Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Bubur Kacang Ijo-ku

14 Juni 2010   10:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:33 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

[caption id="attachment_166838" align="alignleft" width="300" caption="Bubur kacang ijo yang cara membikinnya bener. Hehehehehe (Sumber: lekkertje.blogspot.com)"][/caption] Bubur kacang ijo. Ini makanan favorit saya. Lezat, sarat gizi, dan tentu saja murah. Saking hobinya, saya sanggup memindahkan 4 mangkuk bubur ke perut saya yang ramping. Saya juga punya pengalaman tak terlupakan dengan pengganjal perut yang cocok sebagai hidangan sarapan pagi itu. Semasa membujang dan belum menjadi wartawan, saya ikut mengelola lembaga kursus komputer. Kami yang semuanya saat itu masih lajang, tinggal di kampus. Sehingga, antara pengajar dan para siswa terjalin hubungan akrab, seperti keluarga. Berbuka puasa bersama pada bulan Ramadan adalah tradisi yang rutin kami lakukan. Pada Ramadan bulan Februari 1995, kami hendak tampil beda. Bosan dengan menu yang dibeli dari warung, kami pun membuat makanan berbuka sendiri. Ide muncul dari para jemaah buka puasa. Bubur kacang ijo saja, biar murah meriah dan membikinnya gampang. Ya sudah, seorang siswa kami tugasi membeli dua kilo kacang ijo, gula merah, dan kelapa parut. Tak lupa saya membawa dari rumah beberapa lembar daun pandan untuk pengharum bubur. Sejak sore, sudah terbayang betapa nikmatnya makan bubur kacang ijo saat berbuka puasa. Pukul 5 sore, saya sudah sibuk di pantri. Hendak membuat bubur kacang ijo. Kompor dihidupkan. Sebelum air di panci mendidih, dengan sok tahu saya masukkan dua kilo kacang ijo, gula merah serta santan. Setelah air mendidih, tiga lembar daun pandan saya cemplungkan ke panci besar itu. “Bedug bunyi, matang deh bubur made-in sendiri ini,” pikir saya. Menjelang berbuka puasa, bubur yang direbus sejak jam 5 sore airnya mulai asat. Aroma harumnya juga menyebar menggoda usus yang sudah 14 jam tak diisi. Tetapi apa lacur, kacang ijo yang direbus tetap keras seperti batu, tidak menjadi bubur. Kami kebingungan karena bedug berbuka tinggal menunggu detik. Sebagian dari kami menyalahkan kualitas kacang ijo yang kami beli. Di tengah kebingungan itu saya menelepon ibu di rumah. “Dasar bloon! Kalau direbus bareng gula merah, sampai kiamat juga kacang ijonya gak bakal jadi bubur!” kata ibu saya sambil mengakak. Ibu yang memang lumayan keterampilan memasaknya segera memberi instruksi. Hentikan memasak bubur. Airnya tuang ke panci lain. Kacang ijo yang masih keras seperti butiran kerikil dibilas dengan air bersih sampai hilang kandungan gula merahnya. Lalu, rebus lagi dengan air baru. Setelah kacang ijo lunak, barulah campur dengan air gula merah yang tadi dituang ke panci lain. Alhamdulillah, pukul 9 malam bubur idaman itu jadi juga. Tetapi kami memakannya sudah kurang nafsu. Sebab, perut sudah telanjur diisi makanan berbuka seperti biasanya: nasi bungkus. Catatan: Saya percaya, Kompasianawati banyak yang tak tahu cara membikin bubur kacang ijo. Setelah baca tulisan ini, pura-pura sudah tahu deh. Hehehehehehehe

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun