[caption id="attachment_122221" align="alignleft" width="300" caption="Petani sedang menebar urea (Dok: Budi Bagus Darmawan/Lampung TV)"][/caption] Ini benar-benar pertanda kiamat sudah dekat. Para petani di Kabupaten Tanggamus, Lampung, tidak bisa membuat pupuk organik. Mereka terpaksa membeli cairan mikroorganisme itu dari toko. Fakta menyedihkan dari sebuah negeri yang menyebut diri sebagai negara agraris! Belakangan memang banyak petani terpaksa membeli pupuk organik menyusul langka dan mahalnya pupuk kimia menjelang musim tanam. Itu untuk mengirit ongkos produksi. Sebab, sebotol cairan bakteri pengurai itu cuma Rp50 ribu dan cukup untuk disiramkan ke lahan seluas seperempat hektare. Petani tidak bisa membuat pupuk organik jelas menyedihkan. Ini ibarat wartawan tidak mampu menulis berita. Betapa sistem pertanian yang terbangun sekarang telah membuat petani kita tidak kreatif. Dulu, nenek moyang kita tak pernah ada cerita membeli benih. Sebab, mereka menghasilkan benih sendiri dengan menyisihkan hasil panen. Juga tidak tahu pupuk kimia buatan pabrik karena bisa membikin kompos yang menyuburkan tanah. Kini keahlian itu hilang karena mereka dicekoki pemerintah agar memakai benih yang disebut unggul dan pupuk kimia yang meningkatkan produksi. Dan, petani harus membeli semua sarana produksi itu. Ongkos produksi pun bertambah. Untuk menanam padi di lahan satu hektare dibutuhkan minimal 15 kilogram benih. Harganya sekarang sekitar Rp6 ribu per kilo. Untuk benih saja petani harus merogoh uang tunai paling tidak Rp90 ribu. Belum lagi untuk pupuk urea yang harganya sekarang Rp250 ribu per kuintal dan bisa ditebar di lahan seluas satu haktare. Dengan sistem pertanian seperti sekarang petani memang tidak akan bisa sejahtera. Melalui matematika pemerintah, lewat penetapan harga eceran tertinggi (HET) pupuk dan harga dasar gabah (HDG), petani bisa meraup untung rata-rata Rp1,2 juta per musim panen. Pemerintah menyangka penghasilan itu cukup menyejahterakan petani. Padahal, sama sekali belum. Katakanlah untung Rp1,2 juta per musim tanam itu benar dicapai, berarti petani hanya menghasilkan uang Rp400 ribu per bulan dari tiap hektare sawah yang dia miliki. [caption id="attachment_122223" align="alignright" width="300" caption="Pupuk cair, orang kota banyak yang bisa membikin larutan mikroorganisme ini, tetapi petani malah tak bisa (Dok: Budi Bagus Darmawan/Lampung TV)"][/caption] Cukup apa hidup dengan penghasilan serendah itu? Belum lagi fakta kita hari ini, petani tanaman pangan di Indonesia umumnya memiliki lahan di bawah setengah hektare. Bahkan, hampir 65 persen hanya sebagai buruh tani, yakni menggarap lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Kemudian, petani juga belum tentu bisa menjual gabah mereka sesuai HDG. Di Natar, Lampung Selatan, misalnya, petani terpaksa menjual gabah kepada tengkulak dengan harga murah. Cuma Rp2 ribu per kg, padahal pemerintah mematok HDG Rp2.600 per kg. Sebab, Bulog menolak membeli gabah petani lantaran kadar airnya di atas 14 persen. Bulog, lembaga yang dulu dibangun untuk menyangga gabah petani, telah menjadi pebisnis tulen. Kini, tidak ada pihak yang sudi membela petani. Tidak pemerintah, juga siapapun. Maka, petani harus mampu memberdayakan dirinya sendiri. Kebijakan pemerintah di bidang pertanian, boleh disebut justru membikin susah petani. Tidak ada proteksi kepada kelompok yang berada di garda terdepan dalam menjamin ketahanan pangan itu. Penganjuran pupuk kimia dan benih unggul, telah membawa dampak buruk. Petani jadi tak lagi bisa membikin pupuk karena ada yang praktis: pupuk buatan pabrik. Lalu, ratusan jenis benih ciptaan mereka harus punah lantaran digantikan berbagai varietas baru produksi perusahaan. Kecuali itu, sistem intensifikasi dengan pupuk kimia dan benih unggul sebagai faktor produksi utama itu, terbukti melahirkan persawahan yang haus air. Sementara, sistem irigasi kita masih berantakan. Saluran irigasi tidak bisa mengairi sawah dengan baik karena kekurangan air oleh sebab rusaknya hutan-hutan di hulu sungai. Padi sesungguhnya tanaman sejenis rumput yang tidak membutuhkan banyak air. Ia bisa tumbuh subur di lahan yang sekadar lembab. Tetapi dengan benih ciptaan pabrik dan pupuk kimia, air wajib menggenangi sawah agar padi bisa hidup dan berbuah. [caption id="attachment_122225" align="alignleft" width="300" caption="Kaum terpinggirkan, tak ada proteksi, cuma diperas (Dok: Budi Bagus Darmawan/Lampung TV)"][/caption] Sekarang, kesadaran untuk meninggalkan pupuk kimia dan kembali ke pupuk organik mulai tumbuh di kalangan petani. Tetapi mereka sudah lupa cara membikin kompos. Maka, penjamin ketersediaan pangan itu wajib didampingi. Mereka harus dilatih untuk kembali mampu membuat pupuk dan benih sendiri. Memang, melepaskan ketergantungan kepada pupuk kimia dan benih unggul bukanlah pekerjaan gampang. Sebab, pertama-tama yang harus dilakukan adalah meyakinkan petani untuk mau kembali kepada alam. Bahwa dalam bercocok tanam, segala yang berbau kimia harus ditinggalkan karena merusak lingkungan dan memperburuk nasib petani. Langkah berikutnya adalah melatih para petani supaya mereka bisa membuat kompos, pupuk cair, dan benih sendiri. Itu menjadi tugas penyuluh lapangan dan para aktivis pendamping masyarakat. Sungguh dua langkah yang berat. Sebab, sistem pertanian kita sudah telanjur bergantung kepada pupuk kimia dan benih hasil industri. Meskipun begitu, gerakan kembali ke alam itu tidak boleh ditunda lagi. Kita sudah terlambat 50 tahun dari Amerika dan negara-negara Eropa dalam mengharamkan bahan kimia bagi pertanian. Kesadaran orang-orang barat itu muncul atas kerja jurnalistik seorang Rachel Carlson. Pada tahun 1952 jurnalis ini menulis “Silent Spring” di majalah New Yorker mengenai bahaya penggunaan pestisida dalam pertanian. “Silent Spring” dinobatkan sebagai karya jurnalistik terbaik kedua abad 20. Ia kalah oleh “Hiroshima” karya John Hersei yang dirilis tahun 1947, juga di majalah New Yorker. Tulisan Rachel Carlson itu memang berdampak besar. Sebab, segera menyadarkan orang Amerika betapa hidup mereka terancam bahan-bahan kimia yang masuk tubuh melalui makanan. Dari sana dimulailah apa yang disebut go green, kembali ke alam. Para petani di Amerika mulai melakukan sistem pertanian organik karena konsumen menolak membeli hasil pertanian yang mengandung pestisida. Sekarang, kesadaran orang Indonesia akan bahaya bahan kimia dalam produk pertanian juga sudah muncul. Kita gampang membaca orang menulis go green! Ini momentum bagi kita untuk kembali ke alam. Semua kita, pemerintah dan masyarakat, wajib peduli. Jangan ditunda lagi karena kita sudah terlambat 50 tahun! Supaya lengkap, baca tulisan saya sebelumnya: Candu di Negeri Subur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H