Kaum "Sumbu pendek" kaum yang gak bisa diajak "becanda"
Fenomena kaum sumbu pendek berawal dari interaksi di sosial Media, bagi yang sering interaksi dengan tipikal orang-orang yang gampang marah dan ngamuk biasanya akan berujung pada persekusi, mereka senang menghina tapi ketika di serang balik mereka tak sanggup menahan diri, banyak kejadian-kejadian dimana tindakan persekusi di awali dari saling menghina di sosmed, bagi orang-orang yang berfikir dewasa, kritikan dan hinaan selama fakta dan masuk akal akan jadi humor untuk bahan tertawa dan menghilangkan ke stress-an, tapi beda dengan kaum sumbu pendek, jika mereka menemukan meme kritikan,sindiran dan hinaan, mereka akan merespon  secara berlebihan, mereka akan boikot, mereka akan persekusi, dan yang lebih terhormat mereka akan gunakan jalur hukum.
Pengalaman dari kasus persekusi, biasanya mereka akan bergerak jika agama dan ulama dihina, mereka tak menengok ke dalam kelompok mereka, apakah prilaku mereka bersih dari penghinaan, apakah  di antara mereka ada yang tidak melecehkan keyakinan orang? Hampir semua jejak digital yang ditemukan bahkan video youtube ceramah yang menghina sudah ada, dan jika masuk ranah internet maka akan sulit di delete, kecuali oleh pengunggahnya.
Kaum sumbu pendek bisa ada dimana saja, bisa ada di segala lapisan masyarakat baik kelas Pendidikan rendah maupun kelas Pendidikan tinggi, baik di kelas rakyat jelata maupun pejabat negara, mereka akan bebas membuat status apa saja tanpa harus memikirkan dampaknya, setelah mereka puas dapat like dan komentar mereka serasa mendapat legitimasi publik untuk marah-marah dan berujung caci maki, dan debat di kolom komentar tak kalah serunya, bahkan saling hina menghina di kolom tersebut malah lebih dahsyat, terlihatlah disana mana orang yang gagal faham, mana orang yang bijak, sebenarnya interaksi tersebut masih wajar dan dapat di maklumi bisa jadi ada pengetahuan baru disana, tapi ada saja yang kuping nya tipis dan tak kuat menghadapi tajamnya kritik maka bisa jadi mereka menggalang masa untuk persekusi, jika jadi Viral maka akan timbul kegaduhan baru, seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini.
Gak bisa diajak becanda, agak susah berkomunikasi dengan kaum yang kaku, yang mereka tau adalah doktrin-doktrin yang tertanam lama  dan bisa jadi tak relevan lagi, ketika ada pelawak mengungkapkan keresahannya atas kondisi sosial dan mencoba mengkritik, maka mereka akan anggap sebuah penghinaan, bisa jadi yang dikatakan pelawak itu adalah gambaran yang terjadi di masyarakat dan ia berusaha menertawakan dirinya agar memancing derai tawa, hal tersebut akan susah jika dibenturkan dengan kaum sumbu pendek yang mudah meledak, apalagi pemahaman agamanya dangkal, ditengah bervariasinya tingkat pemahaman agama di masyarakat, ada yang bisa memahaminya dan ada yang marah, itupun masih wajar, tapi belakangan ini ada saja kelompok yang mengkapitalisasi setiap isu untuk kepentingan politik, dan lagi-lagi akan jadi rame jika SARA dibawa-bawa di dalamnya, karena hal tersebut adalah sangat personal bagi semua orang, ada akun-akun yang tidak sensitive dan tega membentur-benturkan isu primordialisme demi politik, apalagi sampai memproduksi kebencian dan hoax, maka semakin mengangalah jurang polarisasi antar kelompok, dan tugas kita semua yang masih waras untuk menghentikan bahaya perpecahan konflik rasis ini.
Bagaimana kita bersosmed di tengah beragamnya Pendidikan dan pemahaman, ditengah pertarungan politik yang masih saja gunakan isu SARA, mestinya kita semua bertanggung jawab bahwa konflik sosial yang terjadi saat ini tak kan lepas dari apa yang disajikan dan di ramaikan di sosmed, semakin bijaksana kita meng-unggah postingan maka semakin berkualitas edukasi di masyarakat, tapi terkadang demi uang dan materi banyak media-media mainstream yang memiliki banyak pengikut malah sengaja membesar-besarkan issu SARA, hasilnya politik SARA tak akan selesai  maka  perlu juga mengajak media mainstream maupun non mainstream agar menjaga dan ikut menciptakan kondisi yang aman nyaman dan damai apalagi di tahun-tahun yang padat dengan agenda-agenda politik.
Masukan buat "Kaum sumbu pendek" janganlah gampang terpancing dan mudah meledak dengan setiap postingan atau apapun statemen seseorang, biasakan untuk jangan resahare setiap hal yang belum tentu kebenarannya, mulailah untuk sedikit terbuka dengan apapun perbedaan yang memang sudah ada di luar sana, pahami setiap perbedaan adalah warna, seperti kamu yang juga memberi warna di jagad sosmed, jangan gampang boikot dan ikut menyebarkan hoax dan kebencian, terlebih buat produsen ujaran kebencian dan hoax, kalian akan bernasib sama dengan mereka yang masuk bui karena terjerat undang-undang ITE ...jika sudah terlanjur memposting dan sudah di screenshot oleh orang lain maka jangan segan untuk meminta maaf, karena kalian akan sangat jantan dan perkasa dengan mengucap maaf ketimbang kabur dan menghindar dari tanggung jawab.
Hindari rasisme di tahun politik, mengapa? Karena kasus pilkada DKI 2017 saja sudah jadi sejarah buruk buat generasi ke depan, jangan di tambah lagi daftarnya, kalian yang terlibat pada joroknya politik SARA di DKI tahun 2017 akan malu menjelaskan kepada generasi mendatang, karena saking kotornya generasi kita memainkan politik SARA akan dibandingkan dengan generasi ke depan yang bermain dengan politik beradab, maka kita akan malu semalu-malunya, apalagi jejak digital pengusiran orang dari masjid dan spanduk-spanduk penolakan jenazah masih ada di internet dan sulit dihapus.
Pemerintah harus meniru langkah jerman, yang berhasil meminta pemilik facebook twitter dan semua platform sosmed untuk menghapus semua ujaran kebencian, berita hoax dan ungkapan-rasisme sebelum 24 jam setelah postingan dilaporkan, jika pemilik sosmed tidak menghiraukan nya berikan denda pada pemilik-pemilik sosmed  tersebut, di jerman sendiri denda nya sangat fantastis yaitu 50 juta euro atau 800 miliar rupiah. Pemerintah dalam hal ini badan siber nasional harus berdiri untuk semua dan netral, penjarakan dan denda setinggi-tingginya para penyebar hoax dan produsen-produsen ujaran kebencian, siapa tahu uangnya bisa untuk bayar hutang atau membangun infrastruktur listrik di desa-desa tertinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H