“Darimana kau dapat sepeda motor itu?” Tanya Bapak dengan nada menyelidik.
Polisi Muda itu menghentikan kunyahannya. “Bukan urusan Bapak,” sahutnya ketus, sedetik menatap tak senang pada Bapak lalu menggigit roti tawar di tangannya.
“Kau itu baru satu setengah tahun jadi polisi, mana cukup gajimu buat membeli sepeda motor seharga enam puluh jutaan,” Bapak kembali mencecar Polisi Muda. “Bapak tahu, setiap bulan kau masih mengemis uang jajan pada kakekmu karena gaji bulananmu tak cukup buat menyokong gaya hidupmu yang sok kelas atas itu.”
Polisi Muda meletakkan sisa roti tawarnya di atas piring. “Aku dapat motor itu bukan dari hasil gajiku tapi dari usahaku yang lain, puas!”
Bapak mendesah risau. “Nak, kau itu masih muda, minim pengalaman. Hati-hati, kau itu Polisi, jangan gunakan profesimu itu untuk mengambil keuntungan dengan jalan yang tidak benar. Kau itu penegak hukum, jangan malah melanggar hukum. Tahan Nak, tahan nafsumu. Jangan berlagak hidup mewah.”
Polisi Muda menggeram, namun tak buka suara.
Bapak menatap Polisi Muda dengan lembut. “Nak, jadilah polisi jujur seperti Jenderal Hoegeng(1), petinggi polisi di masa lalu yang sanggup bertahan dengan gaya hidup sederhana, bahkan hampir tidak punya apa-apa di saat pensiunnya.”
“Aku hidup zaman serba modern, Pak. Bukan zaman usang seperti zamannya Jenderal yang selalu Bapak bangga-banggakan itu!” sentak Polisi Muda. “Sejak aku jadi polisi, Bapak selalu saja mengulang-ulang kisah usang itu. Aku bosan mendengarnya.”
“Aku wajib menasehatimu karena kau anakku!” suara Bapak meninggi.
Polisi Muda tergelak. “Aku memang anak Bapak, tapi apa pernah Bapak mampu mencukupi kebutuhanku? Pak, sejak SMP sampai sekarang aku jadi Polisi itu semua karena kakek. Tidak ada campur tangan Bapak sedikitpun!”
Bapak menghela nafas. “Itulah sebabnya, kau terbiasa hidup manja di bawah asuhan kakekmu. Tak seperti Abang dan Kakakmu. Keduanya sukses dibawah didikanku. Keduanya selalu berprestasi baik di sekolah hingga dapat beasiswa ke jenjang kuliah. Abangmu kuliah di Jerman, dapat kerja bagus dan hidup mapan di sana. Kakakmu juga, jadi dokter. Semua itu terjadi karena keduanya mau dan mampu mengikuti pola hidup yang Bapak terapkan yaitu taat beragama, hidup sederhana, kerja keras dan disiplin! Keduanya dapat pekerjaaan dan hidup sukses tanpa menyogok sepeserpun!”
“Seperti aku!” teriak Polisi Muda sambil menggebrak meja.
“Ya, kau itu tidak percaya diri sehingga kau merengek-rengek pada kakekmu agar dia mau menyediakan uang untuk menyogok oknum hingga kau bisa lulus masuk Sekolah Polisi Negara. Beginilah jadinya sekarang. Bagaimana kau bisa jadi polisi lurus kalau untuk masuk ke institusi terhormat itu kau masuki dengan cara tak lurus!”
Polisi Muda mencibir. “Zaman sekarang mana ada orang masuk polisi tanpa menyogok!”
Sontak sorot mata Bapak menyala marah. “Kau merendahkan institusimu sendiri! Kau tidak pantas jadi polisi! Apa kau tidak tahu? Juniormu di Yogyakarta sana masuk polisi tanpa menyogok sepeserpun. Dari mana dia dapat uang buat menyogok, dia tinggal di bekas kandang sapi sejak sebelum jadi polisi. Berangkat ke kantor saja dia harus berjalan kaki sampai berkilo-kilo meter. Tidak seperti kau, naik motor mahal hasil pemberian cukong tukang suap!”
Kali ini Polisi Muda menanggapi perdebatan dengan tertawa merendahkan. “Benar kata kakek, Bapak itu kelewatan jujur, sok suci. Seharusnya Bapak jadi ustadz bukan jadi polisi. Masa, pensiunan Komisaris Besar Polisi tinggal di rumah sempit kayak gini, kemana-mana naik motor butut lagi. Malu aku punya orang tua kayak Bapak,” pungkasnya sambil berdiri dari tempat duduk dan keluar rumah dengan menghempas pintu.
“Anak celaka!” geram Bapak. “Astaghfirullah.”
***
“Aku perampok hebat,” desis pemuda itu kepada pantulan dirinya di dalam cermin. Sejenak ia mematut-matut dirinyadi depan cermin sambil memainkan Type 67 Silenced Pistol di tangannya. “Aku penerus Billy The Kid(2).”
Puas mematut diri, ia melemparkan pistol berperedam suara buatan China itu ke atas kasur, lalu duduk di kursi dekat meja kecil sambil menyeruput kopi. Lagaknya seperti konglomerat kelas dunia. Matanya berputar mengeliling kamar kos tiga kali tiga meter itu. “Suatu saat nanti akan kutinggalkan tempat kumuh ini dan pindah ke apartemen mewah.”
“Aku tidak mau jadi koruptor bodoh seperti papa yang meringkuk di dalam penjara. Tapi walau bagaimanapun bodohnya dia adalah papaku, dan ia pasti bangga kalau tahu anaknya sekarang jadi perampok hebat yang tak terlacak oleh polisi manapun. Hahaha.”
Ia menghirup kopinya lagi. “Puahhh,” ia menyemburkan kopinya. Seketika raut mukanya menampakkan kejijikan. “Negara kurang ajar, seenaknya memiskin keluarga koruptor. Sita sana blokir sini. Sepeserpun tak disisakan!” rutuknya. “Kalian memang mampu membuat keluargaku bangkrut dan hidup sengsara. Mamaku terkena stroke lalu meninggal akibat serangan jantung karena tak mampu menanggung malu dan beban hidup. Adik-adikku harus hidup dengan mengharap belas kasihan orang, menumpang di rumah kerabat. Tapi aku tidak sengsara karena aku kuat, dan sebentar lagi aku akan kembali bisa hidup dalam kemewahan seperti dulu.”
Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Ia membuka pintu lemari dan memandangi isinya―yang sarat muatan dengan ikatan-ikatan uang yang disusun rapi, emas batangan, dan berlian―penuh kegairahan sekaligus takjub akan kehebatan dirinya. Minimal tiga kali dalam sehari ia melongok ke dalam lemari itu. Melihat hasil rampokannya itu bagaikan candu yang harus dihirupnya untuk menyemangati hidupnya sekaligus membuat nafsunya semakin membuncah untuk melakukan aksi-aksi perampokan selanjutnya.
Ia pemain tunggal, selalu melakukan aksinya sendiri. Ia perampok yang ambisius, menyukai tantangan, dan hampir mendekati gila―hanya melakukan perampokan di siang bolong. Aksi pertamanya merampok SPBU, penuh kepanikan sebagai pemula. Ia berhasil menggertak petugas SPBU dengan pistol mainan. Aksinya hampir gagal―ketika ia sudah berhasil menguras uang dan memindahkan ke tasnya―saat hendak kabur sepeda motornya mendadak mogok. Namun ia berhasil kabur setelah merampas sepeda motor pengantre di SPBU.
Aksi selanjutnya semakin matang dan penuh percaya diri karena didukung oleh perencanaan cermat, terukur dan bersenjata pistol sungguhan. Money canger, perusahaan pembiayaan, showroom mobil dan terakhir ia menguras habis isi toko emas dan berlian terbesar di kota itu. Rencana berikutnya sebuah bank yang sudah diamatinya sejak sebulan lalu.
***
“Aku sarjana dengan predikat cum laude, tapi hari ini jadi Penjual Topeng,” batin seorang pemuda ketika bergerak keluar dari halaman rumahnya sambil memikul rak bambu, tempat menyangkutkan puluhan topeng dengan bermacam karakter wajah superhero idola anak-anak bahkan orang dewasa yang kekanak-kanakan.
Sebenarnya ia enggan berjualan topeng. Tapi tidak bisa menolak ketika ayahnya menyuruhnya berjualan topeng. “Masih ada dua hari tersisa sebelum kau mengikuti tes interview di perusahaan besar itu. Daripada menghabiskan waktu sia-sia di rumah lebih baik kau gantikan Ayah berjualan topeng. Ayah tidak bisa berjualan hari ini, harus datang ke acara akikah anak pamanmu.”
Ayah tersenyum teduh ketika melihat wajah sang anak berubah muram. “Ayah tahu, ini tentu pengalaman pertamamu berjualan topeng. Jangan malu, Nak. Kau itu bisa sekolah dan kuliah hingga jadi sarjana dari hasil Bapak berjualan topeng.”
Ia tidak terbiasa menolak permintaan Ayah―yang seorang diri merawatnya dari kecil hingga dewasa setelah ibunya meninggal ketika melahirkannya. Ia terlalu hormat dan terlalu sayang kepada Ayah yang tidak menikah lagi setelah ibunya meninggal. Baginya hanya ada empat kata ketika Ayah menyuruhnya melakukan sesuatu yaitu “Aku dengar aku taat”. Lagi pula Ayah tidak pernah menyuruhnya dengan nada memaksa, selalu dengan nada lembut.
Tapi tetap saja pengalaman pertama itu terasa berat baginya. Dari pagi ia berjalan kaki dari rumah ke pasar, ke komplek perumahan, sekolah-sekolah sampai akhirnya ia terduduk lelah siang itu di bawah pohon seberang trotoar, tak satupun topeng jualannya laku terjual. Ia mendesah gelisah, tapi berusaha sabar, dan itu yang diperjuangkannya dari tadi, sabar.
“Bang, beli topeng.”
Di tengah rasa lelah, haus dan perut yang mulai lapar, ia menduga dirinya sedang berhalusinasi. Ia tak menghiraukan suara itu.
“Bang, beli topeng.”
Kali ini suara itu begitu jelas di kedua telinganya. Ia mendongak. Seorang pria―tak jelas berapa umurnya, berewokan dan berkumis tebal, rambut gondrong di bawah topi, berjaket kulit cokelat, celana jins hitam, bersepatu kulit koboi, dan menyandang tas ransel besar―sedang mengamati topeng-topeng yang bergelayutan di rak bambunya.
“Ini berapa?” pria itu menunjuk topeng bergambar wajah ultraman.
“Se…sepuluh ribu,” gagapnya, gugup menyambut pembeli pertama hari itu.
“Saya beli dua,” Pria itu mengambil dua topeng dan menyodorkan selembar seratus ribuan.
Kembali Penjual Topeng tergagap. “U…uang pas, Pak. Tak ada kembalian.”
“Tak usah, ambil semuanya, rezeki kau itu,” sahut pria itu datar. Memutar tubuh dan berjalan berderap di atas sepatu koboinya menjauhi Penjual Topeng yang ternganga bingung.
Pria bersepatu koboi itu terus melangkah gagah menuju perempatan jalan. Lampu merah menyala. Ia menyeberang melewati zebra cross, melompat gesit ke trotoar dan lanjut berjalan sambil mengenakan satu topeng ultraman, mengeluarkan kantong plastik hitam dari ransel, memasukkan topeng kedua ke dalamnya. Ia menuju sebuah bank yang dijaga seorang polisi muda bersenjata laras panjang dan seorang satpam setengah baya.
Ketika mendekat telinganya menangkap percakapan kedua petugas keamanan yang duduk di kursi sisi pintu masuk bank.
“Aku ke belakang sebentar, mules nih,” kata satpam sambil bangkit.
Polisi Muda mengangguk. “Jangan lama-lama. Aku juga mulai mules.”
“Beres. Tapi hati-hati. Toko emas dan berlian “Cleopatra” dirampok saat siang seperti ini,” sambung satpam mengingatkan.
Polisi Muda mendengus. “Aku muak, dari kemarin itu saja yang kaubicarakan. Kalau perampok sial itu berani ke sini―” sahutnya seraya mengelus senjata laras panjangnya. “tinggal kokang ini, senjata menyalak, mati itu orang!”
“Mantap,” satpam bergegas berlalu dengan setengah berlari, meninggalkan bunyi pret beruntun.
“Kurang ajar, kau,” sungut Polisi Muda sambil menahan nafas ketika bau angin tak sedap menyinggahi hidungnya.
Pria bersepatu koboi bertopeng ultraman menghampiri Polisi Muda. “Mau beli topeng, Pak?” sapanya sembari mengeluarkan topeng ultraman dari dalam kantong plastik hitam.
Polisi Muda meneliti pria yang menghampirinya. Kesalnya belum surut sehabis diasapi angin busuk, eh sekarang malah ada orang aneh bertopeng yang menawarkan topeng padanya. Ia terlalu geram untuk menyahut. Ia hanya menggelengkan kepala, menegakkan dada, menepuk senjata laras panjangnya dan menatap tajam mengancam ke orang bertopeng di depannya.
“Oh, kalau Bapak tidak suka yang ini, ada satu lagi. Sebentar―” pria bersepatu koboi bertopeng ultraman mencampakkan topeng itu ke lantai lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong plastik hitam. “Bapak pasti suka yang ini. Saya pasangkan langsung, ya?” sambungnya sambil mengangkat tangan kanannya yang masih berada di dalam kantong plastik hitam sejajar dengan dada Polisi Muda.
Polisi Muda semakin menggeram marah, tapi hanya sedetik. “Pluphhh,” pistol berperedam suara yang bersembunyi di dalam kantong plastik hitam memuntahkan peluru. Cukup satu peluru untuk membuat Polisi Muda―yang bahkan tak sempat mengokang senjata laras panjangnya, apalagi membuatnya menyalak―tersentak pelan di kursinya, lalu terkulai dengan mata membelalak dan dada tertembus peluru, menghentikan pompaan jantungnya.
Pria bersepatu koboi bertopeng ultraman membuka pintu kaca, memasuki bank yang tak berpengawal. Ia melangkah tenang sambil menenteng pistol―tak memedulikan puluhan pasang mata yang mulai tegang dan dijalari ketakutan―mendekati empat orang kasir yang berjejer di depan peralatan kerjanya. Ia menodongkan pistolnya ketika berdiri di depan salah seorang kasir lalu melemparkan tas ransel besar ke meja kasir. “Pindahkan semua uang yang ada di sini ke dalam tas itu!”
Si kasir―wanita muda dan cantik―menggigil pucat.
“Kalian juga,” desis pria bersepatu koboi bertopeng ultraman kepada tiga kasir lainnya.” Saya beri waktu dua menit dari sekarang!”
Pistol terangkat ke samping. “Pluphhh,” senjata berperedam suara itu menyalak pelan, pelurunya menghantam aquarium besar di sudut ruangan, pecah berantakan menghamburkan isinya. Puluhan pengunjung bank di kursi antrian semakin membeku ketakutan, dankeempat kasir tak berpikir panjang lagi, berserabutan memasukkan ikatan-ikatan uang ke dalam ransel.
“Pas dua menit, terima kasih,” ucap pria bersepatu koboi bertopeng ultraman sambil menyambar tas penuh uang di meja kasir, lalu memutar badan ke arah pengunjung bank yang sedari tadi tak berani bergerak di tempat melihat aksi perampokan di siang bolong itu. Dua detik ia melambaikan tangan ke arah CCTV di sudut atas ruangan, lalu bergegas menuju pintu, dan keluar tanpa melirik Polisi Muda yang terkulai tak bernyawa di kursi samping pintu.
Ia terus berjalan hingga dua blok dari bank, berbelok ke sebuah gangsempit. Dua menit kemudian seorang pria―berpakaian lusuh, mengenakan topi lebar kumal, berwajah cemong dan bertelanjang kaki―keluar dari mulut gang dengan memanggul karung berisi penuh uang, sebuah pistol berperedam dan sekotak peluru. “Aku perampok hebat,” batinnya jumawa sambil lanjut melangkah menuju perempatan, lampu merah menyala, ia menyeberang. Ia tersenyum geli melirik Penjual Topeng yang masih duduk termangu―memandangi selembar uang seratus ribu di tangannya―di dekat rak topeng dagangannya di bawah pohon.
Pria berpakaian lusuh masih berjalan di atas trotoar dengan pikiran penuh kekaguman pada dirinya, membuat matanya tak melihat beling hasil pecahan botol pemabuk semalam yang menggeletak di lantai trotoar. “Akh, sialan!” ia mengumpat keras ketika beling tajam itu menusuk telapak kaki telanjangnya. Spontan, tanpa sadar ia melompat ke jalan raya, lalu membungkuk hendak mencabut beling yang tertancap di telapak kakinya. “Teeeeeettttttt,” bunyi klakson panjang mobil yang melaju kencang mendahului sebelum menabrak tubuhnya. Saat bersamaan terjadi hujan uang di jalan raya ketika karung pria berpakaian lusuh itu terlempar ke udara dan memuntahkan isinya.
Dua puluh meter dari tempat kecelakaan, Penjual Topeng ternganga ngeri melihat tubuh pria berpakaian lusuh itu tersangkut di bawah batang pohon di seberang trotoar―kepalanya pecah dengan benak berhamburan, mati.
Penjual Topeng buru-buru bangkit sambil meraih rak dagangannya ketika kepalanya mulai pusing dan rasa mual naik ke tenggorokannya melihat benak berhamburan itu. Ia bergegas berjalan memutar arah, mengabaikan lembaran uang seratus ribunya yang tergeletak di trotoar setelah terlepas dari tangannya karena terkejut menyaksikan kecelakaan maut itu, tidak memedulikan banyak orang yang hiruk-pikuk memperebutkan uang-uang yang berterbangan dan bertaburan di jalan raya, dan tidak menghiraukan raungan sirine mobil polisi yang mendekat.
Sepuluh menit kemudian Penjual Topeng terhenyak di teras sebuah musholla kecil. Tubuhnya lelah, linglung, dan masih bergetar mengingat bayangan buruk kecelakaan maut tadi. Suara kumandang azan zuhur menyadarkannya. Ia bangkit dan menuju tempat berwudhu. Usai sholat berjamaah ia termenung lagi di teras musholla, memikirkan banyak hal. Tanpa sadar sebulir air menetes di sudut matanya, begitu membayangkan hari-hari―selama hampir seusia dirinya―yang dijalani ayahnya sebagai penjual topeng, demi mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua dan biaya pendidikannya.
“Kenapa Dik?”
Ia buru-buru menyeka matanya sebelum menoleh ke sumber suara, dan menemukan pria setengah baya berpenampilan rapi sedang duduk di sampingnya sambil mengenakan sepatu kulit hitam mengkilat. Ia hanya tersenyum rikuh, tak punya pilihan kata untuk menjawab sapaan ramah pria itu.
“Ada masalah?” kembali pria berpenampilan rapi itu bertanya.
“Ah, tidak Pak,” ia menyahut dengan suara hampir tercekik, lalu pura-pura membenahi rak topeng dagangannya.
Pria berpenampilan rapi itu tersenyum. “Sudah lama berjualan topeng?”
“Baru hari ini, Pak.”
Pria berpenampilan rapi itu mengernyitkan dahi. “Baru pertama kali?”
“Iya, Pak, menggantikan ayah saya.”
“Sebelum ini apa kegiatannya?”
“Kuliah, Pak. Baru diwisuda sih sebenarnya. Ini juga lagi nunggu waktu tes interview.”
“Kalau boleh tahu, Adik kuliah di mana?”
Penjual Topeng menyebut nama sebuah perguruan tinggi negeri ternama.
Pria berpenampilan rapi itu mengangguk-angguk. “Tes interview-nya di mana?”
Penjual Topeng menyebut nama sebuah perusahaan besar di kota itu.
“Oh,” pria berpenampilan rapi itu tersenyum simpul. “Ini kartu nama saya,” lanjutnya sambil berdiri. “Hubungi saya kalau adik ada keperluan.”
Penjual Topeng menerima kartu itu dan membaca sesaat. Di bagian paling atas kartu tercetak nama sebuah perusahaan besar yang telah diincarnya sejak masih kuliah. Di bagian tengah ada nama seseorang dengan keterangan ‘Direktur Utama’ lengkap dengan nomor teleponnya. Ia tertegun, lalu menoleh ke pria berpenampilan rapi di depannya.
Pria itu tersenyum lagi. “Saya pergi dulu. Jangan lupa datang, tes interview-nya dua hari lagi. Assalammu’alaikum.”
Penjual Topeng terpana sejenak memperhatikan pria berpenampilan rapi yang berjalan menuju mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan depan musholla. “Wa ‘alaikum salam,” sahutnya lirih, pikirannya berusaha meyakinkan dirinya akan peruntungannya di tengah hari itu. Tubuhnya bergetar lagi lalu tersungkur dalam sujud syukur. “Alhamdulillah…Ya Arhamarrahimin...Allahu Akbar.”
Gianyar, 26 Maret 2015
Catatan:
1)Jenderal Hoegeng Imam Santoso : Salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang terkenal dengan kejujuran dan dedikasinya yang tinggi dalam menjalankan tugas sebagai aparat negara. Pernah menjabat sebagai Kapolri ke-5 yang bertugas dari tahun 1968-1971. Wafat pada tanggal 14 Juli 2004 dalam usia 82 tahun.
2)Billy The Kid : Penjahat legendaris di Amerika Serikat yang ditembak mati pada 14 Juli 1881.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H