[caption id="attachment_117526" align="alignleft" width="300" caption="Indy Rahmawati, news anchor TV One (Dok: newsanchoradmirer.wordpress.com)"][/caption] Kita bisa menebak, perseteruan Polri dengan TV One terkait markus palsu, pasti akan berakhir damai. Mediasi yang dilakukan Dewan Pers juga mengarah ke sana: penyelesaian secara kekeluargaan. Kepolisian tidak akan gegabah mengkriminalisasikan TV swasta yang sedang naik daun itu, setidaknya dengan dua alasan. Pertama, TV One sudah mengakui kesalahan. Mereka tidak melakukan cover both sides, melihat masalah juga dari sudut pandang polisi supaya pemberitaan menjadi seimbang. Kedua, media massa selama ini menjadi mitra strategis polisi. Atas jasa medialah berbagai keberhasilan kepolisian menegakkan hukum bisa diketahui publik. Namun, apapun bentuk penyelesaian kasus penayangan markus palsu itu, kita berharap jangan sampai diterima masyarakat dengan bias. Seolah-olah TV One atau media massa tidak pernah keliru. Bahwa berbagai kesalahan, bahkan yang disengaja, terbukti sering dilakukan media massa. Karena itu, tidak boleh lagi diulangi demi hadirnya pers yang sehat dan menyehatkan. Drama Indy Rahmawati mewawancarai Andris Ronaldi yang ternyata markus palsu mengingatkan saya pada film Shattered Glass. Film ini dibuat berdasarkan kisah nyata yang sempat mengguncang dunia jurnalisme Amerika Serikat. Tontonan yang biasa menjadi bahan diskusi jurnalistik itu mengisahkan seorang Stephen Glass, penulis tetap sebuah majalah kenamaan: New Republic. Pertengahan tahun 90-an, karena artikel-artikelnya yang hebat, Glass menjadi salah satu jurnalis muda terkenal di Washington. Namanya begitu meroket karena tulisannya memang eksklusif dan menarik dibaca. Hingga suatu ketika, tulisannya berjudul Hack Heaven membikin curiga majalah Forbes. Itu artikel yang bercerita tentang pertemuan sejumlah hacker berusia 15 tahun di sebuah hotel. Media pesaing New Republic itu kemudian melakukan penelusuran. Hasilnya, Hack Heaven terbukti fiktif. Kemudian, satu per satu terkuak. Ada 27 tulisan karya Stephen Glass yang ternyata dusta. Glass pun dipecat dari New Republic. Dia kemudian melanjutkan karir sebagai novelis, dan cukup terkenal karena memang berbakat menulis fiksi. Praktek-praktek kotor yang dilakukan Stephen Glass, saya tahu persis juga sering dilakukan kawan-kawan wartawan. Terutama jurnalis TV. Ada wartawan yang sampai hati meminta polisi menembak kaki penjahat yang baru ditangkap supaya mendapat gambar bagus. Dalam aksi-aksi demonstrasi, juga ada wartawan yang mengompori agar anarkis dan mendapat berita seru. Saya mengamati, TV One memang senang membesar-besarkan peristiwa agar heboh. Sayangnya, tujuan menjadikan diri sebagai TV terdepan itu kadang mengabaikan prinsip-prinsip akurasi dan dampak. Kita belum lupa bagaimana TV One dengan gegabah menyiarkan secara live penyerbuan sarang teroris, 8 Agustus tahun lalu. Densus 88 mengerahkan lebih dari 600 polisi guna membekuk seorang teroris yang diduga Noordin M. Top. TV One menyiarkan secara langsung drama pengepungan selama 17 jam di Dusun Beji, Desa Kedu, Temanggung, Jawa Tengah itu. Hasilnya, di gubuk tengah sawah itu ternyata cuma ada satu orang, Ibrohim, bukan Noordin. Penyiaran secara langsung operasi penyerbuan teroris, jelas bisa berdampak buruk. Seandainya yang diserbu Densus 88 itu benar-benar sarang teroris, kita tidak bisa membayangkan berapa polisi yang harus mati konyol. Sebab, teroris yang menonton siaran langsung dari TV di sarang mereka, mengetahui persis kekuatan polisi. Dibantu google-earth yang gampang diakses dengan laptop atawa HP, mereka makin mudah mengetahui polisi ada di titik mana saja. Sementara polisi sama sekali buta kekuatan teroris karena tak ada panduan. Kalau itu sampai terjadi, berarti TV telah membantu teroris membantai polisi. Semua orang tahu, di muka bumi ini tidak ada media massa yang sungguh-sungguh bebas dari kesalahan. Seideal apapun, pers tetaplah dikelola manusia biasa. Wartawan banyak yang wawasannya kurang, ceroboh, kurang jeli, bahkan ada yang memang sengaja merekayasa berita demi sensasi. Apalagi, hingga sekarang, media massa di dalam negeri masih menganut dengan sangat fanatik prinsip good news is bad news. Seolah-olah berita bagus itu hanya diperoleh dari kabar buruk. Betapa naifnya! Padahal, begitu banyak berita bisa disajikan kepada publik. Yang pokok adalah bagaimana mengolahnya menjadi penting dan menarik tanpa harus mencederai prinsip-prinsip jurnalisme. Produk jurnalistik, semua orang sepakat, punya dampak luas bagi masyarakat. Bisa positif dan bisa negatif. Oleh sebab itu, kita, para pekerja media, mesti selalu mampu menimbang dampak itu. Agar berita kita tidak berdampak buruk. Supaya tidak ada pihak-pihak yang dirugikan atas berita yang salah, berita yang tidak akurat. Wartawan sudah sepatutnya mengembangkan sikap arif dalam dirinya. Jangan sampai terjadi kesalahan dalam pemberitaan karena bisa merugikan publik. Prinsip jurnalisme juga sudah jelas, bahwa jurnalis hanya loyal kepada publik. Sebagai manusia biasa, wartawan boleh salah, tetapi tidak boleh dusta. Untuk menekan kesalahan itu, jurnalis wajib disiplin dalam melakukan verifikasi. Setiap kesalahan bisa berakibat fatal. Mekanisme ralat dan pemberian hak jawab hampir selalu gagal meluruskan sesuatu yang sudah telanjur bengkok. Maka, jurnalis dituntut selalu memakai nuraninya. Catatan: Tulisan ini otokritik, tidak lebih mirip sebagai protes kepada media massa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H