Nah, akhir-akhir ini pemerintah kayaknya lagi sibuk banget ngerjain PR, ya. Terutama yang masih nyambung sama bidang saya, yaitu masalah pajak. Eh, tapi jangan salah, ini bukan PR kayak waktu sekolah dulu yang bisa dikerjain sambil nonton drakor, lho. Ini PR yang bikin kepala pusing tujuh keliling.
Pemerintah lagi getol-getolnya berusaha ningkatin kepatuhan bayar pajak. Salah satunya lewat Coretax, yang katanya bakal bikin urusan pajak jadi lebih gampang. Tapi, ya gitu deh, namanya juga sistem baru, pasti ada aja yang ribet. Belum lagi kabar burungnya, katanya mau ada tax amnesty lagi. Kayaknya pemerintah lagi main reset biar semua orang bisa mulai dari nol lagi. Tapi, ya gitu, tetep aja lembaga-lembaga asing masih ngeliat pembayaran pajak di Indonesia itu rendah. Bahkan sampe disamain sama Nigeria. Waduh, ini sih bikin para petinggi kita langsung panas telinganya. Ada salah satu pejabat yang sampe bilang dia tersinggung dan berjanji bakal perbaikin ekosistem pelayanan dan kepatuhan pajak.
Nah, di sini nih menurut saya masalahnya. Masalah kita bukan cuma soal ekosistem pelayanan atau kepatuhan pajak doang. Tapi lebih ke akar masalahnya: kenapa sih kepatuhan pajak kita rendah? Menurut saya, ini ada kaitannya sama kondisi kita yang mungkin mirip-mirip sama Nigeria, terutama soal shadow economy. Ya, istilah kerennya sih ekonomi bayangan, tapi intinya sih kegiatan ekonomi yang gak kelihatan, alias gelap.
Apa Itu Shadow Economy?
Shadow economy, atau ekonomi bayangan, adalah kegiatan ekonomi yang tidak tercatat secara resmi dan tidak dilaporkan kepada otoritas pajak. Kegiatan ini bisa bersifat legal maupun ilegal, seperti penghindaran pajak, pekerjaan informal, atau bahkan aktivitas kriminal seperti penyelundupan dan perdagangan narkoba. Intinya, shadow economy adalah "dunia gelap" yang beroperasi di luar sistem formal, sehingga sulit diawasi dan dikenai pajak oleh pemerintah.
Dampak Shadow Economy
Shadow economy punya dampak besar pada perekonomian suatu negara. Pertama, ia mengurangi penerimaan pajak, yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Kedua, ia menciptakan ketidakadilan karena pelaku shadow economy tidak membayar pajak, sementara pelaku ekonomi formal harus menanggung beban lebih besar. Ketiga, shadow economy sering dikaitkan dengan korupsi dan penegakan hukum yang lemah, yang semakin memperburuk kondisi ekonomi suatu negara.
Contoh Shadow Economy di Indonesia
Di Indonesia, shadow economy diperkirakan mencapai 8,3% hingga 10% dari PDB, atau sekitar Rp417,5 triliun pada 2021. Contohnya termasuk:
Pungli di Berbagai Sektor Industri: Pungutan liar (pungli) terjadi di hampir semua sektor, mulai dari proyek konstruksi, perdagangan, hingga industri kecil. Misalnya, di sektor transportasi, sopir truk sering harus membayar "uang keamanan" ke preman atau oknum tertentu saat mengirim barang. Di pasar tradisional, pedagang juga kerap dipungli oleh oknum yang mengatasnamakan keamanan atau kebersihan.
Penyelundupan Barang: Barang seperti rokok, elektronik, atau bahan bakar sering diselundupkan untuk menghindari pajak.
Bisnis Informal: Pedagang kaki lima atau pekerja freelance yang tidak melaporkan pendapatan mereka ke otoritas pajak.
Jujur aja, saya rada sakit hati ngeliat komentar salah satu petinggi yang kayaknya hidup di dunia lain. Mereka kayaknya gak sadar kalau cost of doing business di negara kita itu tinggi banget dan gak terprediksi. Dunia usaha selalu disalahin kayaknya jadi pengemplang pajak, padahal pemerintah gak ngeliat betapa beratnya usaha jaman sekarang. Kelas menengah juga semakin menurun, lho.
Fakta menarik nih, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia turun drastis dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Itu artinya, hampir 10 juta orang "turun kasta" dari kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Penurunan ini nggak cuma bikin sedih, tapi juga berdampak serius pada daya beli. Survei Inventure bahkan menunjukkan bahwa 49% kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan daya beli, dengan 85% di antaranya menyalahkan kenaikan harga barang pokok seperti makanan, energi, dan transportasi.