Mohon tunggu...
Naufal Firman Yursak
Naufal Firman Yursak Mohon Tunggu... Analis Media -

a Political Junkie | a Former Journalist | Justice for All | naufal@firmanyursak.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKS Gunakan “Titik Lemah” Sistem Presidensil

7 April 2012   17:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:54 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PKS GUNAKAN “TITIK-LEMAH” SISTEM PRESIDENSIL

Oleh : Firman Yursak

Label “perils” atau “kerapuhan” acapkali dialamatkan ke sistem pemerintahan presidensil jelang akhir abad 20. Titik lemahnya, antara lain, sistem presidensil menempatkan Presiden dan parlemen (DPR) sebagai dua organ negara setara dan paralel. (Juan J.Linz, 1990) Sebab Presiden dan DPR sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Presiden tidak bisa jatuh karena mosi tidak percaya dari parlemen (vote of no confidence), sebaliknya Presiden tidak dapat membubarkan parlemen. (Alfred Stepan, 1978)

“Titik lemah” penerapan sistem presidensil itu dapat memicu risiko konflik Presiden vs DPR. Akibatnya, aliran kebijakan macet dan buntu atau policy dead-lock atau gridlock. (Anibal S. Perez-Linan, 2008) Risiko lainnya akuntabilitas pemerintahan rendah karena masing-masing organ negara saling-melempar tanggungjawab. Misalnya, ketika kebijakan ekonomi gagal, DPR mudah menuding bahwa hal itu karena kelemahan pemerintah. Presiden juga dapat menuding DPR tidak mengakomodir program-program kebijakan yang diajukan oleh Presiden. (Sarah A. Binder, 1993) Akibatnya, selalu timbul konflik antara Presiden dan DPR. Begitu hasil riset ahli sistem presidensil Fred W. Riggs pada 76 negara jelang akhir abad 20. (Fred W.Riggs, 1992)

Dalam sistem presidensil menurut UUD 1945, yang dianut oleh pendiri Negara RI dan dipertegas oleh MPR RI hasil Pemilu tahun 1999, risiko tersebut sebetulnya dapat diatasi. Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang untuk menyelesaikan konflik kewenangan, hak, abilitas, dan tanggungjawab organ-organ negara, termasuk Presiden RI dan DPR RI, menurut UUD 1945. (Douglas Webber, 2005)

Selain itu, Pasal 61A ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh satu partau politik atau gabungan partai politik. Maka terpilihnya Presiden RI yang berasal; dari partai minoritas di DPR, sebetulnya dapat dicegah. Ini pula terjadi pada Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono yang didukung oleh partai koalisi mayoritas di DPR tahun 2009. Posisi ini sebetulnya membuka peluang winner takes all yakni Presiden dan DPR dikuasai oleh satu koalisi partai.

Namun, dalam prakteknya,koalisi 423 kursi (75,4% DPR) dari 6 partai di DPR RI, belum efektif memuluskan program-program kebijakan Pemerintah, khususnya angket kebijakan bail-out Bank Century (2009), panja mafia pajak, dan kenaikkan harga BBM dari APBNP 2012. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memiliki 57 kursi di DPR atau 10,8% dan berada di koalisi pemerintahan, kadang-kadang berbeda dengan arah kebijakan pemerintahan koalisi. Sikap PKS itu terjadi di saat munculnya aksi demo menolak kenaikan harga BBM pada lebih dari 127 titik di seluruh zona Negara RI jelang akhir Maret 2012. Maka tidak heran, jika Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono pernah menilai, ada “gerakan aneh” berkenaan dengan penolakan rencana kenaikan harga BBM dalam APBNP 2012.

Titik Lemah Sistem Presidensil

Selama ini, penerapan sistem presidensil melalui multi-partai selalu menghadapi rentetan risiko. Salah satu sebabnya ialah ketentuan tentang mandat langsung untuk DPR dan Presiden. Di satu sisi, rezim ini memperkuat legitimasi kedaulatan rakyat. Namun, rezim ini juga memicu konflik antara Presiden dan DPR karena keduanya sama-sama mendapat mandat langsung, sah dan equal dari rakyat untuk jangka waktu tertentu (fixed-terms).Menurut ahli sistem presidensil Juan J.Linzdkk, bahwa “...the most of the characteristics and problems of presidential systems flow from these two essential features”. (Scott Mainwaring, Matthew S. Shugart & Juan Linz, 1997a).

Dari sudut pandang sistem multi-partai saat ini di zona Negara RI, titik-lemah tersebut di atas bukanlah kekecualian bagi penerapan pemerintahan presidensil menurut UUD 1945. Misalnya pada masa pemerintahan Presiden RI Abdurrahman Wahid, terjadi konflik partai-partai Poros Tengah pendukung Presiden Wahid (Rusdi Muchtar, Afdlal, Sumarno dan Dwi Purwoko, 2002) dan konflik antar Presiden RI vs DPR RI. Konflik itu memicu reshuffle kabinet dan jatuhnya Presiden RI Abdurrahman Wahid tahun 2001.

Risiko serupa juga terjadi di Urugay. Karena menerapkan sistem multipartai, pemerintahan presidensil Urugay selalu membentuk pemerintahan koalisi. Namun, koalisi itu sulit permanen, dan hanya terbatas pada isu-isu kebijakan tertentu. Koalisi tidak bertahan lama dan berakhir ketika pemerintahan koalisi berakhir. (David Altman, 2000)

Penerapan sistem presidensil melalui multipartai disejumlah negara Afrikaselama ini telah memicu praktik suap, money-politics dan koalisi rahasia mengatur power-sharingdi antara partai politik dan elit dalam pemerintahan. (Nicolas van de Walle, 2003) Hasil riset Jackson dan Rosbergtahun 1982 menemukan bahwa praktek suap, koalisi rahasia, dan money-politics itu terjadi karena “the formal rules of the political game do not effectively govern the conduct of rulers”. (Robert H. Jackson & Carl G. Rosberg, 1982) Kondisi ini berbeda dengan pemerintahan presidensil Amerika Serikat (AS) yang menerapkan sistem dua partai dan level rule of law tinggi..

Kewenangan Presiden

Presiden RI menurut UUD 1945 hasil perubahan tahun 1999-2001, termasuk Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono (2009-2014), sebetulnya memiliki sejumlah pijakan hukum untuk keluar dari jebakan risiko penerapan sistem presidensil melalui multipartai. Misalnya, Presiden memegang satu kewenangan pemerintahan (Psl 4 ayat 1 UUD 1945). Oleh karena itu, Presiden berwenang memilih, mengevaluasi, atau memecat para menterinya—jika kinerjanya buruk. Hal ini penting dikemukakan agar Presiden tidak harus tunduk pada kompromi atau kontrak dengan partai politik, khususnya jika hal itu bertentangan dengan UUD 1945.

Presiden RI dapat memperluas mata-rantai koalisinya dalam isu-isu kebijakan tertentu. Untuk merajut koalisi permanen dan tidak mudah konflik, maka koalisi perlu dibangun di antara partai-partai politik yang memiliki kesamaan ideologi dan cita-cita sebagai platform bersama. Prinsiprule of lawditegakkan sehingga koalisi tidak menjadi penuh dengan kolusi dan nepotisme. Sistem multi partaidapat menghasilkan stabilitas dan efektivitas pemerintahan,transparansi, akuntabilitas, dan tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme hanya jika level rule of law tinggi. (Robert H. Jackson & Carl G. Rosberg,1982)

Prinsip dasar rule of law, antara lain, pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar rakyat, kesetaraan setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, pembatasan kewenangan organ-organ negara, dan lain-lain. Prinsip-prinsip ini dianut oleh UUD 1945, antara lain, melalui Pasal 27 UUD 1945 dan pasal-pasal lain tentang hak-hak konstitusional rakyat. Dalam hal ini, Presiden RI dapat mengatasi risiko akibat penolakan wakil rakyat di DPR RI, termasuk kalangan DPR dari PKS, Hanura, PDIP, dan Gerinda—dalam beberapa hal tertentu, dari Golkar, dengan menetapkan Peraturan Pemerintah (Psl 5 ayat 2 UUD 1945) guna melindungi hak-hak rakyat, termasuk menyehatkan APBN untuk memakmurkan rakyat. Maka tidak terjadi policy deadlock.

Presiden RI juga dapat memperkuat keunggulan sistem presidensil menurut UUD 1945, meski PKS menggunakan kelemahan sistem presidensil. Yakni memperkuat demokrasi berupa mandat-langsung rakyat melalui Pemilu (Psl 6A ayat 1 UUD 1945), pemisahan kekuasaan (separation of powers) guna mencegah pemusatan kekuasaan (Psl 4, Psl 20, Psl 24, Psl 24C UUD 1945), check-balance berupa pengawasan dan penyeimbangan pelaksanaan kewenangan, hak, tanggungjawab dan abilitas organ-organ negara.

Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono dapat pula mengkonsolidasi kewenangannya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan commander in chief menurut UUD 1945 dalam rangka melindungi segenap bangsa-tumpah darah, mensejahterakan rakyat, mencerdaskan rakyat, dan menciptakan keadilan dan ketertiban. Partai politik, termasuk PKS dan wakilnya di DPR, hanya salah satu dari puluhan stakholders lembaga kepresidenan menurut UUD 1945. Artinya, dengan atau tanpa PKS, pemerintahan masih dan pasti dapat berjalan.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun