Mohon tunggu...
Snowman
Snowman Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Suka membaca buku fiksi dan non-fiksi

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Penjelasan Psikologi tentang Kebiasaan Ikut-ikutan

4 Maret 2020   11:45 Diperbarui: 4 Maret 2020   11:52 3126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebiasaan ikut-ikutan, atau biasa disebut latah, begitu tidak asing bagi semua orang. Kita pernah latah, begitu pun orang lain.

Saat suara orang ketawa terdengar pada suatu acara hiburan di televisi, kita juga ikut tertawa. Kita ikut tertawa ketika teman setongkrongan tertawa mendengar suatu lelucon. Kita ikut mengantri ketika semua orang mengantri. Kita ikut melanggar lalu lintas ketika semua orang melakukannya. 

Apakah ini suatu kebiasaan yang buruk? Mungkin, tapi penilaian baik buruk adalah persoalan lain. Yang jelas, kebiasaan latah adalah normal. Hampir setiap orang melakukannya.

Fenomena ini, dalam psikologi, disebut "konformitas (conformity)". Pada Januari tahun 2017, Vsauce mengunggah sebuah video tentang topik ini. Video tersebut mencoba untuk menjelaskan apa itu konformitas dan apa saja contohnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalamnya juga ditampilkan beberapa eksperimen yang mencoba menguji seberapa besar pengaruh sosial terhadap keputusan seseorang.

Setiap individu memiliki kecenderungan atau hasrat untuk mencocokan dirinya ke dalam masyarakat agar ia dapat diterima. Penerimaan sosial membuat seseorang merasa aman dan tidak dianggap berbeda. Kecenderungan ini lah yang disebut sebagai konformitas.

Misalnya dalam kasus tertawa. Kita cenderung ikut tertawa saat orang lain juga tertawa, meskipun lelucon yang dilontarkan sama sekali tidak lucu, yang hanya kata-kata biasa dan tak memiliki arti. 

Tapi mengapa kita ikutan tertawa? Alasannya mungkin akan berbeda-beda pada kasus-kasus tertentu, namun biasanya karena kita merasa sungkan terhadap orang lain, atau agar kita tidak terlihat bodoh.

Eksperimen yang ditampilkan dalam video tersebut memberikan kita pemahaman yang cukup baik tentang kebiasaan ikut-ikutan. Misalnya dengan membuat suatu simulasi uji coba, di mana seseorang diminta untuk mencocokan garis dengan tinggi yang sama.

Simulasi tersebut diikuti oleh enam orang. Seorang di antaranya adalah partisipan yang tidak tahu menahu simulasi ini, sisanya adalah aktor yang diminta untuk berbohong. Keenam orang tersebut (termasuk partisipan) diminta untuk mencocokan garis yang sama pada layar.

Tahap pertama sampai ketiga, aktor akan diminta untuk mengatakan yang sebenarnya. Partisipan tahu mana garis yang tingginya sama dan ia memang benar-benar tahu. Namun, pada tahap selanjutnya (dengan simulasi yang sama) para aktor akan berbohong.

Mendengar suatu keganjalan, partisipan mulai berpikir ada sesuatu yang salah. Dia tahu mana garis yang tingginya sama, tapi seketika dia mulai ragu dengan pikirannya. Pada tahap ke empat partisipan masih memilih yang benar.

Akan tetapi, pada tahap ke lima, ia sudah mulai mengikuti pilihan garis yang salah. Jika kita menghadapi kondisi seperti itu, kita mungkin akan bertindak dengan cara yang sama seperti partisipan dalam video tersebut.

Eksperimen ini menunjukkan bahwa, dalam bertindak, kita akan mendapatkan tekanan tak langsung dari orang lain. Jika orang di sekitar kita percaya kepada sesuatu, yang awalnya menurut kita salah, kita akan menekan diri kita untuk ikut percaya dengan apa yang dipercayai mereka.

Dengan begitu, kita akan merasa diterima secara sosial. Meskipun, pada awalnya, kita tahu bahwa orang lain mempercayai hal yang salah. Fenomena ini, karena begitu umumnya, menjadi sangat populer. Para ilmuwan psikologi melakukan upaya-upaya untuk menemukan sumber dari kecenderung ini.

Kecenderungan ini meskipun normal terjadi pada setiap individu, namun tampaknya punya dampak buruk. Seperti pada kasus merokok. Sebelum ditemukan bahwa rokok dapat mengganggu kesehatan tubuh, kebiasaan ini menjadi begitu populer dan dilakukan oleh banyak orang.

Budaya merokok dihubungkan dengan sifat-sifat seperti maco, berwibawa, dan sebagai tanda bahwa seseorang itu kaya. Jika tidak ada yang berani untuk meneliti dampak rokok bagi kesehatan, angka pengidap kanker akibat rokok akan melonjat dari sebab-sebab yang lain.

Kasus konformitas lain juga terjadi ketika kita membeli produk layanan internet berdasarkan popularitas mereknya. Kita tahu bahwa suatu merek produk dapat menjadi populer ketika banyak orang meliriknya dan antusias untuk membelinya.

Pengaruh para konsumen ini punya signifikansi yang besar terhadap keputusan kita membeli atau tidak. Jika banyak orang melirik, tentu kita akan penasaran kok bisa banyak orang seperti itu. Tapi, kadang kita tidak berpikir lebih jauh untuk mendapatkan informasi yang lebih nyata.

Kita cenderung berpikir, "karena orang banyak menggunakannya, maka pasti lah barang atau jasa itu bernilai bagi saya". Namun, kenyataannya tidak selalu seperti itu. 

Saya sendiri pernah mengalami kerugian ketika membeli kartu sim yang banyak digunakan orang karena mereknya sudah sangat populer. Lagi-lagi, saya menemukan masalah  sinyal yang lemah di dalam ruangan, aplikasi androidnya yang sering crash, dan pembagian paket malam dan siang yang tidak seimbang.

Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa popularitas suatu produk tidak selamanya menjamin untung bagi saya. Saya mencoba untuk membandingkan setiap kartu sim dan akhirnya ketemu yang pas.

Sekarang saya menggunakan Smartfren, yang benar-benar memenuhi kebutuhan saya (sinyal yang kuat dan pembagian kuota internet yang proporsional). Ditambah lagi, aplikasi pengumpulan koin yang memberi kita kesempatan untuk mendapatkan hadiah-hadiah menarik lainnya.

Dua kasus di atas dapat menjadi contoh bahwa konformitas---meskipun normal secara psikologis, namun pada kondisi-kondisi tertentu---tidak selamanya membantu kita untuk memilih pilihan-pilihan yang tepat dan rasional. Jika kita tahu bahwa orang lain percaya pada sesuatu yang salah, maka kita tidak perlu merasa tertekan untuk mengikutinya.

Dan, kita harus berani bersuara jika orang lain melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan kita. Kita harus pintar dalam memilih dan melihat kecenderungan yang mengakar dalam masyarakat. Dengan begitu kita bisa menjadi individu yang rasional dan berpegang teguh pada kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun