[caption id="attachment_141610" align="alignleft" width="300" caption="Babeh Helmi dan Siwi Dwi Iswanti, istrinya. (Dok. Helmi Budiprasetio)"][/caption] Sudah sejak lama saya apresiatif kepada Kompasianer yang satu ini. Atas kerendahan hatinya juga untuk keceriaannya dalam berinteraksi di Kompasiana. Dia, menurut saya, mampu memainkan peran dengan baik sebagai perekat penghuni blog sosial yang beragam. Tentu saja lewat pembawaannya yang selalu riang dan positif. Kompasianer itu adalah Babeh Helmi. Bergabung di Kompasiana sejak 14 November 2009, dia baru memosting 26 tulisan. Dari sisi jumlah bisa dibilang sedikit. Tetapi dari segi mutu, boleh angkat topi. Pengklik tulisannya selalu banyak. Bisa 1.000 orang lebih dengan ratusan tanggapan dan belasan hingga puluhan rating. Ini menandakan, kehadirannya memang dinanti para kompasianers temannya. Seperti pernah ditulis Syam, di sini. Paman Petani menyebut, “…..mainan bareng bersama Babeh Helmi ternyata menghibur kalongers dan kompasianers, mari tiga kali tepuk bahu masing-masing sebagai penyemangat bagi seisi kompasiana.” Kehadiran lelaki kelahiran Jakarta, 6 Desember 1966 itu, baik lewat tulisan maupun komentarnya, memang membikin semarak blog keroyokan ini. Dia senantiasa menulis dan menjawab komentar dengan ceria dan menyejukkan. Untuk foto profil, di Kompasiana dan di fesbuk, si jago mengoprek gambar ini memakai foto Dewa Faizramzi, anak bungsunya. Siswa kelas 3 SD Laboratorium 01 Setiabudi '07 Jakarta ini mirip sekali dengan babenya, tapi lebih tampan. Sori Beh, jujur nih, hehehehe. [caption id="attachment_141611" align="alignright" width="300" caption="Babeh dan kawan-kawannya alumni Fakultas Sastra Unas, Jakarta 18 April 2010. (Dok. Helmi Budiprasetio)"][/caption] Saya tak heran kalau lelaki bernama lengkap Helmi Budiprasetio ini mahir menulis. Maklum, dia jebolan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Nasional Jakarta. Perguruan tinggi beken di Tanah Air. Sutan Takdir Alisjahbana, seorang budayawan dan sastrawan besar, pernah menjadi rektor di kampus yang melahirkan banyak aktivis ini. Tradisi intelektual dan kehidupan aktivis, setahu saya memang mencolok di universitas swasta tertua di Jakarta itu. Sesuatu yang menjadi alasan Unas menghasilkan banyak mahasiswa kritis. Contohnya, mendiang Nuku Sulaiman. Dia aktivis prodemokrasi yang ditangkap pemerintah Orde Baru karena menyebarkan stiker bertuliskan SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana) di gedung MPR. Saya percaya, dinamika kampus yang seperti itu juga mewarnai perjalanan hidup Babeh Helmi. Di antaranya mengenai kegemarannya berorganisasi. Bersama Mariska Lubis, Risman Aceh, Ragile, dan Kit Rose, dia bersedia mengemban amanah menjadi Steering Committee Seribu Tangan Cinta. Pekerjaan prodeo, tak dibayar, yang tak banyak orang sudi melakukannya. Mereka berlima sedang bekerja keras membangun supra-struktur sebuah organisasi yang diharapkan mampu memberdayakan banyak anak Indonesia. Satu hal dari Babeh Helmi yang menarik perhatian saya adalah profesinya sekarang. Lulusan sastra Inggris, malah menjadi video editing! Tidak klop dengan latar belakang pendidikannya. Dalam bayangan saya, Babeh cocoknya jadi dosen, wartawan, presenter TV, kerja di perusahaan asing, atau pemandu wisata. [caption id="attachment_141612" align="alignleft" width="143" caption="Si Badung Faiz yang selalu jadi foto profil Babenya. (Dok. Helmi Budiprasetio)"][/caption] Tetapi memang ada sejarah sehingga Babenya Saras dan Faiz ini putar haluan. Lulus dari Unas, dia jadi wartawan majalah sembari mengajar di IKIP Jakarta. Babeh menjadi dosen dramaturgi di program studi Tari di kampus yang sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta itu. Beberapa tahun kemudian, suami tercinta Siwi Dwi Iswanti ini mendapat tawaran menjadi pengarah dialog film sulih suara (dubbing). Seperti untuk Film sulih suara “Little Missy” di TVRI yang terkenal itu, Babeh Helmi bertugas mengarahkan dialog para pengisi suara. Dari situ, dia mulai mengurusi sulih suara telenovela di sebuah rumah produksi. Nah, di dunia broadcasting inilah Babeh Helmi belajar instalasi alat studio, mixing suara, dan mengolah video. Keterampilan dan ilmunya terus bertambah karena beberapa kali pindah rumah produksi. Dia jadi mengerti peralatan yang dibutuhkan juga cara kerja perangkat-perangkat tersebut. Kebetulan lelaki kurus yang senang plontos ini selalu diberi tugas sebagai video quality control. Tanggung-jawab itu memaksa dia menguasai teknik editing video. Sebuah keterampilan yang dia pelajari secara otodidak. Saat menjabat koordinator dubbing SCTV, Babeh Helmi sekali-kali harus turun tangan mengedit video ketika ada editor yang berhalangan. Setelah 9 tahun bekerja di stasiun TV swasta itu dalam mengurusi dubbing, Babeh bersama beberapa kawannya mendirikan rumah produksi sendiri. Tiga studio dibuka untuk disewakan kepada klien. Di rumah produksi patungan itu, lelaki yang tak pernah terlihat marah ini dipercaya menjadi head of post pro. Semua video dan film yang akan dikirim ke perusahaan penyiaran harus lewat dia dulu. Dia yang memberi sentuhan akhir gambar hidup pesanan pelanggan. [caption id="attachment_141614" align="alignright" width="300" caption="Mbak Siwi, Saras, dan Faiz, yang jepret tentu Babeh nih. (Dok. Helmi Budiprasetio)"][/caption] Setahun di sana, seorang kawan Babeh mendirikan rumah produksi. Dengan bendera Flip Production, rumah produksi ini membikin program-program reality show untuk TV. Tentunya sambil menyewakan studio kepada orang-orang yang hendak mengedit video sendiri. Flip Production juga sempat menggarap program situasi komedi untuk Trans TV. Berbekal pengalaman panjang itu, Babeh Helmi memutuskan membuka usaha video editing, sound engineer, video and sound editing, serta konsultan. Tetapi dia masih membantu Flip Production, tentunya sebagai editor lepas, freelancer. Dari kisah itu, hidup Babeh Helmi sepertinya mulus-mulus saja. Padahal, dia juga menyimpan cerita duka. Belasan tahun lalu, dia harus kehilangan putra tertuanya yang meninggal saat baru dilahirkan. Kedukaan itu sepertinya belum hilang sampai sekarang. Itu setidaknya bisa ditangkap dari postingan dia di sini. Tetapi Tuhan memang Maha Adil, Babeh dan Siwi Dwi Iswanti diberi pengganti berupa dua anak yang lucu dan pandai. Anak tertuanya Sarasvati, sekarang kelas 1 SMP. Sedangkan si bungsu Dewa Faizramzi, sudah di kelas 3 SD. Dua buah hati Babeh itu juga tampak mengikuti kecintaan ayah mereka terhadap bahasa Inggris. Mengharapkan Babeh Helmi rajin memosting tulisan memang agak susah. Maklum, dia super sibuk. Padahal, saya selalu senang mampir di tulisannya yang senantiasa ramai. Meskipun begitu, saya cukup senang melihat dia masih rajin menclok di lapak para kompasianer dengan komentar-komentar kocaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H