Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bumi Dipasena yang Terus Membara

10 Januari 2011   11:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:45 3926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12946580701116090746

[caption id="attachment_84008" align="alignleft" width="327" caption="Ribuan petambak plasma PT Aruna Wijaya Sakti berdemonstrasi. (Sumber: LTV)"][/caption] BUMI Dipasena tak henti dirundung konflik. Petambak plasma dan perusahaan terus bertikai oleh sebab sistem kemitraan yang terbangun tidak adil. Sementara pemerintah tak bisa diharapkan tampil sebagai penyelesai masalah karena sejauh ini condong memihak perusahaan. Itu sebabnya, perseteruan antara plasma dan perusahaan tak pernah usai sampai hari ini. Konflik berkepanjangan di Bumi Dipasena dimulai pada tahun 1996. Kala itu, para petambak plasma menuntut transparansi harga udang dan cicilan utang mereka. Pada pertengahan Oktober tahun 1999 kemarahan petambak kepada perusahaan kian membara. Sekitar 9.000 petambak plasma, ramai-ramai keluar areal budidaya udang di Rawajitu, Kabupaten Tulangbawang, Lampung itu. Mereka yang tergabung dalam P3UW, Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu, bergerak menuju gedung DPRD Lampung untuk menuntut keadilan. Mereka menginap 10 malam di gedung dewan. Inilah demonstrasi paling besar dan paling lama dalam sejarah perjuangan petambak plasma di Tanah Air melawan eksploitasi pemilik modal. Para petambak juga sudah menghadap Presiden Gus Dur untuk memohon keadilan. Tetapi, tidak siapapun mampu menolong mereka. Padahal, para petambak plasma itu jelas telah ditipu mentah-mentah oleh perusahaan. Secara kronologis, PT Dipasena Citra Darmaja masuk ke Rawajitu dan mendirikan kerajaan bisnis udang pada tahun 1988. Setahun kemudian, pertambakan udang terbesar di Asia Tenggara itu mulai beroperasi dengan pola Tambak Inti Rakyat. Petambak sebagai plasma dan PT Dipasena sebagai inti. Ini pola kemitraan yang dipromosikan mampu mengangkat kesejahteraan petambak rakyat. Terdaftar 9 ribuan petambak untuk menggarap sekitar 16.500 hektare lahan bekas rawa yang dilintasi Sungai Mesuji. Setiap petambak diberi rumah sederhana dan dua petak tambak dengan luas masing-masing dua ribu meter persegi. Apa yang diperoleh petambak itu dicatat sebagai utang kepada perusahaan, totalnya 135 juta rupiah per plasma. Petambak melunasi utang itu dengan pemotongan 20 persen hasil penjualan udang setiap panen. Dengan cara ini utang petambak diperkirakan lunas dalam delapan tahun dan setelah itu tambak menjadi milik plasma. Tetapi, sampai tahun 1997, utang petambak bukannya lunas malah membengkak menjadi 300 juta hingga 700 juta rupiah per orang. Menurut PT Dipasena, utang petambak membengkak karena kredit mereka dalam dolar. Ketika rupiah terpuruk pada pertengahan tahun 1997, otomatis utang petambak terdongkrak. Ini jelas alasan yang dibuat-buat. Sebab, kriris ekonomi terjadi sejak Juli 1997, sedangkan petambak plasma mencicil utang itu mulai tahun 1989. Seharusnya utang seluruh petambak sudah lunas, bukan justru bertambah. Sesungguhnya, kecurangan dalam pola kemitraan di Bumi Dipasena sudah berlangsung sejak awal. Penipuan dan pemerasan PT Dipasena kepada para plasmanya bisa berlangsung bertahun-tahun lantaran petambak dikerangkeng dengan begitu ketat. Cuma untuk alasan penting mereka boleh keluar dari areal tambak. Selama itu, akses informasi untuk petambak memang ditutup rapat. Sehingga petambak tidak tahu apa yang terjadi di luar Bumi Dipasena. Termasuk soal berapa harga udang di pasaran. Akibatnya, perusahaan bisa membeli udang dari plasma dengan harga semaunya. Misalkan, ketika harga udang mencapai 120 ribu per kilo, hasil panen petambak hanya dibeli 37 ribu rupiah per kilo. Ketika petambak mengetahui berbagai aksi penipuan dan pemerasan itu, mereka melawan. Tetap, Syamsul Nursalim, pemilik PT Dipasena menganggap angin lalu tuntutan petambak. Dengan uang miliknya, taipan bisnis tersebut memakai tentara dan polisi untuk mengintimidasi keluarga petambak. Pada tahun 2000 Syamsul Nursalim terbelit kasus BLBI, bantuan likuiditas Bank Indonesia. Dia dipaksa mengembalikan uang negara yang ditilapnya dengan menyerahkan aset-aset, termasuk PT Dipasena Citra Darmaja. Sejak itu, konflik petambak mereda dan Bumi Dipasena dalam status-quo. Petambak plasma terus berbudidaya udang dengan sistem tebar mandiri. Dengan cara ini mereka justru lebih sejahtera. Masalah muncul lagi ketika pada tahun 2007 pemerintah melalui PT Perusahaan Pengelola Aset menunjuk PT Aruna Wijaya Sakti mengambil-alih Dipasena. Anak perusahaan Central Proteina Prima ini diberi tugas merevitalisasi tambak udang tersebut. Pertambakan bekas milik Syamsul Nursalim itu akan dimodernkan lagi seperti pada awal didirikan. Termasuk kembali menerapkan pola inti-plasma. Pada April 2008, PT Aruna Wijaya Sakti berjanji menyelesaikan program revitalisasi dalam 18 bulan. Akan tetapi, hingga Januari 2011, setelah lebih dari 30 bulan, baru 5 blok bisa direvitalisasi dari 16 blok yang diprogramkan. Perusahaan ini tidak punya cukup modal untuk merevitalisasi pertambakan udang itu dengan cepat. Kegagalan PT Aruna Wijaya Sakti menunaikan janjinya itu terang saja merugikan plasma. Sebab, utang petambak kepada perbankan terus menumpuk lantaran areal tambak tidak segera berproduksi. Padahal, saat ini ada 40 ribu jiwa keluarga petambak menggantungkan hidup dengan menjadi mitra PT Aruna Wijaya Sakti. Perusahaan itupun dianggap gagal memulihkan Dipasena guna menyejahterakan petambak. Inilah yang melatari aksi unjukrasa petambak dan pendudukan kantor PT Aruna Wijaya Sakti. Para petambak didukung kalangan aktivis lingkungan hidup mendesak Presiden SBY turun-tangan mengatasi masalah tersebut. Kasus ini sekaligus mesti menjadi jalan bagi pemerintah untuk mengevaluasi pola tambak inti rakyat di seluruh Indonesia. Bahwa kemitraan itu selalu merugikan petambak rakyat. Sebab, kerjasama dibangun secara tidak seimbang. Melulu menguntungkan perusahaan karena bisa berbisnis tanpa keluar modal pembebasan lahan. Sementara risiko bisnis dibagi ke seluruh petambak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun