringatan bom itu. Setiap tahunnya para keluarga korban datang dan berkumpul di lokasi.

Saya lalu merenung dan terus membayangkan sabtu malam yang kelam itu. Jika agama datang menyejukan dan mendamaikan manusia, Haruskah kita mengorbankan nyawa manusia yang lain? Atas nama kebenaran, kita ingin penafsiran kita selalu sama dengan yang lain. Ketika tidak sama, kita akan resah. Kita seolah kehabisan cara mendialogkan kebaikan ataupun kebenaran itu. Namun bisakah kekerasan dan bom menjadi cara menyampaikan gagasan atau kebenaran? Bagaimana jika hal itu yang menimpa orang-orang yang tidak tahu menahu, apakah kekerasan jalan terbaik? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun