Jokowi resmi jadi Calon Presiden. Melalui mandat tulisan tangan Megawati Soekarno Putri yang dibacakan oleh Puan Maharani pada hari Jum'at tanggal 14 Maret 2014. Ia resmi diusung oleh PDIP sebagai calon tunggal partai berlambang kepala banteng tersebut.
Publik yang selama ini menanti-nanti jawaban dari kepastian Jokowi menjadi calon presiden akhirnya terjawab sudah. Walaupun beberapa pihak, terutama warga Jakarta sebagian tidak setuju mengingat janji politik Jokowi untuk melaksanakan amanah sebagai Gubernur DKI selama lima tahun. Dan ketika ia resmi ditetapkan sebagai capres PDIP, maka kesan yang timbul kemudian adalah ia hanya menjadikan jabatan gubernur sebagai batu loncatan menuju kursi jabatan yang lebih tinggi.
Lawan-lawan politik Jokowi dan PDIP pun sontak dibuat seperti kebakaran jenggot. Harapan mereka selama ini adalah agar Jokowi tidak ikut-ikutan bertarung dalam ranah capres mengingat elektabilitasnya di setiap lembaga survey yang selalu menanjak. Dengan segala cara mereka bermanuver untuk menjatuhkan wibawa dan kredibilitas Jokowi sebagai Gubernur, mulai dari masalah banjir, kebakaran, transportasi, PKL, dan masih banyak lagi. Jokowi pun- dalam setiap kesempatan wawancara - selalu mengatakan tidak tertarik untuk ikut bertarung dalam bursa capres karena ia ingin menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai Gubernur DKI.
Dan kini, misteri politik itu pun terjawab sudah. Jawabannya memang tidak selalu memuaskan. Tapi itulah misteri. Hal yang ditunggu, yang diharapkan menjadi pemuas kegundahan ternyata malah menambah kegundahan politik itu sendiri. Tudingan miring pun mulai muncul. Akibat kekecewaan mendalam atas jawaban yang tak memuaskan itu, Jokowi dituding ingkar janji bahkan terkesan munafik. Apalagi lontaran kata munafik itu notabene datang dari pendukung Jokowi selama ini sebagai Gubernur DKI. Ini tentu bisa dimaklumi, bahwa harapan warga Jakarta sangat besar-bahkan melebihi kapasitasnya- kepada Jokowi untuk merubah Jakarta menjadi lebih baik. "Trauma" masa lalu mereka terhadap pemimpin-pemimpin DKI sebelumnya berharap dihapus oleh sang Jokowi sesuai slogan kampanyanya " Jakarta Baru".
Menarik memang menceritakan hal apapun yang berkaitan dengan tokoh yang satu ini, yang oleh Abraham Samad sang ketua KPK dianggap sebagai tokoh yang unik dan aneh. Apalagi kini, tinggal selangkah lagi ia akan mencapai posisi RI 1. Dan dengan segala hal yang menarik itu, selalu ada plus minus ( kesempatan atau bisa saja resiko ) dalam episode baru Jokowi yang berjudul Calon Presiden dari PDIP. Plus Minus itu mungkin bisa disederhakan dalam beberapa hal ( versi penulis ).
Yang pertama, Jokowi adalah tokoh muda yang berasal dari daerah dengan sejumlah prestasi membanggakan. ini nilai plusnya. Kedua, Jokowi menjadi bagian dari sejarah yang mendobrak pemahaman bahwa partai dinasti hanya mengusung calon presiden dari sang pendiri partai atau keturunanya. Ini juga nilai plusnya. Nilai plus yang lain adalah jika Jokowi akhirnya terpilih jadi presiden, tentu ia tetap bisa berbuat untuk Jakarta, karena Jakarta adalah ibu kota negara yang tentu saja kebijakan-kabijakannya banyak bersentuhan langsung dengan kebijakan DKI ( ini menurut versi Pak JK ).
Di sisi lain, nilai minusnya ( resiko yang mungkin dan pasti dihadapi ) antara lain : PDIP sebagai partai pengusung Jokowi masih harus berjuang masuk sebagai partai di atas ambang "Presidential Treshold". Ini mungkin tidak mudah mengingat dalam beberapa survey, elektabilitas Jokowi berbanding terbalik dengan elektabilitas PDIP. Bagaimana jika kemudian PDIP tidak mampu memenuhi ambang batas persyaratan itu? Yang kedua, berbicara soal prestasi, sebenarnya masih banyak Kepala Daerah lain yang punya prestasi sama bahkan bisa saja melebihi seorang Jokowi. Hanya saja, sorotan media lebih banyak mengarah ke sang DKI 1. Kekhawatiran banyak pihak adalah jangan-jangan ini hanya bentuk "pencitraan baru". Pencitraan itu bukan dari seorang Jokowi melainkan dari pihak-pihak yang ingin "numpang kekuasaan" padanya. Yang ketiga, jangan-jangan ketika Jokowi terpilih jadi presiden, ia hanya akan menjadi "sopir" bagi PDIP. Bahwa segala kebijakannya harus berpihak pada PDIP atau PDIP sebagai penentu kebijakan dan Jokowi hanya sebagai pelaksana kebijakan.
Semua tentu berharap nilai minus itu bisa dihindari atau diminimalisir. Bahwa Jokowi kemudian masuk bursa Capres dengan segala permasalahan yang mengikutinya memang harus diterima sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Toh, partai lain juga mengahadapi permasalahan ketika mengusung calon presiden pilihan mereka.
Harapan kita tentu bukan saja pada siapa yang diusung oleh partai apa untuk menjadi calon presiden. Tapi agenda terbesar kita adalah bagaimana lewat pesta Demokrasi tahun ini kita mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan mampu membawa perubahan pada bangsa Indonesia menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H