[caption id="attachment_141271" align="alignleft" width="300" caption="Lahan Rawa Pacing sudah matang, siap ditanami sawit. Foto: Dokumen pribadi"][/caption] Rawa menjadi ciri utama Kabupaten Tulangbawang, Lampung. Lahan basah itu menghampar seluas 86 ribu hektare, mulai Kota Menggala hingga mulut Sungai Tulangbawang. Pada masa lalu, hampir 90 persen kawasan lahan gambut itu penuh hutan gelam, dan sisanya hutan mangrove. Kini, flora dan fauna kawasan rawa-rawa itu merosot. Penurunan kualitas itu pula yang tengah dihadapi Rawa Pacing, di Desa Kibang Pacing, Kecamatan Menggala Timur. Lahan basah seluas 600 hektare itu sedang menuju kehancuran. Sebagian arealnya sudah siap menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejak bulan April, empat eksavator masuk Rawa Pacing dan mulai membuat kanal-kanal pembuangan air. Tujuannya, rawa kering dan lahannya bisa ditanami kelapa sawit. Hingga sekarang, alat-alat berat itu masih di lahan basah yang selama ini menjadi sumber nafkah ratusan kepala keluarga itu. Warga resah atas aktivitas pembuatan tanggul-tanggul dan kanal air tersebut. Sebab, rawa tempat mereka mencari ikan, dipastikan segera berubah menjadi kebun sawit. Sebuah perusahaan swasta sedang mematangkan lahan basah itu. Kanal-kanal dibuat untuk membuang air ke Sungai Tulangbawang yang berjarak sekitar dua kilometer dari rawa. Saat ini, rawa pacing memang kering sebagai dampak kemarau. Sehingga para nelayan sedang tidak bisa mengambil ikan di rawa yang banyak ditumbuhi tanaman gelam itu. Ini siklus alami, bahwa setiap empat tahun sekali, rawa tersebut pasti mengering. Tetapi, begitu masuk musim hujan, kawasan itu kembali berair, lalu berton-ton ikan hadir lagi dan siap menjadi sumber ekonomi warga. Siklus alamiah itu dipastikan terputus setelah hadirnya kanal-kanal buatan dan kebun sawit. Air hujan dan limpasan Sungai Tulangbawang tidak akan tertampung lama di rawa. Sebab, air yang masuk segera mengalir kembali ke badan sungai terbesar di Lampung itu melalui saluran yang dibuat perusahaan. Maka, rawa mengering dan tradisi menangkap ikan di sana kelak tinggal sejarah. [caption id="attachment_141272" align="alignright" width="300" caption="Rombongan jurnalis dan aktivis lingkungan didampingi warga, meninjau Rawa Pacing. Foto: Dokumen pribadi"][/caption] Sabtu 8 Oktober lalu, sejumlah jurnalis dan pegiat lingkungan datang ke kawasan yang belum dialiri listrik PLN itu. Rawa Pacing memang sedang meratap. Sejumlah areal rawa sudah tak lagi ada batang-batang gelam. Ajir-ajir dari bambu sebagai pemasti jarak tanam bibit sawit, sudah menancap di rawa yang telah bersih dengan dibakar. Kepada para jurnalis dan aktivis lingkungan, warga berharap aksi mengubah rawa menjadi kebun sawit itu dihentikan. Mereka memohon fungsi rawa dikembalikan seperti semula, yakni tempat ribuan orang menggantungkan hidup dari menangkap ikan. Selama ini, secara turun temurun, warga Tulangbawang menangguk manfaat ekonomi yang besar atas keberadaan Rawa Pacing. Lahan gambut tersebut menyediakan ikan melimpah, seperti belut, gabus, lele, limbat, dan toman. Pada musim air besar, warga menjala dan memasang bubu. Hasilnya lumayan, dalam sehari, setiap orang bisa membawa pulang setidaknya 50 kilogram ikan siap dijual. Di rawa itu, terdapat bolak-bolak yang dibikin warga saat rawa kering. Bolak adalah lubang yang dibuat selebar 2 meter, dengan dalam sekitar 1 meter dan panjang 50 hingga 100 meter. Warga biasa menyebut bolak dengan istilah lebung. Ketika air rawa menyusut, ikan-ikan berkumpul di lebung-lebung. Pemilik lebung dengan gampang menangkapi ikan-ikan itu. Dalam satu tahun, dari satu bolak bisa ditangkap minimal 900 kilogram ikan. Sementara, seorang warga bisa memiliki hingga 40 bolak dengan memanfaatkan sekitar 20 hektare luas rawa. Ke depan, manfaat ekonomi seperti itu pastilah tinggal cerita manakala perubahan rawa menjadi perkebunan kelapa sawit tidak bisa dihentikan. Itu sebabnya, warga meminta rawa mereka dikembalikan keadaannya seperti semula. Mereka berharap pemerintah turun tangan menyelamatkan lahan gambut yang pada musim kering biasa menjadi tempat melepas ratusan kerbau untuk merumput. [caption id="attachment_141273" align="alignleft" width="300" caption="Salah satu eksavator yang dipakai mematangkan lahan Rawa Pacing untuk perkebunan kelapa sawit. Foto: Dukumen pribadi"][/caption] Burung pun Terancam! Rawa Pacing memang tidak terlalu luas, cuma 600 hektare. Akan tetapi, lahan basah ini punya fungsi ekonomi dan ekologi yang besar. Situs yang bisa ditempuh 4 jam perjalanan dari Bandarlampung ini merupakan tempat penting dalam peta konservasi burung. Pacing merupakan salah satu persinggahan burung migran yang melintasi Indonesia. Sebuah survei tahun 1994 berhasil mengidentifikasi 88 spesies burung dari 33 famili. Dua di antaranya termasuk langka dan hampir punah. Sedangkan 16 spesies lainnya masuk dalam daftar yang dilindungi. Rawa Pacing juga diketahui menaungi koloni burung air terbesar di Indonesia, dan tempat kawin serta bertelur berbagai jenis bangau sumatera. Kawasan lahan gambut dekat Sungai Tulangbawang ini, menjadi tempat berbiak pertama burung Pecuk ular asia. Habitat bernilai konservasi tinggi ini sekarang terusik. Rawa telah dibuat saluran dan tanggul air. Sebagian arealnya sengaja dibakar sebelum menjadi perkebunan. Hutan gelam tempat burung Pecuk ular asia bermain dan bersarang, sudah menipis. Rumput dan pohon-pohon dibakari demi kemudahan menanam bibit kelapa sawit. Habitat burung air dan ikan-ikan itu pun rusak. Ini jelas kerugian ekonomi dan ekologi bagi Indonesia, terutama buat warga perkampungan sekitar Rawa Pacing. Sebelum alat-alat berat masuk Rawa Pacing, orang masih bisa menjumpai ribuan burung seperti Cangak merah, Kuntul besar, Mandar besar, Blekok sawah, Pecuk ular asia, dan pecuk padi hitam. Beberapa jenis elang juga sering ditemukan, antara lain elang tikus, Elang bondol, dan Elang ikan kepala abu. Namun, sekarang burung-burung itu pergi entah kemana menyusul kerusakan habitat. Pembakaran hutan rupanya ampuh untuk mengusir satwa. Sebagian besar kawasan rawa di Tulangbawang, termasuk Rawa Pacing, memang dikuasai masyarakat sebagai tanah marga. Dalam status itu, Rawa Pacing mestinya dikelola bersama demi kesejahteraan warga perkampungan sekitarnya. Tetapi, belakangan lahan basah tersebut diperjual-belikan oknum kepada pengusaha. Perusakan Rawa Pacing dengan mengubah fungsinya menjadi lahan perkebunan itu wajib distop. Kerugian warga Lampung atas hilangnya rawa bernilai konservasi tinggi itu terlalu besar. Jalan masuk penyelamatan kawasan lahan gambut itu, terutama dengan melibatkan pemuka masyarakat dan warga sekitar rawa. [caption id="attachment_141274" align="alignright" width="300" caption="Hutan gelam yang masih tersisa, kian menipis. Foto: Dokumen pribadi"][/caption] Sebagian warga di sana sudah menyadari pelestarian Rawa Pacing. Ini berkat pendampingan LSM sejak tahun 1993. Tetapi, kesadaran sebagian warga saja ternyata tidak cukup. Buktinya, masih ada yang berani menjual lahan demi keuntungan sesaat. Oleh sebab itu, harus ada aksi lebih besar dari aktivis LSM dan masyarakat dalam menyelamatkan aset ekologi dan ekonomi itu. Campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan dalam soal ini. Perlu segera dibuat aturan yang menjamin kawasan itu tidak dimanfaatkan orang dengan merusak. Misalnya, lewat meningkatkan status Rawa Pacing menjadi kawasan suaka alam. Sesungguhnya, menyelamatkan Rawa Pacing belumlah terlambat. Lahan gambut tersebut masih bisa dipulihkan. Tetapi, lagi-lagi, semuanya membutuhkan kerja-kerja serius dari semua pihak, baik masyarakat, LSM, maupun pemerintah. Andai tak bisa meningkatkan statusnya menjadi kawasan konservasi, pemerintah bisa membeli lahan tersebut dari warga yang mengklaim sebagai pemilik rawa pacing. Lalu, mengelola rawa itu demi kepentingan warga. Harganya tergolong tidak mahal. Pengusaha kelapa sawit cuma membayar Rp1,8 juta per hektare. Sejauh ini sudah terjual sekitar 150 hektare. Bila pemerintah hendak mengambilalih keseluruhan rawa seluas 600 hektare itu, hanya dibutuhkan anggaran sekitar satu miliar rupiah. Bagi pemerintah, itu jelas dana yang kecil untuk manfaat ekonomi dan ekologi yang luar biasa besarnya. Rawa Pacing butuh penyelamatan segera, apapun caranya. Kita tidak ingin aset ekonomi dan ekologi itu rusak. Kemudian jasa lingkungannya tidak bisa lagi dinikmati masyarakat karena hanya bermanfaat buat segelintir orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H