Mohon tunggu...
Firman Hakim
Firman Hakim Mohon Tunggu... -

karena setiap manusia punya hak untuk hidup bahagia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Novel yang Menampar Tan Malaka

15 Maret 2016   12:01 Diperbarui: 15 Maret 2016   12:11 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="novel Tan Malaka, Foto Dokumen Pribadi"][/caption]Minggu lalu saya membeli TAN: Sebuh Novel di sebuah toko buku bilangan Depok. Saya membeli  karena tertarik atas reviuw-nya di goodreads. Apalagi ada reviuwer  yang sampai-sampai, kendati mengakhirinya dengan tanda Tanya (?) sebagai bentuk keraguan mungkin, menyetarakannya dengan Novel Bumi Manusia, salah satu dari tetralogi Pulau Buruh-nya Pramoedya Ananta Toer.

Reviuw ini diperkuat dengan fakta novel ini adalah salah satu pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010; bermasa Lampuki Arafat Nur, Jatisaba Ramayda Akmal dan Persiden-nya Wisran Hadi. Cukup sudah alasan untuk membeli novel dengan cover yang “benar-benar” ingin menjual sosok Tan Malaka ini.

Pelan-pelan saya membaca. Sebagai penikmat fiksi sejarah saya  cukup terhibur. Kalimat demi kalimat tertata rapi. Pantun demi pantun menyerak untuk menghidupkan suasana rapat adat khas Minangkabau. Kosa kata klasik yang sudah jarang dipakai muncul berkali-kali. Penggambaran latar  lumayan keren, karena si penulis turut membubuhkan catatan kaki –jadi apa gedung dan nama jalan itu sekarang. Kosa kata dan catatan kaki ini mengingatkan saya akan Mata Hari-nya Remy Silado.

Namun catatan kaki ini tidak terhenti sampai di sana, jumlahnya sampai 132, yang juga meliputi profil tokoh dan organisasi –dari gubernur jenderal Hindia Beloanda, tokoh politik etis sampai keterangan perihal kebijakan-kebijakan diskiriminasi khas kolonial. Betul, pembaca bisa belajar sejarah di sana, tetapi karena jumlahnya kebanyakan lambat laun jadi benalu.  Saya jadi tidak fokus membaca. Seolah-olah saya sedang membaca novel dan wikipedia sekaligus.

Namun, fakta-fakta sejarah itu cuma  berlaku di ranah ekternal. Sebaliknya, fakta-fakta terkait Tan Malaka banyak kedodoran. Ambil contoh, tempat lahir Tan Malaka, Nagari Pandam Gadang. Di dalam novel malah jadi nama lembah, sedang nagarinya jadi Lumuik Suliki (ini nama jenis batu akik jika saya tak salah?). Perkebunan Sanembah My di Dili jadi Goed Bericht. Bahkan Tan Malaka yang secara faktual tertangkap di Bandung dalam sebuah aksi heroik mengajar anak-anak sekolah rakyat, malah dikisahkan ditangkap ketika hendak menemui kekasih gelapnya. Ya, ampun! Masak si penulis bias luput detail-detail dasar seperti ini?

Betul, kisah Tan Malaka terkait masalah perempuan masih misteri. Tan mengaku pernah jatuh cinta 3 kali, di Indonesia, Belanda dan Filipina, yang cuma cinta kosong karena terlalu sibuk pada perjuangan. Jadi membaca Tan Malaka terlibat cinta segitiga, terlunta-lunta oleh patahnya asmara, sampai emosional bodoh di dalam penjara – rasanya kok  bukan karakter Tan Malaka yang saya kenal dari buku ‘Dari Penjara ke Penjara’. 

Parahnya, amarah revolusioner yang saya harapkan akan muncul, justru berganti menjadi desir iba bagi seorang pecinta – tak beda jauh seperti mendengar cerita adik saya yang baru diputuskan oleh pacarnya karena tergoda lelaki lain. Apalagi kisah cinta ini lamban laun jadi dominan. Seolah bukan pelengkap dari perjuangan revolusioner, sebaliknya malah inti dari kisah. Revolusioner Tan Malaka cuma ditampilkan dalam Kisah 3 : Lelaki yang Berlari Cepat, bagian yang paling tipis dari novel ini.

Tapi yang menampar Tan Malaka, bukan cuma kisah cinta TAN. Tetapi juga karakternya yang peragu, penakut dan minder – bahkan melawan seorang petugas administrasi Rijkweekschool pun dirinya tak berdaya. Sebaliknya jika urusan cinta, kok sepertinya semangat sekali.

Apakah sosok seperti ini benar-benar mampu menulis Masa Aksi, Semangat Muda dan Madilog? Apakah sosok Tan Malaka di dalam TAN akan bias membuat Soekarno menaruh hormat? Saya pikir tidak! Alih-alih memperkuat, TAN menurut saya justru menampar Tan Malaka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun