Mohon tunggu...
Firman Juniarda Saputra
Firman Juniarda Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UNAIR

Introvert Bahasa Inggris Sains

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Geliat Meramaikan Daerah Lewat Kerja Kebudayaan

18 Juni 2024   13:50 Diperbarui: 18 Juni 2024   14:05 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Negara Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara adidaya dalam sisi budaya dan menjadi kekuatan budaya dunia karena negara Indonesia memiliki banyak sekali terobosan yang bisa dilakukan untuk menunjang internasionalisasi budaya, artikel ini membahas sejarah dan progres dari seniman Indonesia yang sudah berkiprah di dunia seni. Tidak lama setelah reformasi selesai, didirikan sebuah galeri seni, yaitu Galeri Barak, yang bertempat di sebuah lahan milik Angkatan Darat, di Galeri Barak, lahir bermacam-macam kegiatan, seperti pameran seni rupa, diskusi budaya, dan panggung pertunjukan. Pada tahun 2000, Arief Yudi Rahman, selaku pengelola Galeri Barak menginisiasi kegiatan Bandung Performance Art Festival (BaPAF) yang juga merupakan kegiatan yang paling diingat oleh orang-orang.

Ketika Galeri Barak ditutup, Arief Yudi Rahman kembali ke kampung halamannya di Jatiwangi, Majalengka, yang mana daerah tersebut merupakan daerah yang jauh dari pusat kesenian, membuat Arief semakin terdorong untuk mengeksplorasi dan bereksperimen dengan fungsi seni pada kehidupan sosial di kampung halamannya. Pada tanggal 27 September 2005, Arief mendirikan Jatiwangi art Factory (JaF), JaF merupakan kolektif seni yang memfokuskan untuk mengkaji kehidupan warga lokal dan mengungkapkan hasilnya lewat berbagai aktivitas seni budaya, hingga JaF menjalin kerjasama dengan Pemerintah Desa Jatisura tahun 2008.

            Arief juga mengarahkan seni ke arah yang baru di kampung halamannya, dengan memanfaatkan pegiat komunitas seni dan masyarakat setempat untuk mengintegrasikan praktek seni dan kehidupan sehari-hari. Contohnya saja, kuli yang melakukan kegiatan fisik dikemas menjadi lomba binaraga angkat genteng, guna menghibur para warga, lalu ada ibu-ibu yang memiliki pengalaman buruk dengan lintah darah, membuat grup musik bernama "Mother Bank" mereka menggunakan alat musik berbasis tanah liat.

            Praktik yang sama juga dilakukan di Tulang Bawang Barat (Tubaba), hanya saja kondisinya berbeda, dibandingkan dengan Jatiwangi yang memiliki komoditas tanah merah, Tubaba tidak memiliki apa-apa. Gerakan seni budaya Tubaba bisa muncul karena hal tersebut, Umar yang merupakan mantan Bupati Tubaba, menceritakan kontribusinya untuk Tubaba, seperti dibangunnya Islamic Center dan Balai Adat Tiyuh Panaragan yang disebut sebagai komplek dunia-akhirat karena keduanya merupakan simbol dari ungkapan hidup dikandung adat, dan mati dikandung amal dan iman. Islamic Center yang dibangun oleh Umar selaku mantan Bupati Tubaba, merujuk pada Masjid Baitus Shobur atau Masjid 99 Cahaya Asmaul Husna karya Andra Matin, masjid ini memiliki keunikan tersendiri karena bentuknya jauh dari citra masjid pada umumnya, seperti kubah yang merupakan ciri masjid yang biasa kita lihat, pada masjid ini tidak ditemukan adanya kubah, Baitus Shobur lebih menyerupai sebuah monumen dengan bangunan segi lima, segi lima ini menyimbolkan Rukun Islam.

            Pada tahun 2016, Umar mengundang 9 sastrawan Indonesia ke daerahnya untuk mengumpulkan dan menulis ulang cerita dari pada sepuh di sana, yang kemudian dijadikan sebuah buku berjudul "Tubaba: Kerja Sastra dari Tulang Bawang Barat". Karena Tubaba tidak memiliki perbukitan dan pariwisata, maka buku Kerja Sastra Tubaba adalah yang mereka tampilkan ke publik karena Tubaba sendiri bukanlah daerah tujuan wisata, mengingat Tubaba tidak memiliki gunung, laut yang indah, dan hasil bumi yang bisa menjadi komoditas.

             Umar tidak putus asa, tidak punya apa-apa bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa, maka dari itu Umar menciptakan tatanan kehidupan yang baru di Tubaba melalui nilai-nilai seni yang terekam dalam tradisi lisan. Usaha Umar untuk membangun masa depan Tubaba juga diwujudkannya melalui Sekolah Seni Tubaba, merupakan lembaga informal penyedia kelas dalam bidang seni. Niat dari Umar dalam membangun Sekolah Seni bukan untuk mencetak seniman, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran sebagai seorang manusia yang tinggal di Tubaba yang memiliki nilai kegigihan, pantang menyerah, tulus, setara, sederhana, dan lestari. Tidak berhenti di membangun Sekolah Seni Tubaba saja, Umar juga memperkenalkan Tubaba kepada khalayak dengan menginisiasi Tubaba Art Festival lewat Sekolah Seni Tubaba yang digelar satu tahun sekali sejak 2016, musisi seperti Bimbo, Jason Ranti, dan Sandrayati Fay, lalu sutradara seperti Riri Riza pernah menjadi bagian dari kemeriahan Tubaba Art Festival.


            Walaupun Umar Ahmad tidak lagi menjabat sebagai bupati Tubaba, warisannya, khususnya di bidang seni budaya masih bisa dirasakan oleh masyarakat di Tubaba, seperti Sekolah Seni Tubaba dan program-program lainnya, sekalipun tidak lagi mendapat dukungan penuh dari Pemda. Sejak awal berdirinya Sekolah Seni Tubaba memang direncanakan agar bisa bertahan tanpa harus bergantung pada anggaran Pemda, Sekolah Seni Tubaba mendapatkan banyak dukungan dari pihak eksternal, seperti Dana Indonesiana dan pemerintah pusat.

            Geliat seni budaya seperti ini bukanlah hal yang baru bagi warga biasa karena orang Indonesia dekat dengan peristiwa budaya, sedekah bumi, sedekah laut, bersih desa, helaran, dan semacamnya, merupakan kegiatan festival yang dilaksanakan bersama. Hal seperti perayaan 17 Agustus dan momen saat ibadah puasa, dijadikan dalam bentuk festival oleh orang Indonesia, menjadikan hal ini bagian dari aktivitas seni budaya.

            Pemerintah juga memiliki Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan, menyebutkan bahwa tugas pemerintah adalah mengatur tata kelola, bukan menentukan selera estetika, di UU Pemajuan Kebudayaan kita bisa memahami bahwa seni tidak selalu bersinggungan soal estetika saja, tetapi ada cara mengelola agar seni tersebut bisa terlaksana dan terlestarikan dengan baik. Ini merupakan kebijaksanaan yang progresif, salah satu amant UU Pemajuan Kebudayaan adalah Dana Abadi Kebudayaan, yang diturunkan lewat Dana Indonesiana, Dana Indonesiana sendiri bisa digunakan untung menunjang kesuksesan sebuah festival seni karena dapat meningkatkan kapasitas serta volume dari sebuah festival seni.

            Pemerintah memang sudah memberikan dana abadi untuk sektor kebudayaan, tetapi nilai anggaran tersebut masih dinilai kecil dibandingkan dengan nilai anggaran sektor lain seperti infrastruktur, sebagai perbandingan, alokasi Dana Kebudayaan tahun 2024 sebesar Rp7 triliun, sedangkan dana infrastruktur yang sudah terserap pada bulan Maret 2024 baru mencapai Rp44,7 triliun. Jika anggaran di bidang lain diberikan kepada sektor kebudayaan, Indonesia dapat menjadi negara adidaya dalam hal budaya, mengingat Indonesia memiliki beragam budaya hanya saja terkadang kurang didukung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun