Enigma wajah orang kusta meng-interupsi Kebebasanku
Refleksi filosofis-eksistensialis - kisah hidup St. damian Bersama orang-orang kusta
Pater Damian adalah seorang misionaris Belgia di pulau Molokai, Hawai. Ia dihormati sebagai "rasul para penderita kusta". Ia lahir pada tanggal 3 Januari 1840 di Tremeloo, Belgia dan diberi nama Josef de Veuster. Pada tahun 1858, ia memutuskan untuk menjadi imam dalam Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC). Dan pada bulan Januari 1859, Yosef masuk novisiat dari serikat SSCC di Louvain, Belgia. Ia mengucapkan kaulnya pada tanggal 7 Oktober 1860 di rumah induk biara di Paris dan menerima nama biara: Damian. Semula ia hanya akan diterima sebagai bruder saja. Akan tetapi, kakaknya August, yang sudah menjadi imam dalam serikat itu, mendorong ia untuk menjadi imam. Maka Damian belajar bahasa Latin dan Yunani serta mempeljari ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat di Paris dan belajar teologi di Leuven.
Ketika Damian masih dalam masa pendidikannya, kakaknya yang hendak diutus ke kepulauan Hawai terserang penyakit tipus. Maka, Damian meminta untuk menggantikan kakaknya. Ketika minta menggantikan kakaknya, ia belum di tahbiskan menjadi imam. Pemimpin tertinggi saat itu mengabulkan permohonannya dan pada tanggal 29 Oktober 1863, ia berangkat ke Hawai. Damian tiba disana pada 19 Maret 1864 dan pada tanggal 21 Mei 1864 ia ditabhiskan menjadi imam di gereja Katedral Bunda Perdamaian di Honolulu, Hawai. Sebagai imam baru, Damian ditugaskan untuk melayani umat di stasi Puna, Kohala dan Hamakua selama beberapa tahun. Selama bertugas disana, perhatiannya lebih diarahkan kepada kondisi para penderita kusta yang diisolasikan Kerajaan Hawaii di perkampungan Kalaupapa di pulau Molokai. Di daerah koloni yang secara geografis terpisah itu tidak ada seorang dokter dan imam yang tinggal menetap untuk melayani para penderita kusta itu. Karena itu, pater Damian mengajukan permohonan kepada Uskup untuk menjadi misionaris untuk para penderita Kusta di Molokai itu. Untuk itu, ia mempersiapkan diri dalam hal ketrampilan merawat orang sakit, mulai dari membalut luka sampai memotong anggota badan yang membusuk.
Pater Damian tiba di perkampungan kusta itu pada tanggal 10 Mei 1873 di mana Uskup Maigret memperkenalkannya kepada 816 orang penderita kusta sebagai "seorang yang akan menjadi ayah bagi kalian, yang mencintaimu sedemikian besarnya hingga dia tidak ragu untuk menjadi salah satu dari kalian; hidup dan mati bersama kalian." Disana ia giat mewartakan Injil dan mengajar agama, menghibur dan merawat orang-orang kusta bahkan mengubur mereka. Ia merintis pembangunan jalan raya, pipa air, rumah yatim piatu dan gereja-gereja. Ia berkarya disana dengan bantuan dua orang awam, juga satu kelompok suster-suster Fransiskan dari Syracuse, New York dan seorang pastor dari Belgia. Kehadiran Pater Damian sungguh menjadi titik balik dalam kehidupan orang-orang kusta yang disingkirkan dari negerinya. Komunitas orang kusta yang semula hidup tanpa adanya penegakan hukum, berubah menjadi lebih teratur, gubuk gubuk tinggal mereka diperbaiki dan menjadi rumah yang sederhana tapi nyaman dan sehat. Pertanian dan perkebunan diatur menjadi lebih baik. Singkat kata, kehidupan orang-orang kusta yang awalnya sangat 'tragis', karena penderitaan fisik yang mengerikan dan penderitaan mental -- psikologis karena dikucilkan (dibuang) dari lingkungan masyarakat karena ganasnya penyakit kusta tersebut, kini menjadi lebih baik dan manusia.
Pater Damian tentunya pasti tahu risiko dari penyakit kusta. Akan tetapi itu tidak membuat mentalnya ciut. Sebaliknya, dengan keberanian dan kemantapan hati, Pater Damian mau menggantikan kakaknya untuk diutus ke pulau Hawai, dan akhirnya memberikan diri untuk melayani para penderita kusta. Pater Damian telah menunjukkan suatu sikap dan tindakan penghargaan atas pribadi-pribadi lain. Penghargaan atas yang lain itu menjadi nyata karena ada perjumpaan dengan wajah-wajah penderita. Bahkan perjumpaan dengan wajah orang kusta menggugat dan meng-interupsi eksistensinya.
Emanuel Levinas, seorang filsuf eksistensialis kontemporer, mengungkapkan bahwa wajah orang lain adalah sebuah ephifani. Sehingga baginya wajah memiliki makna yang melampaui dan mendalam, yang ia sebut 'enigma'. Lalu apa perbedaan antara wajah dan enigma. Wajah sering dikonotasikan dengan apa yang dapat dilihat mata manusia (yakni; mata, hidung, mulut, pipi, dan lain-lain). Sementara enigma melampaui apa yang dapat dilihat mata manusia, yakni terkait sukacita, harapan, kecemasan dan penderitaan dari penampakan wajah-wajah itu. Enigma itu sesuatu yang lebih abstrak namun sangat mendalam, yakni keseluruhan cara orang lain memperlihatkan dirinya kepada kita. Maka, penampakan wajah orang lain itu selalu meng-interupsi eksistensiku dan menuntut aku untuk bertanggung jawab pada dirinya. Â
Oleh karena itu, penampakan wajah orang kusta pun secara langsung menggugat eksistensi pater Damian. Dimana, kehadirannya diusik dan dipertanyakan oleh kehadiran orang kusta karena ia memiliki wajah yang tidak dapat diabaikan. Wajah orang kusta tersebut sekaligus mempertanyakan alasan eksistensi Pater Damian: siapakah kamu? Apa yang sedang kamu lakukan? Dan Apa yang dituntut orang kusta bagi Pater Damian? Yakni, Jangan tinggalkan mereka sendirian, dan menuntutnya melakukan suatu tindakan konkret, yang dapat menyembuhkan dan memulihkan mereka baik secara fisik, maupun juga kesembuhan secara spiritual dan sosial. Untuk mewujudnyatakan harapan-harapan orang kusta yang terbaca melalui wajah mereka, Pater Damian memutuskan untuk tinggal bersama orang-orang kusta. Dalam kebersamaan dan perjumpaan yang intensional dengan orang-orang kusta itu, secara langsung semakin mengasah dan mempertajam sensibilitas Pater Damian. Sensibilitas dalam pandangan Levinas merupakan dasar fundamental yang menjadi penggerak bagi seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dan perbuatan baik itu adalah wujudnyata tanggung jawab yang konkret. Sehingga Levias pun menegaskan bahwa, tanggung jawab selalu mendahului kebebasan. Artinya, eksistensi orang lain dengan ke-wajah-an-nya, selalu menuntut Aku (The I) untuk bertanggung jawab terhadapnya, tanpa intervensi kebebasan/ego ku, tetapi mengutamakan kebebasan The Other -- Yang Lain.
Salah satu ungkapan menarik dari Damian adalah, "Saya bukan lagi pelayan orang-orang kusta, tetapi saya adalah orang kusta". Ungkapan ini sesungguhnya sebuah konstruksi identitas dirinya sendiri yang tidak lagi berbeda dengan orang-orang kusta dan sebaliknya memposisikan dirinya sama dengan orang-orang kusta. Melalui pemahaman dan pemaknaan diri Pater Damian yang sama dengan orang kusta, sejajar dengan apa yang digagas oleh Levinas tentang Yang-Sama untuk berbicara tentang etika. Bagi Levinas etika selalu dengan pengertian dasar mengenai Yang-Sama. Bahwa Aku yang digambarkan oleh Levinas sebagai Yang-Sama, cenderung menyerap dan menarik segala sesuatu yang ada di luar dirinya, termasuk ke-berlainan Yang Lain, untuk diasimilasikan ke dalam sang Aku. Dengan demikian tidak ada lagi yang bersifat asing di luar aku, tetapi menjadi sama dengan Aku. Untuk memahani yang etis/etika Levinas, kita jangan terlepas jauh dari frame perjumpaan konkret dengan yang lain. Karena yang etis merupakan sebuah situasi atau ruang dimana kita merasa terusik dan dituntut untuk memberikan tanggapan pada kehadiran orang lain. Keterusikan itu bukan sebatas perasaan iba/kasihan tetapi karena ia adalah diri kita yang lain. Maka etika atau yang etis bukanlah sesuatu yang abstrak dan teori tentang perbuatan baik, tetapi suatu perjumpaan relasional-intersubjektif konkret, yang meng-interupsi seluruh eksistensiku untuk bertanggung jawab kepada kehadiran orang lain di hadapanku.
Demikianlah yang dilakukan Pater Damian ketika berjumpa secara langusng dengan orang-orang kusta. Â Perjumpaan itu dapat dikatakan sebagai sebuah perjumpaan etis, karena melahirkan sikap/tindakan tanggung jawab atas hidup dan kematian orang-orang kusta. Bahkan orang-orang kusta tidak lagi dipandang sebagai ancaman bagi eksistensinya, tetapi Pater Damian telah melebur dan menjadi sama dengan orang-orang kusta. Pater Damian berkata; "aku adalah orang kusta". Ungkapan ini bermakna, 'humanisme untuk orang lain (humanism for the Other)'. Humanisme ini memuat ajakan unutk tidak berdiam diri saja, melainkan bertanggung jawab terhadap orang lain. Tanggung jawab itu dibuktikan oleh Pater Damian melalui pemberian seluruh dirinya secara total sampai kematiannya sebagai orang kusta.
Catatan: Dalam penulisan ini khusunya pemikiran Levinas saya mengunakan buku dengan judul enigma wajah orang lain karya Thomas Hidya Tjaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H