Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ancaman Banjir Kian Mencemaskan

25 Februari 2010   23:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_81731" align="alignleft" width="300" caption="Banjir, putuslah jembatan itu..."][/caption] Banjir di beberapa daerah kian menjadi-jadi. Warga bukan hanya sudah direpotkan oleh bencana kelebihan air itu. Harta benda sudah banyak yang hanyut diseret air. Para petani harus menangis lantaran sawah dan ladang mereka tergenang dan gagal panen. Tak ada yang tahu sampai kapan musim penghujan akan kembali bersembunyi. Yang jelas, tanda-tanda musim panas akan tiba, belum juga nampak. Setiap hari air terus diguyurkan dari langit dan menghadirkan berbagai kerugian di banyak tempat. Lalu, berbagai kerusakan akibat banjir itu pastilah punya dampak-dampak buruk bagi masyarakat dalam waktu pendek dan jangka panjang. Pemerintah belum menghitung kerugian atas rusaknya berbagai infrastruktur akibat musibah banjir yang datang menebar ancaman sejak awal tahun ini. Yang jelas sangat banyak. Negara, karena itu, harus menyiapkan dana untuk membangun ulang berbagai jalan dan jembatan yang jebol. [caption id="attachment_81732" align="alignright" width="300" caption="Airpun meluap...."][/caption] Dalam banyak kasus, banjir menjadi alasan uang negara terkuras demi membangun ulang infrastruktur yang rusak. Pemerintah dituntut punya program jangka pendek guna memulihkan keadaan. Sebab, kelambanan dalam mengatasi kerusakan akan punya implikasi serius terhadap perekonomian dalam jangka panjang. Kekurangan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, jelas memperburuk iklim usaha di Tanah Air. Jangankan berharap investor baru, pemodal yang sudah eksis pun bukan tidak mungkin berpikir untuk kabur akibat berbagai kekurangan itu. Oleh sebab itu, program pembangunan jangka pendek yang cepat mutlak diayun. Tentunya melibatkan lintas-departemen dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Kerusakan infrastruktur akibat banjir memang tidak boleh dianggap sepele. Ia harus ditangani dengan cepat. Sebab, pada tahap awal harga aneka barang kebutuhan pokok akan melejit lantaran mahalnya ongkos angkutan. Ini kemudian menurunkan daya beli masyarakat. Lalu, dunia usaha terancam gulung tikar lantaran tidak mampu menjual barang oleh sebab melemasnya daya beli. [caption id="attachment_81734" align="alignleft" width="300" caption="Permukiman menjadi lautan..."][/caption] Kegiatan perekonomian di seluruh daerah di Indonesia memang wajib dijamin terus berdenyut. Sebab, hanya dengan itu kita mampu membangun optimisme bisa bangkit setelah terpuruk oleh krisis berkepanjangan sejak tahun 1997. Salah satu cara menjaganya tentu saja dengan menambah berbagai infrastruktur dan memperbaiki yang rusak. Namun, pekerjaan tersebut tidak boleh lagi semacam tambal sulam seperti sekarang. Ia harus direncanakan dengan matang. Pemerintah mestinya sudah bisa mengantisipasi berbagai keadaan yang mungkin timbul. Banjir, misalnya, sudah menjadi musibah rutin, dari tahun ke tahun. Berbagai titik rawan banjir juga dari waktu ke waktu itu-itu saja. Oleh sebab itu, langkah antisipasi seharusnya sudah bisa dilakukan sejak jauh hari. Sehingga, apa yang mestinya dilakukan telah diketahui dengan pasti. Mestinya, kewaspadaan ini menjadi prioritas sejak dulu. Apalagi, masalah bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, akan terus menjadi ancaman. [caption id="attachment_81735" align="alignright" width="300" caption="Sekarang banyak petani menangis..."][/caption] Secara jujur dikatakan, khususnya di Lampung, perbaikan jalan-jalan yang menghubungkan antar-daerah masih jauh dari cukup. Padahal, sarana transportasi ini merupakan tulang punggung perekonomian. Tidak ada aktivitas ekonomi mampu berdenyut tanpa didukung sarana jalan yang memadai. Selama ini, banyak daerah tertinggal secara ekonomi selalu akibat keterbatasan infrastruktur itu, terutama jalan. Maka, kerusakan infrastruktur akibat banjir sangat mungkin menyebabkan daerah yang tadinya maju menjadi ikut terkebelakang. Oleh sebab itu, pemerintah memang mesti punya langkah cepat dalam memperbaiki infrastruktur yang jebol akibat banjir ini. Dengan berat harus disebut, kita masih menganggap remeh banjir. Itu tampak dari perlakuan kita yang semena-mena terhadap alam. Di berbagai tempat, hutan seenaknya dibabati. Sedangkan di perkotaan, kawasan-kawasan yang dulunya menjadi daerah resapan air, disulap menjadi bangunan-bangunan beton. Rawa-rawa dan daerah cekungan banjir dengan gegabah ditimbun. Kemudian dengan tidak kalah semberononya, bukit-bukit hijau yang menyejukkan dan menyegarkan kota harus digerus. Ketika berbagai penyebab banjir itu masih terus dilakukan, maka segala perbaikan infrastruktur menjadi sia-sia. Banjir selalu merupakan buah dari ulah manusia yang tidak ramah lingkungan. Pembangunan yang serampangan telah memerosotkan daya dukung alam dalam menyangga kebutuhan manusia. Kita semua punya andil dalam merusak keseimbangan alam itu. Pemerintah, misalnya, seolah tak punya perencanaan dalam membangun. Padahal, kita tahu ada tiga pilar pembangunan. Yaitu, ada manfaat ekonomi, diterima secara sosial, dan ramah lingkungan. Tetapi, dalam membangun, kita sepertinya hanya memakai satu tiang saja, yakni ada manfaat ekonomi. Masyarakat juga punya saham yang besar dalam soal merusak lingkungan hidup itu. Baik atas nama keserakahan, kealfaan, maupun kemiskinan. Di perkotaan gampang kita pergoki bangunan berdiri di bantaran kali. Malah, banyak juga yang didirikan dengan mencatut bibir sungai. Membuang sampah sembarangan juga seperti telah menjadi budaya masyarakat. [caption id="attachment_81737" align="alignleft" width="300" caption="Hutan seenaknya dibabat..."][/caption] Sementara di hutan-hutan, orang seenaknya memanggul gergaji untuk menebangi pohon. Demikianlah, semua pihak menggempur dengan tanpa ampun dan terus menerus keseimbangan alam. Tetapi, ketika alam mulai goyah dan tidak mampu lagi mendukung aktivitas masyarakat, hadirlah berbagai bencana yang kemudian menjadi sulit diatasi. Sebetulnya, belum ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan. Yang pertama-tama mesti diayun adalah menghentikan semua kegiatan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Pemerintah tidak lagi boleh cuma mengandalkan manfaat ekonomi dari setiap proyek pembangunan. Lebih dari itu, justru wajib mengedepankan unsur ramah lingkungan. Agar alam ini masih bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. Tetapi langkah itu menjadi berat diayun karena para pemimpin kita banyak yang belum kebal suap. Kita tahu, berbagai proyek pembangunan tidak ramah lingkungan bisa berjalan dengan lancar, karena tradisi sogok itu. Banyak orang tahu apa saja kegiatan yang tidak ramah lingkungan. Tetapi pengetahuan itu tidak kemudian menjadi cara bertindak. Sebab, kerap kalah oleh kilau materi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun