Mohon tunggu...
Firno Ardino
Firno Ardino Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tinggal di Indonesia Pernah belajar di Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP), Makassar. Blog: www.delapan-penjuru.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Kita Harus Menulis?

2 Februari 2017   11:45 Diperbarui: 2 Februari 2017   11:57 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://assets.kompas.com

Layaknya sebuah tali-temali, tulisan mengikat makna menjadi satu. Memutus rantai keterpisahan makna antara satu dengan yang lainnya. Menulis adalah proses aktif bila di bandingkan dengan membaca. Membaca merupakan proses pasif. Membaca dapat di lakukan dimana saja seperti  dikelas, dibus, dikantin, atau di ruang terbuka hijau. Membuat sebuah tulisan itu adalah proses menuangkan gagasan. Pada kondisi ini cukup membutuhkan konsentrasi yang lebih fokus. Pada saat proses menulis otak membutuhkan proses kerja yang sedikit lebih keras, mengolah dan menganalisis.  

Menulis merupakan kegiatan yang selalu beriringan dengan proses membaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik, ini disebabkan apa yang ditulis adalah sebuah proses mengalirkan apa yang terbaca. Karena apa yang masuk adalah apa yang keluar. Dengan membaca kita belajar untuk mengais berbagai pengetahuan lalu menyerapnya dan menyimpannya. Suatu hari nanti akan menjadi bekal. Layaknya sebuah lilin, pengetahuan itu menerangi setiap langkah perjalanan. Untuk menyalakan lilin itu kita memerlukan membaca, dan agar nyalanya tetap terjaga hingga sampai dipelabuhan terakhir mestilah kita menuliskan pengetahuan yang telah terserap.

Keterkaitan antara proses membaca dan menulis layaknya seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Setiap pembaca mungkin bukanlah penulis tetapi setiap penulis  pastinya pembaca. Tentulah sangat mustahil jika setiap penulis tidak membaca, hal inilah yang mempengaruhi proses kreatif kepenulisan. Jika kita telisik lebih jauh nafas kepenulisan di pengaruhi oleh sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu faktor yang disayangkan adalah dimatikannya kewajiban membaca 25 buku dan mengarang 40 jam setahun bagi murid-murid SMA, yang terjadi sejak berakhirnya sistem pendidikan AMS (setingkat SMA di zaman Belanda). Kurikulum pendidikan saat ini yang kurang mengapresiasi kegiatan membaca dan menulis (Literasi) sebagai pelajaran menjadi penyebab rendahnya minat membaca masyarakat kita.

Jangan heran dengan hadirnya sistem pengujian pilihan ganda menumpulkan kreativitas dan analisa siswa. Semuanya disandarkan kepada kemampuan hafalan, yang itu tidak lama bertahan di kepala. Tidak heran jika kemampuan daya saing SDM lulusan perguruan tinggi di negeri ini sangat rendah. Data BPS mencatat, penyerapan lulusan perguruan tinggi didunia kerja hanya 6 persen. Keahlian seseorang sangat berhubungan dengan tingkat kreativitas yang dimilikinya serta kemampuan analisis yang mendalam sehingga mampu memberikan solusi yang tepat untuk setiap masalah yang dihadapi. Sungguh sangat disayangkan jika di negara yang kaya akan sumber daya alam serta budayanya kualitas sumber daya manusianya sangat minim.

Dibeberapa negara seperti Selandia Baru yang merupakan salah satu negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik didunia mewajibkan pelajaran membaca dan menulis sekitar 50% dari seluruh jam pelajaran. Memajukan peradaban dan mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah suatu pekerjaan mudah, yang dapat di selesaikan dalam waktu sesingkat menyeduh kopi panas di pagi hari. Terkadang kita alpa mengapresiasi setiap karya sastra yang telah di lahirkan. Namun secara tidak sadar  mereka telah menggerakkan nafas peradaban yang kita bangun saat ini. Sastra membantu mendidik minat baca dan membina kesadaran kita. Sayapun teringat kata Seno Gumira Ajidarma, “Ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran”.

Menulis merupakan upaya mengabarkan pesan, bahwa ada sekeping kenyataan yang sedang terjadi. Bagi saya menulis bukan hanya sekedar itu saja, tetapi merupakan sebuah proses dalam rangka menyingkap tabir kehidupan. Seorang arif pernah berkata bahwa, “tulisan adalah cerminan diri seseorang”. Setiap diksi yang diletakkan merupakan sebuah realitas yang di refleksikan dan sifatnya kontemplatif. Menggambarkan (mendeskripsikan) kondisi yang sedang terjadi.

sumber: http://www.sekolahguruindonesia.net
sumber: http://www.sekolahguruindonesia.net
Sebuah tulisan yang telah lahir adalah proses menuju keabadian, karena sebuah tulisan umurnya akan lebih panjang dari penulisnya. Kita tidak akan pernah tahu, tulisan itu akan menyinggahi siapa dan kemana ia berkelana. Terkadang saya heran dengan maraknya berita hoax yang syarat akan kebencian, suatu hari nanti akan disaksikan anak cucu mereka dari pembuat hoax itu. Bukannya menebar kesejukkan, entah apa yang mereka akan pertanggung jawabkan dan bagaimana mendidik generasi kedepan.

Lewat tulisan seorang penulis menciptakan, menggerakan peradaban dan akan dikenang sepanjang masa. Penulis sekaliber Pramoedya Ananta Toer mungkin sudah tak asing lagi dibenak kita semua. Ia seorang manusia Indonesia yang mampu melahirkan karya yang cukup banyak, salah satunya “Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)”. Meski penulisnya telah lama tiada namun masih tetap membekas di hati. “Orang Boleh Pandai Setinggi Langit, Tapi Selama Ia Tidak Menulis, Ia Akan Hilang Di Dalam Masyarakat dan Dari Sejarah. Menulis adalah Bekerja Untuk Keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer). 

Menulis adalah suatu kegiatan menyapa orang yang entah dimana mereka berada. Untuk dibaca atau tidaknya adalah itu menyoal apakah kita sudah menulis atau tidak. Namun, tak hanya membutuhkan seni mengalirkan argumentasi tetapi menulis butuh keberanian. Segalanya diawali dengan keberanian. Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai. Selengkap apapun tulisan itu, jika tidak selesai maka tulisan tersebut takkan berkualitas.  

sumber: https://assets.kompas.com
sumber: https://assets.kompas.com
Tak selamanya budaya membaca dan menulis (Literasi) diidentikkan dengan kalangan akademisi. Setiap manusia punya potensi yang sama untuk mengaktualkan gagasan/ide. Toh, dibeberapa kalangan akademisi kita, budaya membaca dan menulis masih sangat minim. Data dari Scientific American Survey (1994)minat menulis jurnal ilmiah di Indonesia masih rendah menunjukkan kontribusi tahunan Scientist dan Scholars Indonesia pada pengetahuan (knowledge), sains, dan teknologi hanya 0,012 persen. Fakta tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi Singapura yang mencapai 0,179 persen. Angka UNDP juga menunjukkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja.

Layaknya sebuah lokomotif kereta, budaya membaca dan menulis (Literasi) menjadi spirit yang menggerakan kreatifitas kepenulisan. Ketika tidak ada spirit maka kita takkan merasakan indahnya menyelami samudra pengetahuan yang tak terhingga. Di sisi lain budaya menonton masyarakat kita yang kemudian melemahkan minat membaca dan menulis. Rata-rata jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia untuk menonton 300 menit perhari. Jumlah ini terlalu besar di bandingkan anak-anak di Australia dan Amerika, rata-rata 150 dan 100 menit perhari. Saya kemudian tak menyangka bagaimana ketika sinetron Boy Anak Jalanan begitu mengoyak-ngoyak emosional para penontonnya. Di beberapa kanal media saya menyaksikan sekeluarga tak kuasa menahan isak tangis ketika Boy harus tidak ada. Andai saja peran Boy di sinetron itu bisa berganti menjadi Boy Anak Kuliahan mungkin. Anak-anak Indonesia bisa merasakan indahnya mengenyam pendidikan. Hmm... Mungkinkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun