Wahyu NH Al_Aly bagi sebagian kita tentunya sudah tidak asing lagi. Pemikiran-pemikirannya yang lugas dan kritis kini lebih sering ditemui dari pada tulisan-tulisan sastranya. Ini juga bisa dirasakan di Kompasiana, karena kebetulan ia juga aktif menulis di Kompasiana. Namun seberapa jauh kita mengenal sosok budayawan ini? Di sini saya ingin berbagi saat pertemuan saya dengan Mas Wahyu NH Al_Aly di halte UI Depok.
Selama ini saya mengenal Mas Wahyu memang lebih banyak dari tulisan-tulisannya, meskipun pernah sekali mengikuti kegiatan Lawang Ngajeng yang diadakan olehnya di bulan Oktober 2010 di Café Laras. Akan tetapi saat itu saya melihatnya di malam hari dengan jarak yang sedikit jauh, sehingga selain kurang bisa melihat lebih dekat sosok Mas Wahyu juga tidak dapat berbincang-bincang. Dengan pertemuan yang tidak sengaja di Depok kemarin, banyak sekali hal-hal yang membuat saya terkagum. Menurut saya, terasa beda sekali saat menilai Mas Wahyu yang sedang berbicara melalui speaker ataupun melalui tulisan-tulisannya, dengan mendengarkan suaranya secara langsung. Dari dekat suaranya Mas Wahyu cukup lembut. Selain itu, saya melihat wajahnya juga jauh dari kesan garang. Mungkin kalau tidak berlebihan, saya menilainya wajahnya itu cukup berwibawa, entah karena janggut dan rambutnya yang tumbuh di sekitar pipinya atau apa itu namanya. Wajahnya juga terlihat bersih dan tenang. Mungkin ini sedikit gambaran fisiknya yang saya rasakan.
Saya bertemu dengan Mas Wahyu, saat itu ia berada tidak jauh dari halte UI dan saya naik sepeda motor bersama teman saya, Irul, akan ke tempat kos teman saya Bang Toni. Sejujurnya ketika awal melihat terbesit keraguan, namun teman, saya, Irul mendorong untuk mendekatinya. Ternyata benar Mas Wahyu. Setelah berbincang-bincang, kami kemudian mengajaknya ke tempat kami di Lapmi, Menteng, dan memintanya menginap tiga hari.
Selama tiga hari kami berbincang-bincang dengan hangatnya. Banyak hal-hal baru yang bisa kami dapatkan, khususnya dunia sastra dan pemikiran pluralismenya, meskipun kami juga banyak ngobrol tentang politik. Keheranan saya dengan mengetahui pemikiran pluralismenya, rupanya Mas Wahyu ini tidak bersalaman dengan non muhrim, karena umumnya seorang pluralis akan bersalaman dengan siapapun. Saat saya menanyakan hal ini, Mas Wahyu menjawabnya itu justru yang disebut dengan pluralisme. Menurutnya, memandang orang yang tidak bersalaman dengan non muhrim dan yang bersalaman, keduanya mustinya dihormati dan keduanya harus saling menghormati, karena keduanya membawa prinsip masing-masing. Mas Wahyu juga menambahkan, justru jika menghormati orang yang mempunyai prinsip berbeda dengan cara meninggalkan prinsip pribadinya lalu mengikuti prinsip orang yang dihormati, itu bukan pluralisme melainkan singularisme.
Sisi menarik lainnya yang saya lihat selama bersama Mas Wahyu ini, ia orangnya sederhana, agak pendiam, murah senyum, dan menjaga dirinya dengan wudhu. Karena setiap habis batal wudhu ia langsung berwudhu, sehingga ia ketika saatnya sholat ia langsung mendirikan tanpa bersuci hadas kecil terlebih dahlu. Yang membuat kami senang juga, ia rupanya selalu membawa banyak rokok. Selama kurang lebih 3 hari bersama kami, setiap harinya ia paling tidak mengeluarkan 5 bungkus rokok LA merah dan 2 bungkus Marlboro merah, itu yang kuamati, hehee…. Dan, semoga Mas Wahyu terus mengeluarkan karya-karya terbaiknya melalui buku-bukunya ataupun karya seninya dan kita bisa mengikuti jejaknya.
FF, Menteng 19 April 2011
Foto-foto saat itu (5-8 April 2011) bersama Mas Wahyu....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI