Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Danau Jepara yang Merana

17 Mei 2010   17:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:09 2363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_143432" align="alignleft" width="300" caption="Danau Jepara yang asri. (Dok. Pribadi)"][/caption] Tiba di Danau Jepara yang asri, saya disambut belaian angin sejuk. Udara di kawasan lindung yang dibangun Dinas PU Pengairan pada tahun 1974 ini memang membikin nyaman. Berbeda dengan danau lain yang umumnya gerah. Tanaman hutan tumbuh dengan gagah di sepanjang tepi danau dan dilarang ditebang. Inilah yang membikin asri panorama dan menghidangkan udara sejuk di kawasan ini. Danau di Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur ini, semula hanya seluas 5 hektare. Pemerintah melihat potensinya bisa dimanfaatkan untuk mengairi sawah di daerah hilirnya. Maka, pada tahun 1972 waduk ini diperluas sehingga menjadi sekitar 200 hektare. Danau Jepara disulap menjadi waduk sebagai langkah lanjutan dari pembangunan 25 kilometer saluran irigasi pada tahun 1960-an. Kala itu, proyek irigasi tersebut mampu mengairi sembilan ribu hektare sawah. Namun, seiring dengan merosotnya debit air, kini danau ini hanya mampu mengairi 1.800 hektare sawah. Bisa 4.500 hektare, tetapi harus dengan menggilir pemakaian air, seperti diberlakukan sekarang. Pada masa lalu, keberadaan Danau Jepara dengan saluran irigasinya menjadikan wilayah yang dulunya Kabupaten Lampung Tengah ini sebagai lumbung pangan. Tetapi sekarang, Kecamatan Way Jepara dikenal sebagai lumbung TKI. [caption id="attachment_143434" align="alignright" width="300" caption="Jalan menanjak menuju danau. (Dok. Pribadi)"][/caption] Menuju bendungan yang jalannya menanjak, saya disambut pepohonan rindang. Di bendungan pengendali pintu air terdapat beberapa unit bangunan. Ada aula terbuka, kantor, dan rumah penjaga yang membuka warung kecil. Fasilitas dan peralatan untuk mengendalikan bendungan cukup terawatt. Di muka bangunan pengontrol air, berdiri kokoh menara pengukur kedalaman air. Tower ini menancap di dasar danau sedalam 35 meter. Dekat menara pengukur elevasi air, menjorok ke tengah danau, ada karamba apung. Tempat memelihara ikan patin ini milik Pak Syafei, warga setempat. Di tepi danau, banyak orang sedang asyik memancing. Di belanga raksasa ini memang masih hidup berbagai jenis ikan, seperti gabus betok, nila, dan patin. Bahkan, ada betutu, ikan langka yang mirip lele tetapi tidak berpatil. Ini yang menyedot warga sekitar danau dan dari luar Lampung Timur, datang dan melatih kesabaran menunggu umpan dimakan ikan. Danau Jepara memang molek. Suasana perdesaan yang asri dengan warganya yang ramah dan bersahaja, turut menentramkan hati. Ada dorongan untuk berlama-lama di sini. Sayang, kawasan lindung ini agaknya lebih fokus difungsikan sebagai penjamin ketersediaan air irigasi untuk menyokong sektor pertanian. Belum disentuh rencana pengembangan wisata. [caption id="attachment_143436" align="alignleft" width="300" caption="Air irigasi dari Danau Jepara. (Dok. Pribadi)"][/caption] Kini, Danau Jepara dengan segala keindahan dan manfaat ekonominya, mulai terancam. Sejak sepuluh tahun terakhir debit air waduk ini terus menyusut. Akibatnya, 4.500 hektare sawah di tiga kecamatan: Way Jepara, Braja Slebah, dan Labuhanratu, terancam tidak bisa ditanami. Air Danau Jepara berasal dari tiga sungai. Yakni Way Abar, Way Jejawai, dan Way Jepara, yang berhulu di Register 38 Gunung Balak dan Gunung Mas. Sekarang tiga sungai itu hanya mampu memasok 10 juta meter kubik air. Padahal, untuk mengairi 6.000 hektare sawah, paling tidak butuh 21 juta meter kubik. Menyiasati merosotnya debit air itu, sejak tahun 2007 Dinas Pengairan Lampung Timur terpaksa menerapkan pola tanam bergilir. Pada tahun 2007, air dialirkan ke Kecamatan Braja Slebah untuk mengairi 2.000 hektare sawah. Di Kecamatan Way Jepara dan Labuhanratu yang tidak mendapat pasokan air, petaninya menanam jagung. Pada tahun 2008, giliran Way Jepara dan Labuhanratu yang dipasok air, sehingga 2.000 hektare sawah di sini bisa ditanami. Dan, giliran petani di Braja Slebah yang berganti menanam jagung. Penurunan debit air Danau Jepara memang sudah mengkhawatirkan. Kini, pada musim penghujan saja, ketinggian air tidak mencapai 35 meter. Pada musim kemarau merosot lebih parah, menjadi di bawah 26 meter. [caption id="attachment_143439" align="alignright" width="300" caption="Menara pengukur elevasi. Tak pernah terendam sampai 35 meter lagi. (Dok. Pribadi)"][/caption] Sejak 10 tahun terakhir, air danau tidak lagi pernah sampai bendungan pelimpasan. Bahkan, ketika musim hujan. Sehingga, tempat pembuangan kelebihan airnya bisa dipakai berkemah dan bermain sepakbola. Pada awal dioperasikan tahun 1974, Danau Jepara mampu mengairi 9.000 hektare sawah. Dulu, untuk mengairi 6.000 hektare cukup membuka satu pintu air di bendungan pengendali. Sekarang, meskipun lima pintu air dibuka semua, hanya mampu mengairi sekitar 2.000 hektare. Rusaknya kawasan Register 38 oleh perambahan menjadi penyebab utama terus merosotnya debit air Danau Jepara. Daerah tangkapan air banyak yang diubah menjadi lahan perkebunan. Seperti jagung dan kakao. Register 38 Gunung Balak dan Gunung Mas yang menjadi daerah aliran sungai (DAS) Danau Jepara sudah rusak parah. Perambahan yang meruyak sejak 10 tahun terakhir segera membunuh daerah-daerah tangkapan air. Kerusakan kawasan lindung itu menyebabkan danau ini semakin merana. Hutan-hutan yang digunduli, saat musim hujan mengirim air bercampur material erosi. Kemudian lumpur tadi terakumulasi di danau dan membikin dangkal belanga raksasa yang menjadi andalan sektor pertanian Lampung Timur ini. Belum ada penelitian resmi mengenai kuantitas lumpur yang mengendap di Danau Jepara. Tetapi diperkirakan mencapai jutaan kubik. [caption id="attachment_143441" align="alignleft" width="300" caption="Setiap hari, terutama para hari libur, banyak warga memancing di sini. (Dok. Pribadi)"][/caption] Sekarang, Danau Jepara memang belum telanjur rusak parah. Namun, jika tidak ada upaya serius untuk merehabilitasinya, danau ini lambat laun akan mati. Lampung Timur, karena itu, tidak akan menjadi lumbung pangan, malah potensial menjadi lumbung masalah. Maka dari itu, semua pihak memang dituntut berjuang keras memulihkan fungsi danau ini. Segala bentuk aktivitas yang merusak lingkungan di daerah hulunya harus bisa segera dihentikan. Danau Jepara merupakan aset penting. Dia bukan hanya milik masyarakat Lampung Timur, tetapi juga punya warga Lampung. Menyelamatkan danau ini, sama artinya dengan menjamin ketersediaan pangan sekaligus menyiapkan objek wisata yang potensial menjadi andalan. Lokasinya hanya sekitar 100 kilometer dari Bandar Lampung, ibukota provinsi. Apalagi jalan masuknya sudah beraspal bagus. Ini menjadi alasan untuk optimistis bagi masa depan pariwisata di kawasan ini. Catatan: Kembali ke isu lingkungan hidup. Sambil mengintip Kompasianer yang ikhlas dijadikan profil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun