Tanggal 5 Oktober 2020, DPR dan Pemerintah bersepakat mengesahkan UU Omnibus Law yang isinya merevisi puluhan UU yang sudah ada sebelumnya. UU Cipta Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM yang usulannya diajukan oleh Pemerintah pada Januari 2020 adalah UU Omnibus Law yang tujuannya sebenarnya untuk merampingkan regulasi dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran.
Sejak awal dimunculkan pada Januari 2020, UU Omnibus Law (saat itu masih draft RUU), terutama di UU Cipta Kerja banyak memunculkan kontroversi karena banyak ketentuan di dalamnya yang malah mendegradasi ketentuan UU Ketenagakerjaan yang sudah ada sebelumnya terutama dari sisi status dan kesejahteraan pekerja.
Belum lagi di sisi waktu pengesahannya yang ternyata Pemerintah dan DPR tidak komit dengan apa yang sudah di-state sebelumnya di bulan April 2020 bahwa pembahasan tentang UU ini akan ditunda untuk mendapatkan lebih banyak masukan dari para stakeholders serta karena pemerintah masih memprioritaskan penanganan pandemi covid-19.
Reaksi kekecewaan sekaligus kemarahan spontan muncul tidak hanya dari para buruh, tetapi mahasiswa bahkan tokoh agama melalui ormas keagamaan. Demonstrasi serentak para buruh dan mahasiswa dengan dukungan moral berupa statement kompak dari ormas keagamaan besar (Muhammadiyah dan NU) serta kelompok cendekiawan kampus yang menganggap UU Cipta Kerja ini bentuk "kezhaliman" Pemerintah kepada rakyatnya apalagi disahkan saat kondisi rakyat Indonesia sedang berat secara ekonomi dan kesehatan akibat covid-19 yang memunculkan fenomena gaji yang diturunkan dan bahkan maraknya PHK.
Jika tujuan UU Omnibus Law ini untuk kemudahan berinvestasi, seharusnya Pemerintah lebih komprehensif mengatur ketentuan di dalamnya. Dalam berinvestasi, tahapan awal adalah terkait perijinan dimana sejak awal reformasi terjadi desentralisasi ke daerah-daerah. Di sinilah muncul tumpang tindih Perda terkait perijinan investasi yang kemudian "dimainkan" oleh para pejabat daerah.
Sisi positifnya sebenarnya pejabat di daerah lebih tahu kondisi lingkungan, sosial ekonomi masyarakat lokal. UU Omnibus Law memberikan kewenangan Pemerintah Pusat untuk menunda pelaksanaan bahkan mencabut perda yang kontra pada pertumbuhan investasi. Mungkin ini dianggap penyederhanaan perijinan agar iklim investasi meningkat, tetapi bukankah masalahnya selama ini adalah "dimainkannya" aturan. Bagaimana jika penyederhanaan aturan itu di UU baru ini tidak menghilangkan sisi "dimainkannya" aturan tetapi hanya memindahkan kolusi perijinan dari "main di daerah" jadi "main di pusat".Â
Terkait ketenagakaerjaan, bayangkan dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya saja, yang sudah jelas ada sanksinya, banyak pengusaha yang tidak taat terhadap aturan dan minim sanksi sesuai ketentuan. Di UU Cipta Kerja ini ketentuan sanksi untuk pengusaha malah dinihilkan. Ketentuan terkait status dan kesejahteraan pekerja seperti pesangon, cuti dan lain lain di "downgrade" di UU yang baru disahkan ini.
Mengutip tweet Novel Baswedan, ternyata beberapa kelompok pengusaha (mayoritas investor internasional) mengkhawatirkan iklim investasi di Indonesia paska disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. UU Cipta Kerja ini mereka nilai di sisi kerangka perijinan, dampak pemantauan lingkungan dan HAM di sisi pekerja akan banyak memiliki sisi ketidakpastian yang lebih tinggi, karena yang dibutuhkan investor baik sebenarnya adalah standarisasi dan kepastian biaya investasi. Kecuali jika Pemerintah melalui UU baru ini menghendaki investasi sebanyak banyaknya tapi lebih suka investor yang berkongkalikong dalam perijinan, tidak menghiraukan efek negatif pada lingkungan hidup dan hanya mengeksploitasi pekerja demi profit sebanyak banyaknya.
Dari sisi perijinan, dengan aturan yang jelas baik di sisi biaya, ketentuan maupun timeframe kinerja aparat yang menangangani perijinan berikut sanksi berat bagi aparat yang korup dan kolusi memainkan perijinan adalah hal positif bagi pengusaha karena jika syarat-syarat sudah dipenuhi tetapi aparat pemerintah main kotor, jelas tinggal laporkan, ditindak dan bisnis investor jalan terus.
Dari sisi AMDAL, ketentuan antisipasi efek negatif pada lingkungan hidup sekitar perlu diperjelas dan sehingga tidak perlu lagi ada konflik investor dengan masyarakat sekitar jika seluruh persyaratan dipenuhi. Bayangkan dilematisnya jika konflik masyarakat sekitar dengan investor terjadi dan harus ditengahi Pemerintah daerah akibat perijinan oleh Pemerintah Pusat yang tidak paham pada kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal.
Sisi ketenagakerjaan, dengan downgrade status dan kesejahteraan tenaga kerja akan rawan memunculkan konflik pekerja dengan pengusaha dan akan berujung dengan demonstrasi  pekerja yang jelas akan mengganggu proses produksi, meningkatkan biaya overhead yang serba tidak pasti dan mengganggu iklim investasi secara umum. Jika investor / pengusaha memberikan kesejahteraan yang layak dan standar penilaian produktifitas yang jelas sebagai acuan kinerja bagi pekerja maka akan meminimalkan konflik. Pekerja yang di PHK karena tidak memenuhi standar penilaian, juga tidak akan bisa banyak menuntut.