Title: Faces In The Crowd
Year : 2011 Genre: Thriller/Crime/Drama/Mystery
Duration: 1 hr 42 mins Directed by: Julien Magnat Written by: Julien Magnat Starring: Milla Jovovich, Julian Mc Mahon, Michael Shanks
Thrill Rate : ** (2/5)
Faces In The Crowd (2011) : Ide Bagus, Eksekusi Payah
Sudah pernah dengar atau tahu tentang prosopagnosia ? Nah, film inilah yang akhirnya membuat saya tertarik untuk bertanya pada oom Wikipedia tentang hal tersebut. Prosopagnosia atau “face-blindness” menurut oom Wikipedia adalah kelainan dalam mempersepsi wajah yang membuat orang yang mengalaminya akan sulit mengenali wajah, termasuk wajahnya sendiri. Faces In The Crowd adalah film yang mengambil ide dari prosopagnosia dengan sedikit campuran thriller tentang pembunuh berantai. Mestinya sih menarik untuk ditonton, karena ide-ide film tentang kelainan atau penyakit aneh yang jarang didengar biasanya lumayan sukses menarik dan membuat calon penonton penasaran. Julien Magnat jadi sutradara sekaligus penulis cerita dari film ini. Bintang yang dipasang buat main di film ini salah satunya adalah mbak Milla Jovovich yang udah kondang dengan film Resident Evil beserta beberapa sequel-nya.
Dikisahkan dalam Faces In The Crowd, seorang guru TK bernama Anna Marchant (Milla Jovovich) terkena prosopagnosia atau face-blindness ini setelah terjatuh dan kepalanya cedera akibat kejar-kejaran dengan seorang pembunuh berantai berjuluk Tearjerk Jack. Anna kejar-kejaran sampai dia jatuh dan kepalanya cedera karena secara nggak sengaja memergoki sang pembunuh yang lagi asyik membantai seorang wanita. Akibat kena face-blindness, Anna nggak bisa mengidentifikasi wajah Tearjerk Jack, padahal dia berhadapan langsung dengan si pembunuh. Jangankan wajah pembunuh berantai, wajah pacar Anna aja selalu berubah-ubah tiap kali Anna melihatnya. Yang lebih parahnya, waktu di depan cermin-pun, Anna nggak bisa tahu wajah aslinya yang mana. Nah, melihat kondisi Anna yang udah kena prosopagnosia ini, si pembunuh jadi makin berani buat ngejar Anna demi menghilangkan jejak, termasuk berhadapan langsung dengan Anna tanpa Anna mengenalinya. Anna berusaha mati-matian untuk mengembalikan kondisinya agar kembali normal, termasuk berkonsultasi dengan seorang psikolog yang mengajarkan Anna untuk mengenali seseorang tidak hanya dari wajahnya. Dengan segenap kemampuan yang ada, Anna berjuang membantu polisi mengidentifikasi dan sekaligus menyelamatkan nyawanya sendiri dari incaran sang pembunuh.
Seperti yang udah saya bilang, ide atau tema film ini bisa dibilang sangat bagus. Cuma sayangnya, saat dieksekusi menjadi suatu film thriller, malah jadi payah. Entah karena Magnat belum pengalaman jadi sutradara film thriller atau lebih karena skenario yang ditulis oleh Magnat sendiri kurang bagus, saya nggak tahu persis. Yang jelas menurut saya, film ini jauh dari ekspektasi saya tentang sebuah thriller seru yang betul-betul mengeksplorasi penggabungan sebuah kelainan bernama prosopagnosia dengan saksi utama suatu pembunuhan berantai. Mestinya, film ini masih bisa dieksplorasi lebih dalam lagi oleh Magnat agar dapat memberikan efek psikologis dan bahkan mungkin empati yang ekstra bagi penontonnya pada karakter utamanya yang kena face-blindness. Jalan cerita yang biasa-biasa aja dan mudah ketebak serta “agak dipaksakan” menjelang ending, semakin menjadikan Faces In The Crowd tak memberikan nilai lebih buat yang nonton. Belum lagi akting pemain-pemainnya yang biasa-biasa aja, bikin saya makin malas untuk mengingat kalau udah pernah nonton film ini.
Kesimpulannya, Magnat masih belum mampu untuk membuat suatu film thriller yang bermutu, meski ide yang diambil sangat menarik. Bagi penggemar berat film-fim thriller, mungkin bisa agak kecewa berat karena film ini boleh dibilang jauh dari standar film thriller yang seru dan bikin penasaran penontonnya. Malah terkesan agak “kacangan” menurut pendapat saya. Plot hole serta kejanggalan juga lumayan banyak di film ini. Sebagai contoh kecil aja nih, yang bisa dilogika, masa iya sih, cuma gara-gara nggak bisa mengenali wajah sesorang, lalu kita nggak bisa mengenali suara orang tersebut sama sekali, padahal orang itu udah tinggal serumah sama kita sejak lama ? Atau mungkin dari bau badan atau parfum yang biasa dipakai juga bisa kan ? Anna disini malah jadi kelihatan o’on banget dalam menghadapi prosopagnosia hanya dengan belajar mengenali dasi atau pakaian yang dipakai sama orang yang dia kenal. Bahkan muridnya sendiri dipasangi stiker di bajunya. Bah, sebuah kebodohan yang amat kelewatan menurut saya. Terlepas dari itu semua, silahkan diputuskan sendiri apakah tetap akan nonton film ini atau “pasrah bongkokan” pada review yang udah saya tulis.
See more movie review in http://the-phobia.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H