Mohon tunggu...
Naufal Firman Yursak
Naufal Firman Yursak Mohon Tunggu... Analis Media -

a Political Junkie | a Former Journalist | Justice for All | naufal@firmanyursak.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Foke, Jokowi, dan Pilkada Putaran II

4 September 2012   03:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:57 1911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penerapan rumus-rumus alchemi tersebut di bidang strategi dan komunikasi politik pernah diterapkan oleh Joseph Gobels dan Adolf Hitler dari Jerman pada Perang Dunia II. Rumus dasar yang diterapkan ialah soul, body, dan mind—jiwa, raga, dan pikiran (lazim disimbol QO) untuk menghasilkan arus-dukungan kuat dari seluruh lapisan masyarakat dan alam lingkungan. Penerapannya, “corporate elite” (Nazi  Jerman) memanipulasi opini publik, libido manusia lebih dieksploitasi untuk mobilisasi dukungan rakyat selama perang. Hitler terilhami oleh Edward Louis Bernays, pionir dan arsitek propaganda serta peletak dasar ilmu PR pada Perang Dunia I untuk pemerintahan Presiden Woodrow Wilson asal AS. (Larry Tye, 1998; Scott Cutlip, 1994)

Hasil penerapan rumus itu pada awal Perang Dunia II,  Jerman mencatat kemajuan ekonomi sangat pesat, angka pengangguran rendah. Jerman mencatat keunggulan teknologi, militer, sains, dan disiplin sangat tinggi. Hitler yang semula berasal dari kelompok masyarakat periferal, dipuja-puji. Saat masih muda, Hitler memilih pola hidup bohemian di Wina (1905), bertahan hidup dengan melukis dan sales watercolors, hingga akhirnya tanpa rumah-hunian (1909). Di sisi lain, Jermanmenjadi super-power di Eropa yang mampu mendikte pemimpin sejumlah negara.

Namun, risikonya ialah sifat berutal manusia lebih menonjol karena tanpa kontrol akal sehatdan moral. Akibatnya, Jerman terseret pada Perang Dunia II dan akhirnya kalah. Rumus QO disilang P itu pun dihancurkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya dan tidak pernah dipraktekan lagi sampai awal abad 21 ini.(Evans, Richard J., 2003; .Bullok, Alan. 1952; Hamann, Brigitte, 1999; Kershaw, Ian, 1999; Stackelberg, Roderick, 2007)

Jokowi vs  Foke

Gaya “man on the street” Obama tampak pada positioning dan branding awal cagub Joko Widodo (Jokowi) dengan baju kotak-kotak lengan panjang dan naik bis di Jakarta jelang Pilgub DKI putaran pertama. Label dan brand Jokowi seakan-akan merepresentasi warga Jakarta yang umumnya naik bis kota berdesak-desakan. Tercipta keintiman antara cagub Jokowi dengan warga Jakarta. Mirip dengan branding “man on the street” Barack Obama dalam video YuoTube.

Hasilnya, pada putaran pertama Pilgub DKI tahun 2012, arus dukungan untuk pasangan Jokowi-Ahok luput dari pantauan survei-survei. Seakan-akan betul apa yang ditulis oleh Scott Cutlip (1994, bahwa jika kekuatan yang tidak terlihat dalam proses politik, maka kekuatan itu adalah PR atau “the unseen power”. Seperti halnya rancang-bangun kampanye Obama, terlihat pula pesan perubahan (V) dalam kampanye pasangan Jokowi-Ahok, seperti melayani masyarakat melalui kantor di jalanan DKI Jakarta, perubahan layanan kesehatan masyarakat dan pendidikan rakyat di DKI. Tidak ada janji, kecuali pilihan dan tawaran problem-solving dalam paket program bernafas kerakyatan di DKI Jakarta.

Positioning, branding, dan strategi pasangan Jokowi-Ahok tersebut di atas membelah dua arus besar dukungan pada Pilgub DKI Jakarta putaran kedua 20 September 2012. Yakni arus pendukung perubahan vs arus dukungan kuat dari pimpinan partai dan tingginya name recognition. Seperti halnya strategi Axelrod, pasangan Jokowi-Ahok juga melibatkan skala luas volunteers dan media-media alternatif rakyat DKI Jakarta.

Pasangan Jokowi-Ahok minim memasang iklan di media korporasi. Kampanye perubahan mudah menyulut persatuan simpul-simpul “periferal” di DKI Jakarta ke dalam satu arus besar pilihan dan dukungan politik. Di sinilah identifikasi diri pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI tahun 2012, yang mirip dengan penerapan rumus QR dan QZ dari David Axelrod. Momentumnya ialah di DKI Jakarta saat ini, masih banyak zona periferal sosial-ekonomi yang belum terpantau sehingga sulit disentuh program pembangunan. Begitu pula, lahir zona-zona baru sosial-ekonomi hasil alih-fungsi lahan yang mempengaruhi dinamika masyarakat.

Sedangkan cagub Fauzi Bowo (Foke) sebetulnya memiliki name-recognition tinggi. Foke memiliki jejak-panjang membangun DKI Jakarta sejak tahun 1987. Foke meraih keahlian town-planning pada Technical University di Brunswick, Jerman, tahun 1976. Pada tahun 2000, Foke meraih gelar Doktor Ingenieur pada Universitas Kaiserslautern, Jerman. Maka wajar jika menjelang Pilgub DKI Jakarta putaran ke-2, cagub Foke meraih dukungan mayoritas partai politik seperti tahun 2007, ketika cagub Foke didukung oleh 19 partai politik.

Di sisi lain, kualitas dan kuantitas pelayanan publik di sektor kesehatan dan pendidikan DKI Jakarta masa Gubernur DKI Fauzi Bowo periode tahun 2007-2012, mengalami peningkatan yang nyata. Angka pengangguran turun. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mampu menggerakan perekonomian di DKI Jakarta, Angka kemiskinan turun. Dengan kata lain, selama menjabat Foke telah mampu memberikan perubahan signifikan bagi Jakarta.

Track-record cagub Foke tersebut di atas seakan merupakan aset besar dalam strategi, PR, dan kampanye Pilgub DKI Jakarta pada putaran pertama tahun 2012. Misalnya, berulang-kali publik disuguhi oleh paket-paket pesan iklan dan visualisasi politik tentang kisah-sukses Foke melalui sejumlah media korporasi. Tayangan kampanye itu tanpa kekuatan perubahan dan difokuskan pada reaksi pikiran pemirsa (QR) dan audiens.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun