Mohon tunggu...
Naufal Firman Yursak
Naufal Firman Yursak Mohon Tunggu... Analis Media -

a Political Junkie | a Former Journalist | Justice for All | naufal@firmanyursak.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bakal Caleg Artis: Tantangan Kaderisasi

1 Mei 2013   08:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:19 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hanya 3 (tiga) dari 12 parpol peserta Pemilu 2014 tidak memasukkan artis untuk bakal caleg (calon legislatif) DPR RI. Sebanyak 9 parpol lainnya mendaftarkan sekitar 52 artis untuk bakal caleg DPR RI pada Pemilu 2014. Jumlah itu tidak signifikan, jika dibandingkan dengan total jumlah bakal caleg DPR RI. Data pada Komisi Pemilihan Umum Pusat (KPU) 22 April 2013, tercatat 6.576 bakal caleg DPR RI, dengan rincian 2.434 perempuan dan 4.142 pria. (Pikiran Rakyat, 22/4/2013, Kompas, 28/4/2013; Republika, 4/4/2013; Tempo, 24/4/2013)



Ada anggapan umum, bahwa caleg artis dapat menjadi vote gettter atau caleg yang dapat meraih dukungan luas. Di sisi lain, ada kecemasan, kualitas kader parpol berisiko merosot. Secara umum, seperti kata manusia Plato dari era tahun 547-347 pra-Masehi di Yunani, bahwa “Democracy is a charming form of government, full of variety and  disorder.” Bahwa demokrasi memiliki pesona, sangat beragam, namun berisiko tidak teratur. (Plato, The Republic atau Politeia, 380 SM)

Maka saran Plato, jika politik adalah seni membuat keputusan, maka mestinya keputusan mesin parpol misalnya berbasis pengetahuan. Jika tidak demikian, out-put demokrasi hanya ketidak-teraturan. Risiko bawaannya, politik tidak bernilai, sebab gagal melahirkan kebajikan. Kebajikan itu ditulis Plato : ‘republic’ atau ‘res-publica.’

Dalam frasa pop sosiolog-ekonom Jerman, Max Weber  (Politik als Beruf, 1919), “politics as a vocation”. Politik adalah karya kebajikan. Bagi Max Weber, politik perlu dipahami melalui pemimpin atau kepemimpinan yang dapat memandu elit-elit sekitarnya dan kader-kader.  Maka pemimpin atau kader parpol mesti meraih legitimasi rasional-legal melalui Pemilu dan memiliki etika tanggungjawab. Tangungjawab adalah ukuran dari ‘leadership’.

Kaderisasi parpol dapat menjabarkan politik sebagai karya kebajikan untuk kebaikan orang-orang lain, masyarakat, lingkungan, dan organisasinya. Jika memakai temuan empiris dari pakar kepemimpinan, James McGregor Burns (Leadership, 1978), standardisasi kader baiknya melahirkan ‘transformational leaders’, bukan ‘transactional leader’. Sebab para kader dan pemimpin transformasi berbasis nilai, bukan komersial. Tetapi, kader dan pemimpin transaksional, membuat keputusan berbasis kalkulasi komersial.

Knowledge is Power?

Manusia Plato dkk yang mula-mula menemukan, meriset, dan mengkaji : demos (rakyat) dan kratos(kekuasaan), menyarankan hindari para pedagang menduduki level pembuatan keputusan politik.  Sebab substansi dari politik ialah seni membuat keputusan yang baik untuk masyarakat dan lingkungan. Atau politik mesti berbasis pengetahuan, keahlian, dan filosofi. “A good decision is based on knowledge, and not on numbers.

Risiko demokrasi ialah pembuatan keputusan berbasis jumlah, bukan kebajikan, kebijakan (wisdom), dan pengetahuan (knowledge). Jika ini terjadi, Plao menduga, “Dictatorship naturally arises out of democracy.” Atau ketidateraturan yang dihasilkan oleh demokrasi yang berbasis libido tanpa akal sehat, kebajikan, dan pengetahuan. Kata pepatah rakyat Tiongkok, jika manusia berantakan, ia bisa lebih kacau dari binatang.

Frasa pepatah rakyat Tiongkok itu bisa ada benarnya. Kecemasan Aristoteles juga tersirat perihal ini, dari istilah yang ia namakan, “kelompok manusia tanpa virtues—order, justice, stability, dan peace—tidak lain dari “zoon politikon” (Aristoteles, Politic, terj.,1900) alias hewan berpolitik. Sebab semut misalnya jika kacau-balau tidak saling memangsa, tapi kondisi hipotetik manusia tanpa negara, tulis Thomas Hobbes (Leviathan, 1651) : ‘homo homi lupus, non homo homini socius’ atau “a man is a wolf for the others”, manusia menjadi serigala bagi sesamanya.

Tentu saja, masuknya bakal caleg untuk kursi DPR RI, tidak memicu risiko dan kecemasan seperti diperkirakan Plato, Aristoteles, dan Thomas Hobbes. Tapi, kecemasan umum saat ini, ialah kualitas kader-kader. Jika merujuk pada saran Plato—politik mesti berbasis pengetahuan dan filsafat, maka pertanyaannya ialah pengetahuan seperti apa sebagai basis politik?

Kader Berkarakter

“Politic is not a bad profession … Democracy is the most deeply honorable form of government ever devised by man…. Without God there is no virtue, because there is no prompting of the conscience… so without God democracy will not and cannot long endure!” Baris kalimat ini adalah kata-kata dari Ronald Wilson Reagan, Presiden ke-40 Amerika Serikat (AS) tahun 1981-1989 dan Gubernur California ke-33  (1967-1975) di AS.

Reagan berasal dari habitat Hollywood, AS. Ia pernah membitangi 53 film. Ia terpilih sebagai Presiden AS dari Parati Republik, ketika usianya 69 tahun. Jadi, Reagan adalah presiden tertua yang dipilih oleh rakyat AS dalam sejarah AS. Namun, terobosannya masih memiliki legasi sampai hari ini, antara lain berakhirnya Perang Dingin sejak 1950-an sampai 1990-an antara kubu AS dan kubu Uni Soviet, perang ideologi, dan konflik lainnya skala kawasan dan global. (The White House, “Ronald Reagan”, 2013)

Reagan, meskipun artis, memiliki karakter berpolitik. Nilai umumnya antara lain tanggungjawab, jujur, dan rendah hati. Menurut Confucius, asal Cina masa 551-479 pra-Masehi, pengetahuan sesungguhnya ialah mengetahui ketidaktahuan atau “Real knowledge is to know the extent of one's ignorance.” (Confucius,Analects, terjemahan James Legge, 1893)

Confucius juga mengajarkan banyak hal tentang pengetahuan sebagai basis bagi politik—seni membuat keputusan yang baik dan benar. Misalnya, ketidaktahuan tidak lain dari ‘saat malam harinya pikiran’—yang tidur, atau lupa. “Ignorance is the night of the mind, but a night without moon and star.” Dalam hal ini, kader berkarakter mestinya merupakan ‘superior man’ yang berpijak pada kebenaran dan kebaikan. “The Superior Man is aware of Righteousness, the inferior man is aware of advantage. The object of the superior man is truth, kata Confucius. Dalam kerangka ini, karya artis bisa menjadi ‘true knowledge’.

Seperti contoh Ronald Reagan, mestinya bakal caleg dari kalangan artis juga dapat memiliki karakter ‘superior man’. Khususnya untuk Indonesia yang merupakan masyarakat bhineka, maka mestinya memiliki karakter nasionalisme, bisa sejalan dengan visi-misi parpolnya, jujur, dan bertanggungjawab dalam  menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.  Kata Confucius, “To know, is to know that you know nothing. That is the meaning of true knowledge.”  Inilah basis politik, bukan kekuasaan yang berisiko dapat bermuatan kepentingan transaksi alias demokrasi komersial.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun