[caption id="attachment_26540" align="alignleft" width="300" caption="Banjir besar di Bandarlampung, 18 Desember 2008"][/caption] Musim hujan datang lagi. Warga beberapa kota, karena itu, kembali terancam banjir. Kita senantiasa cemas atas musibah air berlebih ini. Sebab, ia sudah bukan lagi sekadar merepotkan warga, tetapi telah mengancam keselamatan harta dan jiwa. Maka, memang butuh evaluasi menyeluruh untuk mengurangi dampak bencana yang seolah sudah menjadi langganan kita itu. Dalam setiap bencana banjir di perkotaan, banyak orang tahu penyebab utamanya. Bahwa, pembangunan yang dikebut tidak mengindahkan segi-segi keseimbangan alam. Aset-aset ekologi musnah digilas roda pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Sejumlah kawasan kota yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air hujan atau cekungan banjir, diuruk. Rawa-rawa dan persawahan juga ditimbun. Lalu, disulap menjadi permukiman, pusat bisnis, atau kampus. Sungai-sungai semakin menyempit dan dangkal akibat di bantarannya berdiri bangunan-bangunan. Pemilik pabrik, ruko, dan warga seperti seenaknya memancang beton bangunan dengan mencatut bibir sungai. Berbagai bangunan yang didirikan juga tidak lagi menyediakan ruang terbuka hijau yang memadai. Tanah-tanah ditutupi aspal dan beton. Semua aktivitas tidak ramah lingkungan itu, serta merta mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan. Celakanya, kawasan-kawasan yang dulunya berfungsi sebagai penampung air sudah nyaris tidak ada lagi. Banjir, karena itu, menjadi bencana yang tidak bisa dielakkan. Banyak pemerintah kota terpaksa menguras anggaran untuk membangun danau dan embung buatan. Demi mengganti penampung air buatan alam. Betapa naifnya. *** Para aktivis lingkungan hidup percaya, bencana banjir dan longsor terjadi karena pembangunan memang belum memperhitungkan segi-segi ekologi. Padahal, pembangunan perkotaan mestinya memancang tiga pilar sekaligus. Yakni, ada manfaat ekonomi, diterima secara sosial, dan ramah lingkungan. Akan tetapi, bagi banyak kota, tiga pilar tadi baru bermakna sebagai pemanis dokumen rencana pembangunan. Ia sama sekali belum diterapkan. Kepentingan ekonomi sesaat masih menjadi warna mencolok dalam setiap proyek pembangunan. Kita bisa melihat bagaimana bangunan-bangunan beton berdiri kokoh di lahan yang dulunya rawa-rawa. Lalu, bukit-bukit juga dengan gegabah digerus untuk dibangun perumahan, hotel, dan rumah makan. Pembangunan yang tidak mengindahkan segi-segi ekologi itu kemudian mendatangkan berbagai persoalan perkotaan. Musibah banjir kemudian menjadi pemandangan rutin. Kita senantiasa tak habis mengerti mengapa pembangunan harus selalu berseberangan dengan kepentingan menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Padahal, kita pada berbagai kesempatan berceloteh dengan fasih soal dampak pemanasan global. Bahwa hutan-hutan sudah hampir habis ditebangi. Sehingga vegetasi penyerap karbon dan penghasil oksigen berkurang pada tingkat yang tidak bisa ditoleransi. Lalu, dimulailah berbagai kegiatan menanam pohon untuk mengurangi dampak pemanasan global. Pada tingkat itu, kita gembira atas perkembangan pemahaman masyarakat tersebut. Tetapi, pada saat sama kita gemas karena berbagai paradoks pelestarian lingkungan terus kita pergoki di sana-sini. Di tengah munculnya kesadaran akan pentingnya pelestarian alam, Pemerintah masih membiarkan bahkan mengeluarkan izin untuk proyek pembangunan yang merusak lingkungan. Sungguh, tidak harus menjadi jenius untuk tahu bahwa ada yang keliru dalam teknis pembangunan di banyak kota di Indonesia. Pembangunan masih melulu mengakomodasi kepentingan pemodal. Asal ada uang, apapun bisa dikerjakan. Rambu-rambu pembangunan, misalnya koefisien dasar dan garis sempadan, karena itu, lazim dilanggar. Bahkan, kawasan yang semula difungsikan sebagai paru-paru kota dan daerah tangkapan air, boleh disulap untuk kepentingan bisnis. *** Kini, alam yang keseimbangannya terusik, mulai marah. Iklim di kota mulai dibikin tidak stabil. Air ditumpahkan dari langit untuk menghukum warga kota yang semberono dalam memperlakukan lingkungan hidup. Kita memang tidak patut mencari kambing hitam atas musibah alam itu. Semua kita, baik pemerintah maupun masyarakat, punya andil sama besar dalam menyebabkan alam tak sudi lagi bersahabat dengan kita. Masyarakat masih terus membangun dengan semaunya. Sementara pemerintah tidak punya kebijakan untuk mengerem berbagai aktivitas warga yang tidak ramah lingkungan. Apa yang hendak dibangun, silakan digarap. Risiko-risiko dari pembangunan itu mari kita rasakan bersama-sama. Inilah yang bisa kita tangkap dari bagaimana kota dibangun dan dibikin menjadi modern. Pertumbuhan kota, tentu saja, selain membawa manfaat juga mengandung risiko terhadap lingkungan. Positifnya, memungkinkan tersedianya lapangan kerja, mengencangnya denyut aktivitas ekonomi, dan bertambahnya pendapatan daerah. Sementara risikonya berupa anjloknya kualitas udara, tanah dan air, serta kerawanan sosial. Ini semua segera memerosotkan kualitas hidup masyarakat. Lantaran ada sisi positif dan negatif itulah, semua aktivitas pembangunan wajib direncanakan dan dikerjakan dengan penuh pertimbangan. Bahwa, pembangunan harus berwawasan lingkungan. Yakni, mengusung konsep pembangunan perkotaan berkelanjutan. Sebuah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup generasi mendatang. Kualitas hidup manusia berkorelasi positif dengan mutu lingkungan. Semakin tinggi mutu lingkungan, semakin baik pula kualitas hidup manusia. Maka, muncullah istilah pembangunan berwawasan lingkungan itu. Tetapi, justru ini pula yang belum dilakukan banyak kota di Tanah Air. Kita percaya, belum terlambat untuk kembali memulihkan lingkungan hidup dan menyelamatkan aset-aset ekologi yang masih tersisa. Tetapi, semua itu butuh komitmen yang kuat dari semua pihak. Pemerintah dan masyarakat mesti mengekor dengan teguh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang bermanfaat bagi generasi mendatang. Karena itu, langkah yang pertama kali mesti diayun adalah merehabilitasi aset-aset ekologi dan menyelamatkan yang masih tersisa. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H