Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Panggil Izal Aja, Bang”

23 Mei 2010   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:01 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_148030" align="alignleft" width="224" caption="Si Kasep Izal, calon Koordinator Umum STC. (Dok. Rizal Qudrotulloh) "][/caption] Entah kenapa, saya bisa langsung akrab dengan Kompasianer satu ini sejak pertama kenal dengannya di ruang komentar. Waktu itu dia memakai foto profil pemuda berjalan menunduk di rel kereta yang di kiri kanannya tumbuh pepohonan. Sekarang foto profilnya berganti menjadi bendera merah putih siap dikerek pasukan pengibar. Kala itu saya panggil dia Kang Izal karena dia orang Sunda. Dalam pergaulan sehari-hari, saya memang hampir tak pernah memanggil kenalan baru dengan menyebut namanya. Meskipun orang itu jauh lebih muda dari saya. Bukan supaya disebut masih muda, tetapi karena merasa kurang sopan saja. “Panggil Izal aja Bang Firman. Saya gak enak, Abang jauh lebih senior dari saya,” tulis izal_aja_dulu dalam ruang komentar di tulisan saya. Sejak itu, dia menjadi satu dari empat kompasianers yang saya panggil namanya tanpa embel-embel Om, Mas, Kang, Bang, Mbak, Teh. Tiga Kompasianer lainnya adalah si Arek Suroboyo Fawaizzah Watie, si Gadis Ibukota Rahmi Hafizah, dan si Calon Dokter Gigi Vira Classic. Mereka cukup saya sebut Izzah, Ami, dan Vira. Beberapa hari lalu saya terkejut karena anak muda bernama lengkap Rizal Qudrotulloh Aminuddin ini mencalonkan diri menjadi Koordinator Umum STC. Saya kaget bercampur gembira atas keberanian pemuda bertampang foto model ini mengajukan namanya. Kaget karena setahu saya, dia bukan tergolong “aktivis” isu Seribu Tangan Cinta. Sedangkan gembira karena calon pemimpin organisasi yang kelak berjuang memberdayakan anak-anak jalanan itu menjadi makin banyak alternatif. Izal memastikan, banyak orang akan meragukan kemampuannya. Maklum, dia masih muda. Lahir di Ciamis, 2 November 1986, pemuda ini belum genap 24 tahun. Lagi pula, dia baru saja lulus kuliah. Belum menjadi apa-apa. Tetapi, Izal coba menepis keraguan itu. Bahwa anak muda tak boleh dipandang enteng. Justru STC butuh figur pemimpin muda. Yakni, orang yang punya semangat besar dan ada waktu cukup untuk mengurus organisasi. Pengalamannya berorganisasi selama ini dia percaya menjadi bekal yang cukup untuk memimpin STC. Berorganisasi, bagi pemilik tinggi 168 cm dengan berat 60 kg ini memang bukan barang baru. Dia juga termasuk orang yang total, tidak setengah-setengah dalam berbuat. Itu setidaknya dapat disimak dari moto hidupnya: berjuang sampai benar-benar kalah, bahkan sampai benar-benar menang. [caption id="attachment_148036" align="alignright" width="300" caption="Dengan teman mahasiswinya saat KKN di Purwokerto. (Dok. Rizal Qudrotulloh)"][/caption] Pada tahun 2003, saat masih kelas 1 SMA Negeri 3 Ciamis, Izal terpilih menjadi Komandan Paskibraka Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dia menjadi anggota Paskibraka setelah lolos seleksi yang diikuti sekitar 300 siswa kelas 1 SMA se-Ciamis. Terpilih 30 siswa, Izal yang dipercaya menjadi komandan. Si Kasep Izal, hebat pisan euy! Tidak sembarang siswa layak menjadi anggota pasukan pengibar bendera merah putih untuk upacara peringatan kemerdekaan Indonesia itu. Mereka harus memiliki fisik dan otak di atas rata-rata. Lalu, wajib mengikuti ujian meliputi kemampuan baris berbaris, pengetahuan umum, dan wawasan tentang ke-Indonesiaan. Sekarang Izal menjadi Wakil Ketua Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Kabupaten Ciamis periode 2009-2013. Ini wadah berhimpun untuk silaturahmi dan membangun komunikasi antar-alumni pengibar bendera pusaka. Konon, anggota organisasi ini yang perempuan cantik-cantik sedangkan yang lelakinya tampan dan gagah. Setamat SMA pada tahun 2005, Izal pindah ke Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah untuk meneruskan kuliah. Dia diterima di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman. Di kota yang terkenal dengan Gunung Slamet ini, Izal kos di daerah Grendeng, Purwokerto. Meneruskan hobinya berorganisasi saat masih SMA, selama kuliah Izal aktif dalam dunia kemahasiswaan. Berbagai jabatan di lembaga kemahasiswaan pernah disandangnya. Seperti Kabid Advokasi Departemen Dalam Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman periode 2007-2008. Sulung dari dua bersaudara ini juga bergiat di Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI). Dia pernah dipercaya menjadi Koordinator Daerah Purwokerto Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia Wilayah Jawa Tengah tahun 2005-2007. Hari-harinya selama kuliah di kabupaten yang melahirkan banyak jenderal itu, dia isi dengan belajar dan turut mendinamisasi kegiatan kemahasiswaan. Pada 25 Februari 2010, Izal lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana kesehatan masyarakat. [caption id="attachment_148037" align="alignleft" width="300" caption="Pada Kongres Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) di Bandung. (Dok. Rizal Qudrotulloh)"][/caption] Dia pun pulang ke tanah kelahirannya, Ciamis. Tidak kuliah lagi, Izal mengalihkan kegiatannya ke dunia menulis. Saat masih aktivis mahasiswa, dia mengungkapkan kekecewaannya terhadap realitas sosial dengan berteriak dan menggelar demonstrasi. Sekarang, menulis menjadi sarana bagi dia untuk memberontak terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Izal bergabung di Kompasiana sejak 4 Januari 2010. Dia tergolong produktif karena sudah memosting 78 tulisan dalam lima bulan aktif di blog sosial ini. Tulisannya beragam. Lebih banyak artikel opini, sebagian berupa reportase dan karya fiksi. Putra pasangan Arief Aminuddin-Hayati ini sekarang sedang gelisah. Kedua orangtuanya mendorong dia menjadi PNS, padahal Izal lebih berminat bergerak di tengah masyarakat. Dia pernah mengeluhkan ini kepada saya dalam kotak pesan. Saya pun memberi saran supaya dia terus meyakinkan orangtuanya bahwa menjadi PNS bukanlah segala-galanya. Tetapi harus dengan cara baik. Jangan sampai hanya karena berbeda pendapat kita kemudian kehilangan rasa hormat kepada orang yang telah membesarkan kita. Saya juga tak lupa memberi semangat kepada anak muda yang baru saja “masuk dunia nyata”. Itu istilah yang dibuat oleh Izal untuk menyebut dunia pengangguran. Dari kacamata mantan Mendiknas Fuad Hasan, Izal jelas belum masuk kategori pengangguran. Tokoh pendidikan itu pernah mengatakan, dua tahun pertama sejak lulus kuliah adalah masa persiapan untuk memasuki dunia kerja. Memang, ada orang yang langsung mendapat pekerjaan, bahkan memimpin perusahaan tak lama meraih gelar sarjana. Tetapi manusia beruntung seperti ini jumlahnya tidak banyak. Umumnya, seseorang butuh waktu 2 sampai 5 tahun untuk memperoleh pekerjaan terhitung sejak lulus kuliah. Jadi, Izal masih ada waktu hingga lima tahun kedepan untuk meraih mimpinya mendapatkan ruang pengabdian yang paling dia minati. Terus berjuang Zal dan tetap menjadi idealis! Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun