Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ibadah Kurban di Tengah Bencana

16 November 2010   04:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:34 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1289881961341822628

[caption id="attachment_75490" align="alignleft" width="197" caption="Harga kambing mahal. Calon pembeli (berjaket merah) sedang merayu pedagang supaya mau menurunkan harga. (Sumber: LTV)"][/caption] TAHUN ini kita kembali merayakan Idul Adha dalam keadaan berduka. Ia berlangsung di tengah sergapan berbagai bencana alam dahsyat. Banyak saudara kita harus bertakbir di tenda-tenda pengungsian. Gunung meletus, tsunami, dan banjir bandang baru saja menghajar permukiman mereka. Kecuali kehilangan tempat tinggal, para korban malapetaka itu juga belum jelas masa depannya. Sebab, bencana tidak cuma menghancurkan infrastruktur tetapi juga memutus sumber-sumber ekonomi. Sungguh, berbagai bencana yang melanda negeri ini merupakan ujian kolektif yang harus dilalui bangsa ini. Korban, baik jiwa maupun harta sudah berjatuhan. Bangsa ini sedang terluka, baik fisik maupun batinnya akibat bencana yang bertubi-tubi itu. Sebuah ujian yang berat. Ia hanya mampu dilalui kalau kita semua mau ikut bertanggung-jawab dan menghadapinya bersama-sama. Oleh sebab itu, Idul Adha tahun ini jelas menjadi momentum paling tepat bagi kita untuk lebih mendalami makna kurban. Berbagai bencana alam yang susul menyusul dan membikin sengsara banyak orang itu, menjadi pelajaran penting yang mahal. Bahwa, solidaritas dan kepekaan sosial kita sebagai anak bangsa tengah diuji. Kita harus mampu menjawab apakah nilai-nilai ketuhanan yang kita yakini telah sungguh-sungguh mampu menjadi perekat tali sosial di antara manusia. Secara jujur dikatakan, kita, dewasa ini hidup dalam relasi sosial yang kian individualistis dan materialistis. Orang-orang sibuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Kalau perlu dengan cara merampas hak orang lain. Kebanyakan kita bergerak atas prinsip akan mendapatkan apa, bukannya mampu berkontribusi apa. Pemerintah sibuk dengan urusan politik dan kekuasaan. Di antara mereka berkelahi untuk saling merobohkan demi mendapat bagian kekuasaan lebih besar. Sementara rakyat dibiarkan berjumpalitan mengurusi kesulitannya sendirian. Para pemimpin selalu lambat dalam menanggulangi berbagai bencana alam  juga dapat dipahami dari sudut pandang itu. Bahwa memang tidak ada yang merasa sungguh-sungguh bertanggung-jawab dalam menyelamatkan warga. Kelihatan sekali bangsa kita sedang mengarah kepada apa yang disebut dengan kembali ke zaman kegelapan. Banyak orang menaruh cinta yang berlebih-lebihan kepada dunia. Harta dan kesenangan menjadi tujuan utama hidup. Kerelaan untuk berbagi dengan sesama, pada akhirnya menjadi sirna. Yang menggejala justru saling curi, rampas, dan rampok barang milik orang lain. Maka, momentum Idul Adha sepatutnya menjadi sarana merefleksikan diri. Bahwa kita mesti terus mengasah sifat ikhlas agar tercipta keadilan dan ketertiban di muka bumi. Memang, sebagai manusia biasa, kita tentu tidak akan mampu seperti Ibrahim. Akan tetapi, sikap dan kepribadian manusia pilihan Tuhan itu wajib kita teladani dan kita terus berjuang untuk bisa menjadi semulia itu. Sejauh ini, muncul kesan seolah-olah Idul Adha itu hanya lebarannya orang kaya. Perayaannya dicantelkan dengan rukun Islam kelima dan kurban bagi orang yang mampu. Akibatnya, media komunikasi yang diciptakan Tuhan untuk menyambungkan hubungan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin itu, tak pernah berfungsi efektif. Masyarakat umumnya menganggap Idul Adha lebih sebagai simbol, sekadar ritual keagamaan. Muncul kesan orang yang berkurban memiliki kasta lebih tinggi dibanding penerima kurban. Padahal, konsep dasar dari perayaan kurban adalah mencintai Tuhan yang diwujudkan dengan mencintai sesama manusia. Bentuk dari cinta kepada Sang Khalik dan sesama itu yang paling esensial adalah keikhlasan untuk berkorban. Dan, pengorban itu bisa dalam banyak cara. Karena itu, berkurban tidak harus dalam bentuk hewan ternak. Tetapi lebih luas dalam segala hal. Mulai dari perhatian, cinta kasih, kesabaran, tenaga, dan pemikiran. Bagi orang-orang kaya, bisa berkurban dalam bentuk menyumbangkan sebagian hartanya. Sedangkan bagi kaum cendekia kurban itu dalam bentuk sumbang saran dan pemikiran demi perbaikan nasib umat. Bagi mereka yang temperamental, berjuang menjadi manusia sabar juga masuk kategori berkurban itu. Dari sana jelas, miskin itu punya dimensi dan makna luas. Tidak saja kekurangan harta, tetapi juga soal hati, perasaan, dan kepekaan. Dalam konteks Idul Adha, kurban dilakukan dengan menyembelih hewan. Pemotongan hewan dilakukan pagi hari, usai salat Idul Adha dan disaksikan warga. Inilah yang menjadi dasar pemaknaan Idul Adha sebagai penghancur tembok pemisah antara si kaya dan si miskin. Dalam hubungan ini, kasih sayang dan cinta kasih sesama adalah bentuk pengorbanan yang paling utama. Mungkin bila diukur, nilainya lebih besar dibanding apapun bagi kaum miskin yang terus terpinggirkan. Berbagai bencana alam dan kesulitan hidup lainnya menyebabkan kaum susah itu dahaga akan kasih sayang. Mereka butuh uluran tangan, tidak saja dalam bentuk sumbangan harta tetapi juga perhatian dan kepedulian. Adanya tali kasih dan cinta sesama yang ditebar dalam perayaan Idul Adha akan menciptakan nuansa-nuansa baru dalam kehidupan sosial. Di mana tidak ada lagi permusuhan, kebencian, dan perasaan tertindas. Mereka akan berada dalam posisi yang sama. Karena itu, momentum Idul Adha tepat bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Tentunya dengan senantiasa menjunjung tinggi segala hukum Pemilik Semua Eksistensi tersebut. Berkasih sayang dan tolong menolong dengan sesama adalah salah satu dari bentuk ketaatan itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun