Mohon tunggu...
Firman Hidayat
Firman Hidayat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ijazah Palsu, Ceruk Bisnis dan Sanksi Sosial

24 Mei 2015   22:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:39 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ditengah maraknya berita mengenai segala jenis pemalsuan yang diangkat media di seantero negeri, mulai dari beras palsu, "suami" palsu, dan lain sebagainya, dalam beberapa hari belakangan ini masyarakat kembali dikejutkan dengan isu memprihatinkan yang datang dari dunia pendidikan yakni mengenai ijazah "palsu". Tak tanggung-tanggung ijazah (terindikasi) palsu yang dibongkar oleh Menristek Dikti M. Nasir berasal dari perguruan tinggi yang "mangkal" di pusat kota Jakarta dan Bekasi  yang notabene seharusnya segala bentuk pengawasan ada di sana, mulai dari pengawasan oleh instansi pemerintah terkait (ristekdikti, itjen), maupun aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan). Tentu muncul dugaan, dipusat yang pengawasan ketat saja berani, apalagi di pelosok negeri yang jauh dari sumbu kekuasaan.

Perguruan negeri yang sejauh ini terindikasi pun menarik untuk dikaji, karena salah satunya memiliki nama seperti perguruan tinggi kesohor di Amerika dengan alumni yang "diakui" oleh rektor nya ada dari kalangan  petinggi politik dan militer negeri. Jika jual beli ijazah ilegal ini benar-benar sedemikian luas cakupan dan penggunanya, sungguh mengerikan.

Isu mengenai ijazah palsu sebenarnya bukanlah barang baru, isu ini sudah ada sejak lama. Ibarat "kentut", isu ijazah palsu sering tercium, namun sulit  dibuktikan atau mungkin kurang ada keseriusan untuk menuntaskannya. Ibaratnya hukum ekonomi, hadirnya pasokan ijazah palsu tak dapat dilepaskan dari banyaknya permintaan akan titel-titel bergengsi dari berbagai kalangan di masyarakat. Ada yang menggunakannya untuk modal syarat menikah, modal nyalon pemilihan, ajang adu gengsi, persyaratan awal masuk kerja, promosi jabatan ataupun sebatas hiasan nama yang terlanjur singkat (satu suku kata) yang diberikan orang tua. Intinya pasarnya ada.  Oknum-oknum "pemalas" pendidikan yang mencari jalan pintas untuk mendapatkan ijazah palsu jumlahnya jika tidak bisa dikatakan meningkat, akan selalu besar setiap tahunnya. Ceruk bisnis inilah yang disasar para penjaja ijazah ilegal dengan beribu strategi marketing yang digunakannya.

Solusi nyata tentu ditunggu, bagaimana pemerintah dengan dikti sebagai ujung tombak kali ini mampu memberantas dengan tuntas permasalahan ini, tenru saja dengan dibantu intansi pemerintah lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan. Sebagai pemerhati pendidikan yang peduli akan dunia pendidikan di Indonesia, beberapa uneg uneg penulis yang mungkin dapat digunakan oleh pemegang kebijakan dalam menghadapi masalah ini antara lain:

1. Bangun kesadaran  mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi dan pada masyarakat bahwa tidak ada yang namanya jalan pintas dalam belajar, hargai proses yang berlangsung. (buku, kurikulum, iklan, film, pemuka agama)

2. Banyak ahli yang memiliki ilmu dan skill secara otodidak, tanpa melalui pendidikan formal. Mereka layak untuk memperoleh pengakuan. Hal ini sebenarnya telah diatur melalui Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), namun sejauh ini belum terlihat pelaksanaanya. Percepat, agar mereka tidak terbujuk ijazah ilegal.

3. Pengawasan ijazah yang beredar di dunia Industri, kerjasama antara Dunia Industri, kemenaker, kepolisian dan kemristekdikti. Lakukan sidak berkala. Ajak dunia industri untuk melaporkan indikasi ijazah palsu dilingkungannya.

4. Berikan sanksi sosial, permalukan. Pajang nama lembaga dan orang-orang yang secara sengaja menjual dan membeli ijazah ilegal. Libatkan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial.

5.Bentuk satuan khusus yang menangani dan mengawasi permasalahan ini dengan SOP yang jelas dan permudah masyarakat untuk terlibat dalam pengaduan.

Masih banyak lagi upaya yang dapat dilakukan demi tuntasnya kasus ini. Semua kemungkinan perlu diperhitungkan. Kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun