Sebuah fenomena yang mengusik adalah tentang pertujukan musik (dangdut) gratisan yang sudah hantam kromo masuk ke sekitar kita tanpa ada filter audiensinya. Bukan di genre musiknya yang jadi masalah, tapi memang kebetulan yang seringkali dimainkan memang dangdut. Di sebuah acara kawinan, sunatan atau event disponsori suatu produk, seringkali mempertontonkan musik dangdut yang dapat dinikmati secara gratis.
Ini kemudian jadi mengusik saya untuk menyikapi hal ini karena di beberapa pertunjukan sejenis, penyanyi wanitanya tampil dengan pakaian yang mini dan ketat serta bergoyang seronok. Ini ditampilkan di sebuah area publik dimana mudah sekali diakses oleh banyak orang termasuk anak-anak seusia SD atau SMP.
Miris rasanya melihat penyanyi wanita yang bergoyang tidak sepantasnya di depan bocah-bocah ingusan yang-mungkin-baru-saja-akhil-baligh dan persepsinya tentang lawan jenis juga masih belum utuh. Andaikan pertunjukan itu ditampilkan di suatu ruang privat tertutup yang konsumennya dibatasi usia dan dikenakan biaya, mungkin akan terdengar lebih bijak.
Konsumen penikmatnya memang ingin menikmati gadis dengan pakaian yang vulgar meliuk-liuk sambil menyanyi dengan teknik vokal yang seadanya. Tapi ketika anak-anak pun dapat mengakses pertunjukan semacam itu dengan mudah (karena gratis dan tidak ada batasan usia), ini sudah tidak benar.
Amerika Serikat saja yang liberal, memberlakukan rating yang ketat terhadap suatu tontonan untuk klasifikasi audiensinya apalagi yang menyangkut pornografi dan kekerasan untuk konsumen anak-anak. Tapi kenapa rasanya Indonesia saat ini rasanya lebih permisif dalam hal semacam ini. Terlalu banyak regulasi terhadap hal semacam ini tapi nol besar di taraf implementasi lapangan.
Kita asumsikan saja panitia penyelenggaranya memang berniat untuk merusak moral para konsumen anak-anak itu, namun yang harus digarisbawahi adalah tidak berfungsi sebagaimana mestinya institusi yang mempunyai wewenang untuk ijin terlaksananya pertunjukan dangdut gratisan itu. Saya coba ilustrasikan saat beberapa tahun lalu Lady Gaga berniat konser (berbayar) di Indonesia yang kemudian mendapat resistensi dari beberapa pihak yang akhirnya membuat ijin konser tidak segera diterbitkan oleh kepolisian dan akhirnya Lady Gaga membatalkan niatnya untuk konser di Indonesia.
Kalau satu orang Lady Gaga saja bisa akhirnya batal konser (berbayar alias tidak gratis) di Indonesia, kenapa “Lady Gaga – Lady Gaga lokal” yang mempunyai daya rusak terhadap moral anak bangsa lebih masif dan hebat (gratis dan tidak ada batasan usia penonton) bisa terus hidup dan tersebar bahkan sampai ke pelosok – pelosok desa? Dimana aparat pemerintah yang berwenang? Kalau para aparat setempat (Lurah, Camat, Polsek dll.) peduli dengan moral generasi yang akan datang, seharusnya bisa melakukan kontrol terhadap pertunjukan-pertunjukan semacam ini. Apa aparat ini tidak berani bertindak karena tidak ada payung hukum untuk permasalahan ini ? Katanya dulu ada UU antipornografi dan pornoaksi. Apakah tidak cukup untuk memberangus pertunjukan yang tidak senonoh ini? Atau karena ada suap dan gratifikasi di balik konser gratisan ini? Apakah sebegitu bejat dan murahnya harga para oknum aparat sampai mau menjual moral generasi penerus bangsa ini kepada penyelenggara acara yang sudah tidak lagi peduli pada moral anak bangsa? Atau butuh tekanan dari publik terlebih dahulu (FPI dan ormas-ormas yang lain), supaya para aparat terkait berani bertindak? Saya sendiri tidak ingin membiasakan melihat ormas-ormas berbuat main hakim sendiri, tapi rasanya aparat (entah polisi atau lembaga yang berwenang lainnya) juga tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.
Rasanya untuk generasi masa depan ini, terjangan tontonan yang menjurus pada dekadensi moral benar benar komplit datang dari segala penjuru arah, baik melalui media ataupun langsung (off air).
Orang tua punya tugas ekstra berat untuk menjaga dan membentuk moral anak-anak mereka pada tingkat yang diharapkan mampu secara mandiri memfilter tontonan yang tidak layak, karena tidak mungkin 24 jam orang tua harus mengawasi gerak dan perilaku anaknya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI