Ia sembahkan senyuman kepada orang-orang yang melihat tariannya, tetapi di matanya, ia menyimpan banyak pertanyaan. Bagaimana kabar keluarga di sana? Terutama tentang ayah yang pertama kali memperkenalkan tarian ular. Tarian yang telah menjadi separuh dari hidupnya kini. Akan tetapi, Fikar tengah dalam perjalanan menghapus kenangan itu sebab dirinya berbeda. Ia bukanlah Fikar yang dulu. Ia benci dirinya yang dulu dan berusaha mencintai dirinya yang sekarang.
Dalam hatinya, tak pernah terbesit keinginan untuk kembali karena tidak ada tempat pulang untuk dua raga serta jiwa yang seperti dirinya.Â
***
Suatu sore yang ramai, Fikar sedang lihai menari di dekat kuil. Tubuhnya yang ramping berputar-putar. Puluhan pasang mata menatap penuh kagum dengan tariannya. Berkeping-keping koin ia dapatkan.Â
"Penari itu sangat cantik," ucap seorang perempuan tua kepada seorang laki-laki berjenggot panjang.
"Dia menari persis seperti anak kita yang lama tak pulang."
"Oh, Fikar. Di mana kamu? Ini semua salahku! Harusnya aku ...."
"Ssst! Tidak ada yang menginginkan perpisahan. Itu semua sudah jadi takdir kita, juga takdir hidupnya."
"Haruskah kita memberi penari ular itu koin?"
"Mmm, ya, ya, boleh. Anggap saja itu sebagai bentuk doa kita, agar Fikar cepat kembali."
"Sudah sepuluh tahun. Aku rindu suara cemprengnya."