[caption id="attachment_49944" align="alignleft" width="300" caption="Sumber:www.inilah.com"][/caption] Sudah terlalu sering rasanya kita mendengar, menyaksikan, dan membaca ulasan ekonomi-politik yang dikemukakan oleh mereka yang mengatakan dirinya ahli, pakar, politikus, dan pengamat. Seringkali kita dibuat bingung karena pendapat mereka saling bertolak belakang dan sebagian dari mereka hanya asal ngomong tanpa disertai bukti yang kuat.
Sikap mereka terkadang tidak konsisten dan cenderung tendensius. Kemarin bilang merah, sekarang bilang biru. Tingkah laku mereka bak seorang komentator sepak bola. Mereka berkomentar seolah-olah mereka lebih jago bermain bola dari para pemain yang ada di lapangan.
Bosan dengan pendapat orang-orang tersebut, aku tergerak untuk mengetahui pandangan wong cilik tentang isu ekonomi-politik yang terjadi di tanah air. Kebetulan, sudah seminggu ini aku berlibur di Kota Tegal, sebuah kota kecil yang terletak di dekat perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di sela-sela liburan itu, aku berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai berprofesi, mulai dari pengusaha chrome hingga tukang pijat refleksi kaki.
Gayung pun bersambut. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya-jawab dengan mereka tentang kasus Bank Century dan free trade area yang akan dihadapi Indonesia. Dialog ini menggunakan bahasa lokal, dan berikut cuplikan dialog yang telah dialih bahasakan:
Dialog dengan pengusaha crhome (PC):
Aku: Gimana pesanan chrome akhir-akhir ini pak?
PC: Alhamdulillah mas, walaupun tidak sebanyak dulu, tapi orderan masih lumayan.
Aku: Tahu ga pak kalo Indonesia akan menghadapi free trade?
PC: Tahu mas.
Aku: Trus, kira-kira usaha Bapak nanti gimana?
PC: Sudah pasti makin banyak pesaing karena makin banyak barang murah masuk ke Indonesia.