[caption id="attachment_175887" align="alignleft" width="195" caption="www.nevisblog.com"][/caption] Tingkat utang publik di beberapa negara maju meningkat tajam sejak dimulainya krisis keuangan global. Permasalahan ini menjadi semakin kompleks karena beberapa negara maju menghadapi risiko peningkatan biaya terkait dengan ageing population (jumlah penduduk usia lanjut lebih besar dibandingkan usia produktif).
Krisis keuangan global yang terjadi sejak pertengahan 2008 mendorong peningkatan utang publik yang signifikan. Pada 2011, rasio debt to GDP di beberapa negara maju diperkirakan melebihi 100%, dan kondisi ini diperparah dengan adanya risiko kenaikan pengeluaran pemerintah terkait dengan ageing population.
Dengan kondisi tingkat suku bunga yang saat ini cukup rendah, dan outlook pertumbuhan negara maju yang moderat, investor diduga akan meminta kompensasi yang lebih besar atas penerbitan utang yang akan dilakukan oleh negara maju. Tantangan yang tampak dipelupuk mata adalah kenaikan tingkat utang dapat berimplikasi pada kenaikan suku bunga, yang pada akhirnya menyebabkan tingkat utang menjadi semakin besar. Problem ini harus segera dipecahkan karena berpotensi mendorong peningkatan yields obligasi pemerintah jangka menengah dan panjang. Kunci utama permasalahan ini adalah bagaimana pemerintah dapat melakukan konsolidasi fiskal tanpa harus mengorbankan proses pemulihan ekonomi yang saat ini sedang berlangsung. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengurangi pengeluaran yang terkait dengan retirement age. Peningkatan utang publik tergantung dari beberapa faktor antara lain: biaya pemulihan krisis keuangan, tingkat pertumbuhan, tingkat suku bunga, dan kebijakan fiskal pemerintah (spending and tax policies). Utang publik di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Spanyol, dan Irlandia, mengalami kenaikan yang drastis dalam tiga tahun terakhir. Yang cukup mengejutkan adalah biaya untuk mengatasi krisis (13% dari total GDP) relatif kecil apabila dibandingkan dengan kerugian penerimaan pajak dan biaya untuk penyediaan stimulus ekonomi (20%-30% dari total GDP). Lebih jauh, kondisi fiskal defisit merupakan suatu hal yang struktural, dan tanpa adanya tindakan yang cepat, fiskal defisit akan terus terjadi selama periode pemulihan ekonomi berlangsung. Hasil studi menunjukkan bahwa negara maju harus dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga mencapai level 4,5% untuk dapat menutupi fiskal defisit. Khusus untuk AS dan Jepang, masing-masing harus mencapai pertumbuhan sebesar 6,9% dan 6,2%. Perbedaan antara real interest rate dan real output growth merupakan parameter utama yang mempengaruhi perkembangan utang publik. Tingkat suku bunga riil yang lebih besar dari tingkat pertumbuhan riil dapat menyebabkan kenaikan rasio utang yang tidak terkendali. Kenaikan utang publik yang tidak terkontrol dapat berimplikasi pada dua hal. Pertama, investor akan meminta risk premium yang lebih tinggi atas utang yang diterbitkan oleh highly debted country. Kedua, upaya pemerintah untuk membayar utang yang dilakukan dengan menaikkan pajak berpotensi menghambat tingkat pertumbuhan jangka panjang. Tantangan yang dihadapi bank sentral Peningkatan utang publik yang tidak terkendali setidaknya memberikan dua implikasi kepada bank sentral. Pertama, dapat mendorong kenaikan ekspektasi inflasi jangka panjang, dan kedua, menyulitkan bank sentral dalam menentukan kebijakan moneter yang tepat. Keputusan pemerintah untuk menerbitkan utang publik dalam jumlah besar dapat mempengaruhi inflasi melalui mekanisme monetisasi, dan mekanisme penetapan kebijakan moneter yang bertujuan untuk meng-inflasi-kan nilai riil utang. Ketika investor tidak lagi berkeinginan untuk membeli obligasi suatu negara (karena adanya kekhawatiran default), pemerintah negara tersebut bisa saja membiayai utang publik dengan melakukan monetisasi (bank sentral membeli obligasi negara). Hal ini dapat menyebabkan kebijakan moneter menjadi tidak efektif dalam mengendalikan inflasi karena adanya konflik kepentingan antara kebijakan fiskal dan moneter. Dalam upaya untuk mengurangi rasio debt to GDP, pemerintah (dan bank sentral) bisa saja tergoda untuk menerapkan kebijakan “temporarily high inflation rise.” Namun demikian, kebijakan ini dinilai riskan karena biayanya terlalu besar. Hikmah yang dapat dipetik Meskipun rasio debt to GDP Indonesia relatif masih rendah dan Indonesia belum menghadapi permasalahan ageing population, kita harus tetap hati-hati dan waspada sebelum permasalahan ini menjadi besar dan rumit untuk dipecahkan. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan lebih meningkatkan efisiensi penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Lebih jauh, upaya peningkatan penerimaan pajak seyogyanya dilakukan dengan tidak menganggu proses pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah harus lebih diarahkan untuk mendorong investasi dan ekspor sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan menyerap tenaga kerja. Keberhasilan upaya tersebut memerlukan harmonisasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Tanpa adanya harmonisasi, efektivitas masing-masing kebijakan akan berkurang. Selain itu, keputusan untuk melakukan konsolidasi fiskal harus dilakukan pada saat yang tepat sehingga tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H