Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Banjir dan Longsor Mengancam Kita

7 Februari 2010   18:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:02 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_70037" align="alignleft" width="300" caption="Sawah terendam (Foto: Khairullah AKA/Lampung Selatan)"][/caption] KITA memasuki tahun 2010 dengan hujan yang rutin mengguyur. Air dari langit terus menerus turun, hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di Lampung, keadaan alam tersebut telah menimbulkan berbagai dampak buruk. Kegiatan masyarakat jadi terhambat dan ekonomi warga pun terganggu. Jalan Lintas Barat Sumatera di Gisting, Tanggamus, nyaris putus. Hujan deras yang terus mengguyur, menggerus dan membikin ambrol sepanjang 7 meter jurang di tepi jalan. Sebagian badan jalan retak-retak. Dinas Perhubungan terpaksa menutup separo jalan, sehingga kendaraan hanya bisa melewati satu lajur. Motor dan mobil dicegah agar tak melewati jalan yang retak karena dikuatirkan ambrol. Di Lampung Selatan, tanggul yang membentengi persawahan dari luapan Sungai Katibung, jebol diterjang banjir. Akibatnya, air merendam ratusan hektare sawah di lima desa. Tanaman padi yang baru saja dipupuk itu, dipastikan mati. Para petani pun merugi ratusan juta rupiah oleh sebab kelimpahan air. Banjir kali ini memang belum menjadi bencana bagi warga perkotaan. Tetapi kita tidak boleh berhenti untuk selalu waspada. Sebab, bagaimanapun, surplus air akibat meningginya frekuensi curah hujan itu telah memperlihatkan dampak-dampak yang menyedihkan. Hasil akhirnya, sangat boleh jadi lebih buruk ketimbang banjir yang mengepung kota dan merendam ribuan rumah warga. [caption id="attachment_70040" align="alignright" width="300" caption="Korban banjir (Foto: Zen Sunarto/Tulangbawang)"][/caption] Saat ini, banjir terbukti telah melumpuhkan sebagian sendi perekonomian di berbagai daerah. Sawah-sawah yang terendam, hewan ternak yang hanyut, dan jalan-jalan desa yang rusak, merupakan perkara yang pasti berbuntut. Dari sisi kesehatan, kita tahu, musibah banjir senantiasa menghadirkan berbagai penyakit. Seperti diare dan muntaber. Roda perekonomian juga menjadi tersendat akibat terputusnya transportasi dan komunikasi. Sawah-sawah yang terendam dan gagal panen, tentu bukan sekadar kerugian petani. Lebih jauh dari itu, ketahanan pangan kita menjadi terancam. Kalau itu terjadi, maka impor beras dan berbagai kebutuhan pokok terpaksa akan diayun. Ini jelas ironi bagi Indonesia, negeri yang konon gemah ripah lohjinawi. Bencana banjir, karena itu, jelas ancaman bagi kita semua. Tidak sekadar merugikan mereka yang terkena langsung musibah kelebihan air itu. Dengan demikian, kita wajib mengerem berbagai dampak bencana banjir. Lalu, bersama-sama mencari jalan agar ia tidak terus berulang dari tahun ke tahun dan menebar berbagai ancaman. *** [caption id="attachment_70041" align="alignleft" width="300" caption="Banjir mengancam (Foto: Zen Sunarto/Tulangbawang)"][/caption] KITA tentu saja tidak boleh menyalahkan alam atas berbagai bencana yang dihadirkannya. Banjir, misalnya, bukan semata-mata lantaran intensitas hujan yang meninggi. Dalam banyak kasus, kelalaian manusia justru menjadi penyebab utamanya. Banjir, tanah longsor, dan kekeringan memang akan silih berganti menerjang. Itu semua muara dari merosotnya daya dukung lingkungan hidup. Hutan-hutan yang seharusnya menjadi kawasan penangkap air, dengan gegabah digunduli. Sehingga rimba kehilangan kemampuannya dalam mengatur air dan iklim. Kawasan bervegetasi lebat yang selalu kita sebut sebagai sistem penyangga kehidupan itu, memang telah tereduksi dengan hebat. Lampung yang luasnya sekitar 3 juta kilometer persegi, kini hanya menyisakan hutan tidak sampai 20 persen dari luas daratan. Padahal, Undang-Undang Kehutanan mematok luas hutan minimal 30 persen dari daratan. Hutan dibabat untuk disulap menjadi kebun, ladang, dan permukiman. Setelah itu, muncullah berbagai bencana alam menyusul kerusakan ekologis yang luar biasa. Banjir bandang dan tanah longsor, hampir selalu bermula dari penggundulan hutan di lereng-lereng dan hulu sungai. Ketika musim penghujan tiba, sungai yang hutan di hulunya sudah gundul, akan mengirim air bah bercampur material hasil erosi. Kemudian menjadi banjir bandang yang mengancam harta dan jiwa warga di hilir sungai. Pada musim hujan, hutan yang gundul juga menjadi rawan erosi, atau yang biasa kita sebut tanah langsor itu. Ini terjadi akibat pengangkutan dan pergerakan masa tanah berlangsung cepat dan sekaligus dengan volume amat besar. Itu sebabnya, banyak orang terus meneriakkan pentingnya menyelamatkan dan melestarikan hutan. Dengan hutan yang berkualitas baik, air berlebih pada musim hujan akan disimpan dalam tanah, danau, rawa, sungai, bendungan, dan sumur resapan. Sisanya terbuang ke laut. Sebaliknya, ketika lingkungan hidup rusak, air hujan akan langsung menuju laut dengan terlebih dulu menerjang apapun yang menghalanginya. Sebab, kemampuan hutan dalam menyerap air sudah merosot. Daya tampung sungai, danau, dan rawa juga berkurang menyusul pendangkalan oleh sebab akumulasi material erosi. Kita semua pastilah paham keadaan ini. Tetapi sayangnya, pemahaman itu baru melahirkan pengetahuan mengenai betapa pentingnya fungsi hutan bagi peradaban manusia. Ia belum menjadi sesuatu yang menggerakkan banyak orang untuk bijaksana dalam memanfaatkan hutan. Buktinya, berbagai penebangan liar dan konversi hutan yang serampangan masih terus dapat kita pergoki. *** [caption id="attachment_70042" align="alignright" width="300" caption="Rumah-rumah terendam banjir (Foto: Refki Darmawan/Way Kanan)"][/caption] SUNGGUH, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi berbagai problem kehutanan. Lewat departemen dan dinas kehutanan, dari tahun ke tahun, negara menganggarkan dana besar untuk merehabilitasi hutan. Tetapi, bukannya pulih, hutan kita justru terus berkurang luasan dan mutunya. Dana raksasa yang berasal dari pajak dan utang luar negeri itu seolah menguap entah kemana. Hutan tidak pulih, yang terjadi justru pemborosan keuangan negara dengan gila-gilaan. Sejak zaman Soeharto, pemerintah pusat dan provinsi, mengeluarkan dana besar untuk menjalankan apa yang disebut program penghijauan atau reboisasi. Pada zaman Megawati, malah digelontorkan dana triliunan rupiah untuk menyelamatkan hutan. Yakni, lewat apa yang dikenal dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan atau GNRHL. Berbagai program kehutanan, dengan berat harus disebut, senantiasa menjadi ladang korupsi. Proyek-proyek fiktif di bidang kehutanan terjadi di banyak tempat. Manipulasi dokumen juga menyeruak di antara ketidakberesan pemerintah mengurusi hutan. Korupsi, dipercaya telah menjadi hulu dari berbagai problem kehutanan. Kasus pembalakan liar yang merajalela, juga dapat dilihat dari perspektif ini. Penegak hukum, polisi, polisi kehutanan, dan jaksa baru bisa menjerat para sopir pengangkut kayu ilegal. Sementara, cukong kayu-kayu haram itu bisa bebas melenggang dan terus menyuruh orang menggergaji kayu di hutan. Aparat kehutanan yang bermental korup juga menjadi biang keladi hancurnya hutan, sistem penyangga kehidupan itu. Orang berani mencuri kayu dari hutan karena penjagaan yang longgar. Lalu, kayu-kayu curian itu gampang disulap menjadi kayu halal. Sebab, oknum kehutanan, atas nama uang, tega mengeluarkan dokumen palsu untuk memuluskan penjarahan hutan. Berbagai bencana alam yang terus melanda belakangan ini agaknya patut mendorong kita untuk meretas jalan baru pembangunan kehutanan. Perlu ada perubahan paradigma penyelamatan sumber daya alam terbatas itu. Tampaknya, kita tidak bisa lagi selalu mengandalkan institusi pemerintah dalam pembangunan sektor kehutanan. Perlu dikerahkan tenaga lebih besar untuk mendorong lahirnya inisiatif dari masyarakat. Warga sudah terbukti mampu mengemban tugas merehabilitasi hutan. Kawasan tandus dan gundul di Gunung Kidul, Jawa Tengah, misalnya, bisa dihijaukan atas aksi masyarakat. Warga, sepanjang diberi kepercayaan, pastilah bisa diarahkan untuk turut melestarikan lingkungan hidup. Kita percaya, masyarakat sekitar hutan punya kearifan lokal untuk melindungi hutan. Sekarang tinggal dicari formulasi yang cocok untuk membangun kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam memulihkan hutan yang sudah rusak parah. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun