Mohon tunggu...
Firman Darmawan
Firman Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya menyalurkan hobi dalam tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The Thing (2011):Emansipasi Wanita vs Alien

20 Desember 2011   01:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:01 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

THE THING (2011) : EMANSIPASI WANITA VS. ALIEN

Mendengar judul filmnya saja, ekpektasi saya cukup besar terhadap film ini. Yes, it's a remake! Itu yang ada dalam benak saya saat tertarik untuk menonton film ini. Tapi, setelah melihat film ini secara utuh, ternyata it's not remake, it's a prequel.

Menurut saya,prequel dari suatu film itu ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi setelah dilempar ke pasaran/penonton. Hasilnya bisa bagus banget, dapat pujian, dan yang paling penting bisa box office. Atau malah jelek banget, dapat kritikan pedas, dan apesnya lagi, nggak bisa box office. Mungkin dari beberapa pembaca atau reviewer film pernah menonton early version dari The Thing ini yang sempat ngetop di era tahun 1982. Waktu itu, The Thing disutradarai oleh John Carpenter (horror lovers mesti udah tau siapa dia kan ? jadi ane nggak perlu cerita banyak lagi ya). Pemeran utama waktu itu adalah Kurt Russel (yang sering nonton film action, pasti juga nggak asing dengan aktor yang satu ini).

OK…enough for the crap chit chat. Langsung masuk ke ceritanya ya. Setting waktu film ini adalah pada tahun 1982, tahun yang sama seperti The Thing pertama, sedangkan setting lokasinya tetap di Antartika, di camp penelitian milik Nowegia. Awal film dimulai dengan view snowcat (kendaraan mirip traktor yang khusus untuk medan bersalju) yang berjalan sendirian di tengah padang salju. Snowcat ini berisi ahli arkeologi dari Norwegia yang sedang mencari struktur peradaban kuno yang terpendam di Antartika. Akhirnya struktur itu bisa ditemukan, dan ternyata struktur peradaban tersebut bukanlah bangunan kuno, tapi merupakan kapal milik alien yang sudah beribu tahun terpendam di Antartika.

Dalam menunjang penelitian tersebut, ikut terlibat seorang ahli paleontologi vertebrata bernama Kate Lloyd yang cantik (diperankan dengan sangat baik oleh Mary Elizabeth Winstead), karena diduga ada makhluk hidup bersama kapal tersebut. Cerita masih datar-datar saja hingga makhluk tersebut (yang ternyata terbekukan dalam bongkahan es) diangkat dan dibawa ke kamp penelitian. Ternyata makhluk tersebut dapat lolos dari bongkahan es dan mulai menyebar teror di kamp penelitian tersebut. Satu per satu peneliti yang berada di kamp tersebut menjadi mangsa kebuasan alien itu, yang ternyata, dia juga memiliki kemampuan untuk mereplikasi dirinya sendiri serta inangnya, sehingga bentuknya menjadi sama persis dengan manusia. Tujuannya sih mungkin memudahkan alientersebut untuk berkembang biak secara cepat. Tapi, ada satu kelemahan alien ini dalam mereplikasi. Ternyata dia nggak bisa mereplikasi bahan yang anorganik (alias bahan yang terbuat dari logam dan sejenisnya).

Mulailah sifat saling curiga muncul dalam kelompok peneliti tersebut. Mereka punya pikiran yang sama, jangan-jangan temen gue udah jadi alien nih sekarang. Bermacam cara digunakan untuk mengetahui apakah mereka sudah terjangkiti gen alien atau belum, mulai tes darah sampai periksa tambalan gigi. Semuanya berdasarkan ide dari Kate Lloyd yang cerdas dan menjadi “wanita perkasa” dalam film ini. Oh ya, alien ini juga bisa dibunuh dengan cara dibakar, makanya banyak sekali adegan pembunuhan alien disini yang menggunakan flame thrower alias pelontar api. Penggunaan flame thrower ini seakan-akan ingin memberikan kontras dengan background lokasi film yang bersalju dan dingin. Semacam keseimbangan yin dan yang dalam film.Adegan-adegan selanjutnya dalam film berisi adegan-adegan standar dalam film horror yang mengeksploitasi cara untuk menyelamatkan diri dari terkaman alien.

Secara umum, saya kurang menemukan “greget” dalam prequel ini. Malah menurut saya, lebih seru nonton The Thing earlier version. Entah karena sutradaranya yang belum bisa menyamai kepiawaian John Carpenter dalam mengolah horror atau mungkin skenarionya yang kurang cerdas mengeksploitasi karakter masing-masing tokoh. Yang jelas, ide ceritanya menurut saya cukup cerdas dan berani, karenaThe Thing versi 2011 ini (apalagi prequel) harus betul-betul mengembalikan memori selama 20 tahun lebih agar orang kembali teringat dan “merasakan” kembali peristiwa di tahun 1982. Satu-satunya yang bisa menghibur saya dalam film ini cuma penampilan Kate Lloyd (Mary Elizabeth Winstead) yang memang betul-betul menawan. Saya jadi kesengsem melihat cewek yang satu ini sejak menemani ponakan saya nonton Sky High (sekitar tahun 2005). Film The Thing 2011 ini benar-benar mengekploitasi akting aktris ini, karena dia yang menjadi pemeran utamanya. Tapi, “emansipasi wanita” yang ditunjukkan Mary dalam melawan alien ini seakan masih terbayang dengan “keperkasaan” Sigourney Weaver (Ripley) dalamAlien bersama beberapa sequelnya (1979-1997), sehingga sebagus apapun akting Mary, kadang akan mengingatkan kita akan Ripley. Dua-duanya memang single fighter dalam melawan alien dengan cara mereka sendiri. Tapi, sosok perempuan setangguh dan semanusiawi Ripley hampir tidak pernah saya temukan dalam film sci-fi yang melibatkan alien. Mungkin ketangguhan Ripley bisa disamakan dengan “keperkasaan” Uma Thurman (The Bride) dalam Kill Bill. Entah karena faktor scenario The Thing 2011 ini yang memang dibikin plain, tanpa lebih menonjolkan karakter utamanya atau memang tidak bisa menyaingi The Thing tahun 1982.

Kesan saya setelah menonton film ini adalah film ini hanya sekedar “menjual” nama besar The Thing versi 1982, tanpa bisa membawa nuansa dari versi 1982 ke tahun 2011. Padahal masih banyak yang bisa diekploitasi dari film ini sendiri. Unsur claustrophobia juga kurang “menggigit” dalam film ini, padahal secara pakem film horror, apalagi jika setting lokasinya di tempat itu-itu saja, kunci utama suksesnya pasti di claustrophobia. Spesial efek juga biasa-biasa saja, meski sudah dibantu dengan CGI di jaman sekarang. Tapi, saya lebih merasa “creepy” terhadap penampilan alien karya Rob Bottin di The Thing versi 1982. Ending dari film ini tidak ada yang istimewa, karena merupakan awal cerita dari The Thing versi 1982. Tanpa kejutan, mudah ditebak, dan yang pasti tidak membuat kita berteriak “WOOOOWW….”. Tapi, mungkin The Thing versi 2011 ini bisa menjadi alternatif hiburan yang bagus jika saya harus dipaksa menonton film horror Indonesia belakangan ini yang hanya menjual “sekwilda” dan “bupati” serta asal jadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun